Chereads / Sudut Pandang / Chapter 8 - Kobaran Api

Chapter 8 - Kobaran Api

Seluruh pengunjung acara itu berhambur mencari jalan keluar demi menyelamatkan diri masing-masing. Tak terlewat Dewi Pelangi beserta dayang-dayangnya pun tampak begitu panik melihat api yang kian membesar membentuk bunga mematikan.

Arumi terkesiap, Nona Aila benar-benar terkurung dalam kobaran api yang kian membesar itu. Dia berteriak-teriak berharap ada yang menyelamatkannya tapi semua sibuk dengan keselamatan masing-masing. Bahkan para petugas keamanan itu seolah tidak dapat melihat bahwa ada seorang wanita yang berharap pertolongan tak berdaya di dalam sana.

"Hei, tolong ada Nona Aila di dalam sana ...!"

Beberapa orang yang Arumi cengkeram pakaiannya itu berlalu dengan kasar untuk menyelamatkan diri.

Dewi Pelangi, ia masih berdiri di sana bersama ketujuh dayang itu, tapi tak dapat berbuat apa-apa selain menahan Arumi yang nyaris lompat ke dalam kobaran api demi menyelamatkan Nona Aila.

"Bagaimana ini? Seharusnya aku minta ijin pada Kaisar Langit sebelum turun ke sini."

"Mati kita."

"Apa kehidupan kita setragis ini?"

"Yaampun, Kita makhluk langit harus mengalami kematian tragis di bumi."

"Bagaimana ini, permaisuri?"

Dewi Pelangi hanya memejamkan matanya. Mencoba untuk membangunkan kekuatan yang sengaja ia tekan demi menghindari bencana pada dirinya sendiri.

Resiko terburuk adalah, jika kedua sayap sang Dewi berkibar di bumi tanpa ijin dari langit, maka ia akan dikutuk alam langit selama beberapa juta tahun dianggap pemberontak dan dimasukan ke dalam guci api penyucian. Tersiksa selama jutaan tahun lamanya.

"Kanjeng, jangan," cegah si Merah.

"Bagaimanapun mereka semua berada dalam naungan alam langit. Jika aku berdiam diri saja, apa guna jabatanku sebagai Dewi?"

"Tapi anda akan dihukum di dalam guci api penyucian selama jutaan tahun, Dewi."

Lepas dari itu. Nona Aila masih mencoba berteriak dalam kobaran api menyelimuti kian besar. Bahkan lampu hias yang kabelnya terbakar itu jatuh dan nyaris menimpa tubuhnya.

"Toloooonnngggg ...! Teriakan itu makin memekik dan terdengar semakin parau. Bahkan sesekali terdengar suara batuk pertanda asap sudah mulai menyiksa paru-parunya.

"Toloooonnnggg ...!"

Mimpi itu terlalu buruk jika memang menjadi nyata. Arumi mencoba melepaskan diri dari pelukan Dewi Pelangi karena sejak tadi dia meronta ingin menolong Nona Aila yang tidak ada satupun manusia peduli padanya.

Acara ini harusnya baik-baik saja dan berakhir dengan manis jika gaun yang dikenakan Nona Aila tidak berujung terlalu besar hingga menarik salah satu lampu di samping panggung dan menyebabkan korsleting listrik hingga terjadi percikan api membakar ujung gaunnya berlanjut ke tirai di setiap samping panggung besar dan berlanjut ke bahan matrial mudah terbakar lainnya. Beruntung ia membuka gaun itu dan membiarkan tubuh hanya berbalit celana dalam serta korset menutupi tubuhnya untuk menghidari api terlalu cepat melalap tubuh mungil itu.

Jika saja sejak awal ia percaya dan menuruti apa yang Arumi katakan, mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya.

"Tolong dia, siapapun tolong dia!" Arumi terus meronta.

"Nyonya tolong lepaskan saya, Nyonya."

"Tidak, nak. Pergilah bersama ketujuh pelayanku untuk menyelamatkan diri."

"Lalu bagaimana dengan anda? Nona Aila juga?"

"Pergilah!"

Di ruangan itu hampir semua pengunjung sudah meninggalkan ruangan. Sementara sudah tak terlihat lagi Nona Aila mencoba menyelamatkan diri di dalam sana. Mungkin tubuhnya sudah terbakar habis.

"Perduli apa aku dengan wanita sombong itu? Ini adalah hukum langit untuknya. Tapi, jika aku tak segera padamkan api ini, yang lain akan ikut celaka."

Sedikit lagi Dewi Pelangi melanggar hukum langit yang akan mencelakakannya, terdengar suara seekor elang mengepakkan sayapnya keluar air serta angin yang seketika dapat memadamkan api itu dengan cepat.

Pemuda itu, dia adalah elang dengan sayap yang sangat besar. Matanya menatap lurus dan tajam pada Dewi Pelangi yang kembali memasukan sayap dewi ke dalam punggungnya.

"Elang?" Kening Dewi Pelangi mengernyit heran.

"Sedang apa anda di sini?" Elang turun dan berdiri tepat di samping Dewi Pelangi.

"Kau sendiri? Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku mendapat mandat langsung dari kaisar melalui Dewa Astro untuk menjaga Dewi Aurora."

"Jadi gadis itu? Dia benar-benar Aurora putri dari Dewi Mustika Emas?" Kedua matanya berbinar terang mengeluarkan cahaya kebiruan.

"Benar. Dan aku harap anda tidak mengganggu tugasku. Pergilah segera ke alam langit dan jangan kembali."

"Kau, berani sekali mengusir junjunanmu!"

"Dewi, aku tahu kau turun tanpa ijin Dewa Petir. Sudah jelas kekuatanmu tidak berlaku di sini."

"Hm!" Dewi Pelangi mendengus dan berlalu keluar dengan wajah merah padam.

Elang sudah berubah kembali menjadi seekor burung pada saat Tim Pemadam kebakaran beserta tim medis itu datang ke lokasi. Dia mengepakkan sayap dan keluar memalui ventilasi udara, ruangan ini benar-benar kacau.

Tubuh Nona Aila sudah rusak hampir delapan puluh persen jika saja Elang tidak segera datang mungkin sudah habis terpanggang. Wanita itu memekik, dia meringis terdengar oleh sebagian tim yang memasuki ruangan.

Hancur sudah tubuh yang semula cantik itu kini penuh dengan luka bakar. Nona Aila terkulai lemas, Arumi memekik tangis melihat tubuh mungil Nona Aila kini sudah hancur terbakar api.

"Nona Aila," isak Arumi dalam pelukan Nina.

Elang baru saja keluar dari mobil menghampiri Arumi yang masih menangis dengan frustasi.

"Nona." Elang rengkuh.

"Nona, mungkin lebih baik kita pulang sekarang." Nina mencoba untuk membujuk.

"Nina, Nona Aila." Arumi menunjuk tubuh terkulai yang dibawa para tim medis di atas brankar. Kejadian ini begitu mengerikan. Mimpinya benar-benar menjadi nyata!

"Nona, anda lelah. Lebih baik kita pulang sekarang. Tuan Wali Kota mengutus saya untuk menjemput anda," ujar Elang.

"Saya bawa mobil." Arumi menyeka air matanya.

"Mobil sudah saya pulangkan ke rumah Pak Wali Kota."

"Kenapa ke rumah Papa?"

"Beliau bilang, anda sudah lama tidak pulang."

"Ck!"

Tak banyak bicara. Arumi melesat masuk ke dalam kendaraan yang bertengger di samping mobil pemadam kebakaran itu dan menutup pintu dengan kasar.

Nina menarik nafas panjang. Ia menyusul Arumi untuk turut duduk di jok belakang. Saling membisu sepanjang perjalanan hanya saling membisu. Sambil Arumi sendiri merenungkan apa yang terjadi hari ini. Sekali lagi,

Nafasnya sesaat terhenti, membayangkan kembali apa yang terlintas dalam mimpi itu begitu mengerikan. Hanya saja agak sedikit berbeda karena di dalam mimpi itu Nona Aila langsung tewas di tempat.

"Saya sudah katakan, Nina. Mimpi itu mengerikan. Kenapa kamu tidak percaya?!" Meraup wajah frustasi.

"Nona ...." Nina serba salah. Ia hanya dapat menggigit bibir dan tidak melanjutkan pembicaraan. Membiarkan Arumi tenang untuk sesaat.

Namun, tiba-tiba wajah Arumi berubah ekspresi menjadi semakin ketakutan. Tadi, sebelum akhirnya ia dapat ke luar atas bantuan beberapa pelayan seorang Nyonya yang anggun. Wanita itu ....

"Nyonya!"

Nina yang semula memalingkan pandangan ke arah laju kendaraan di luar sana itu seketika menoleh ke arah Arumi yang tertegun seketika.

"Kenapa?"

"Nyonya itu, apa kamu melihatnya?"

"Nyonya?" Nina mengerutkan dahinya.

"Nyonya tadi, yang memiliki tujuh asisten pribadi. Dia yang menyelamatkan saya untuk dapat keluar dari kobaran api dengan membiarkan ketujuh asistennya melindungi. Apa kamu melihatnya? Apa jangan-jangan dia ...."

"Nyonya itu sudah keluar dengan selamat, Nyonya." Elang yang sibuk mengemudi itu menyambar pembicaraan.

"Dari mana kamu tahu?"

"Beliau juga menitipkan salam untuk anda. Wanita yang mengenakan selendang di lehernya kan?"

"Iya, betul sekali." Sesaat terjeda dengan helaan nafas panjang kelegaan. "Syukurlah kalau dia selamat. Nyonya itu teramat cantik seperti dewi. Apa kamu menvenalnya, Elang? Dia juga sangat berwibawa."

"Saya tidak mengenalnya, Nona."

Kendaraan sudah sampai di depan rumah wali kota. Seorang wanita paruh baya tengah duduk bersilang kaki di depan teras rumahnya menunggu kedatangan sang putri kesayangan.

Arumi turun, ia menatap sesaat wajah yang sendu itu. Tepat tiga tahun lalu ia telah melukai perasaan wanita itu dengan menolak melanjutkan sekolah dan lebih memilih kariernya di kota fashion paling terkenal meninggalkan semua orang tersayang.

Pertengkaran hebat memang kerap terjadi. Sering Arumi berpapasan dengan papanya, tapi ia hanya menyapa sekedarnya karena memang Pak Wali Kota yang menantang impiannya pada saat itu hingga terjadi pertengkaran hebat.

Satu tahun sekembalinya dari Kota Fashion membuatnya sulit untuk memutuskan pulang kembali ke rumah kedua orang tuanya. Terlebih Arumi sudah memiliki tempat tinggal pribadi yang berkaitan langsung dengan tempat kerjanya. Dua tahun tinggal di kota bersebelahan dengan tempat tinggal kedua orang tuanya, tak juga membuat Arumi berniat untuk bertemu dengan wanita yang sudah tampak tidak bergairah itu.

"Mama ...." Arumi menangis dalam pangkuan wanita itu. Bagaimanapun ia juga sangat merindukannya.

"Kenapa? Kenapa tidak pernah pulang ...?" Nyonya Bakhtiar turut meluruhkan air mata yang sejak tadi dijaganya. "Apa kamu semarah ini kepada kami? Tiga tahun berlalu, sekarang kamu sudah lebih mandiri." Membelai wajah yang mendongak itu.

"Arumi malu, Ma ... Arumi malu."

"Kamu tahu, kami hanya dapat melihatmu dari layar TV atas keberhasilanmi selama ini. Kami pun rindu, tapi malu."

"ARUMI!"

Keharmonisan itu terganggu dengan adanya suara menggema membuat Arumi segera berdiri dan tertunduk.

***

next ....