Chereads / Sudut Pandang / Chapter 10 - Kedatangan Raja Iblis

Chapter 10 - Kedatangan Raja Iblis

Terlambat!

Pada saat Guntur mendengar informasi kebakaran gedung berkelas itu niat hati ingin menjadi pahlawan bagi Arumi karena ia tahu bahwa gadis itu turut serta dalam acara.

Namun, kondisi gedung sudah habis terlalap api tinggal sisa puing-puing yang berserakan dimana-mana. Beberapa petugas medis diantaranya masih ada yang menyisir korban di lokasi. Sebagian lagi pemadam kebakaran masih pula menyemprotkan air ke arah bara api yang sudah hampir habis tinggal arang.

"Nona Arumi, apa ada yang melihat?" Hampir setiap orang menjadi sasaran pertanyaannya.

"Heh, apa anda melihat Nona Arumi? Apa dia juga menjadi korban?"

Beberapa orang yang hanya menoleh sepintas padanya itu justru membuat Guntur semakin frustasi karena tidak ada satupun jawaban yang berarti. Tidak ada inisiatif untuk menghubungi Arumi melalui panggilan seluler seperti biasa. Bisa dipastikan kekhawatiran berlebih itulah yang membuat dirinya bagaikan orang bodoh.

"Ah, kenapa tidak menghubunginya saja? Bodoh sekali!" makinya pada diri sendiri.

Segera Guntur merogoh ponsel yang ada di dalam sakunya. Mencari nomor tujuan untuk dihubungi, beberapa nada menyebalkan itu tiba-tiba berubah menjadi pemberitahuan jika ponsel itu sedang dalam mode mati. "Akh, sial!"

Guntur menarik nafas kasar. Ia menatap gelang putih berbentuk ular yang melilit pada lengannya itu bergerak-gerak mengelilingi tuannya.

"Ada apa denganmu? Kenapa begitu tidak bisa berdiam diri?"

Gelang itu melesat membentuk cahaya putih kemudian berubah wujud menjadi manusia. Seketika Guntur melotot pada Laluna takut jika orang lain melihat perubahannya secara tiba-tiba.

"Tuan jangan khawatir, orang lain tak ada yang dapat melihatku, kecuali keturunan langit atau bangsa siluman."

"Oh ... bangsa siluman?!" Kedua mata Guntur terbelalak bulat. "Be ba bangsa siluman bagaimana?"

"Iya, setiap makhluk yang bisa menjadi ghaib itulah yang bisa melihatku. Mereka kan deretan makhluk kasat mata, tidak ada memiliki indera dengan ultraviolet." Gadis itu menunjuk ke arah manusia yang kian berlalu lalang.

Sedikit pun Guntur tidak faham dengan apa yang gadis itu katakan. Namun, sekelebat bayangan nyaris saja tersasar tepat di tenggorokan jika Guntur tak segera di dorong Laluna hingga jatuh.

"Kamu!" Baru hendak marah, tapi kemudian ....

Guntur terkesiap pada saat melihat sosok tinggi besar dengan otot saling menyembul itu mencekik Laluna hingga meringis gadis itu. Laluna memejamkan matanya, mengumpulkan seluruh kekuatan serta berusaha untuk terlepas, tapi tidak bisa.

Tangannya bergerak-gerak mengisyaratkan Guntur untuk segera pergi, tapi satu tangan makhluk itu merenggut kerahnya dan mencengkeram dengan kuat.

"Aaakkk ...!" pekik Guntur.

Orang sekeliling hanya melihat jika pemuda itu memekik sambil menggenggam lehernya kelimpungan. Tanpa ada yang mampu melihat sosok lain menyeramkan tengah berusaha melakukan pembunuhan.

Celaka!

Mungkin makhluk ini adalah utusan lain untuk memusnahkan Guntur hingga ia tak dapat lagi terlahir di alam langit.

Sekelompok orang mengerumuni Guntur yang tampak semakin pucat bahkan wajahnya sudah memerah karena sesak. Mereka semuanya merasa heran, tubuh Guntur seperti mengeluarkan daya listrik pada saat di sentuh.

Seeorang orang berteriak.

"Dia terkena kutukan! Cepat kalian pergi!"

Seketika semua yang pada semula berkerumun itu berhambur untuk menyelamatkan diri. Tempat itu benar-benar kosong, tiba-tiba waktu seperti terhenti sepenuhnya bahkan seolah tak ada gerakan sedikit pun di area tempat itu.

Kedua sayap Elang mengepak, ia berdiri tepat di atas kepala makhluk tinggi besar nan menyeramkan itu. Bertanduk, kedua benda runcing berujung api membara keluar begitu saja dari kedua sisi kepala si tinggi besar.

"Kurang ajar!" Suara itu menggema seolah menggunakan mengeras suara. Beberapa kali menggelengkan kepala, tapi seperti tak ada pergerakan sedikit pun dari Elang. Kedua kakinya seolah terekat dengan erat.

"Sudah lama aku menunggu kau keluar dari sarangmu, wahai Raja Iblis." Elang dengan tenang masih berdiri menginjak kepala berapi itu.

"Hem! Jangankan dirimu, Panglima Guntur saja tidak ada apa-apanya bagiku!"

Panglima Guntur? Jadi apa yang diucapkan gadis ini memang bukan sebuah lelucon?

"Kau lupa, jika dia sekarang seorang manusia?"

" Manusia atau bukan, faktanya dia adalah seorang dewa, klan bangsawan tertinggi di langit."

"Tapi bukankah seorang pecundang namanya jika kau membunuhnya dalam keadaan seperti ini? Lawanlah dia pada saat sudah kembali menjadi dewa, Bukankah itu lebih seimbang?"

Sesaat Elang melirik ke arah Guntur dan Laluna yang semakin kewalahan merasakan cengkraman itu.

"Hem, jika begitu, bunuh saja dia. Dengan begitu, aku tidak perlu mengotori tanganku sendiri untuk membunuhnya."

Elang melayang menjauh dan berdiri menapaki tanah dengan membelakangi mereka.

Mati!

Itulah yang saat ini berputar dalam kepala Guntur ia tak dapat berkutik sama sekali. Nampaknya terdapat dendam masa lalu pada saat mereka berdua menggelar pertempuran di perbatasan antara alam langit dan alam api. Di sungai kesucian itu pada masa itu Guntur telah berhasil mempermalukan pasukan yang sengaja dipimpin Raja Iblis untuk merebut tahta besar Kaisar Langit.

Mungkin dendam itu pula yang masih dipendam Raja Iblis hingga saat ini. Namun, mendengar jika Guntur merupakan musuh dari Elang sebagai utusan Raja Petir itu, pemikirannya seketika berubah menjadi ingin menyelamatkan dewa dengan sosok manusia dalam cengkeramannya demi bisa membalaskan dendam ketika kelak Guntur sudah kembali menjadi dewa.

Lagi pula, yang selama ini melakukan diskriminasi adalah Kaisar langit sendiri.

Muak memang dengan keputusan Kaisar Langit yang seolah membedakan setiap pangkat dan derajat makhluk berdasarkan status sosialnya saja. karena bagi sebagian makhluk, para kawanan di klan iblis tidak lebih mulia dari seorang budak yang harus serta merta rela dengan lapang dada menyerahkan wilayahnya untuk dikuasai alam langit.

"Uhuk! Uhuk!"

Guntur terbatuk setelah cengkraman keras itu terlepas dari lehernya.

"Hey, kamu! Kenapa kamu ingin membunuh saya? Apa salah saya sama kamu?!"

Guntur mencari jawaban tepat pada saat waktu kembali berjalan dan makhluk menyeramkan tadi sudah tidak ada lagi di sana. Laluna tampak lemas kembali ke wujud aslinya dan tergolek di dekat trotoar jalan.

"Makhluk apa tadi sebenarnya?" Sambil memungut kembali tubuh lemas Laluna dan melingkarkan pada lengannya. "Kamu baik-baik saja kan?"

"Aku sedikit lemas, Tuan. Bisakah anda carikan seekor katak untuk aku santap?"

"Katak?" Guntur bergidik geli mendengar namanya saja ia sudah merinding terlebih dahulu. "Kenapa kamu tidak makan spaghetti, pizza, burger atau apa pun itu yang lainnya yang mudah didapat?"

"Tuan, aku ini seekor ular. Memangnya anda pernah melihat seekor ular memakan jenis makanan seperti itu?"

Guntur meringis. Iya juga, tapi di mana ia harus cari binatang menjijikan itu?

...

Arumi masih tidak habis pikir dengan apa yang baru saja ia alami. Merenung pada sebuah kursi rotan di depan rumah mewah itu, kedua matanya menatap langit. Seolah bertanya apa benar di atas langit sana ada kehidupan seperti di bumi?

Wajahnya menengadah, menatap bintang saling berkerlip malam ini. Namun, kemudian pula ia berpangku tangan sambil mengarahkan kembali pandangan itu ke arah lain.

"Hemmmm ...." Arumi menghela nafas panjang.

"Nona." Seseorang membangunkannya dari sebuah beberapa pertanyaan yang mengelilingi setiap sudut otak di kepalanya.

"Oh, kamu ternyata."

Elang sudah duduk di kursi sebrang meja bundar terbuat dari kayu jati.

"Apa yang anda pikirkan?" Turut menatap langit tanpa bulan malam ini.

"Tidak ada."

"Jika seperti itu, silahkan masuk ke dalam rumah."

"Ih, apa-apaan? Kenapa kamu jadi ngatur saya?"

"Karena mata dan telinga anda bisa mendengar apa yang orang lain tidak dengar."

"Kok kamu bisa tahu?" Tersenyum karena selain menatap langit, ia pun tengah mendengar deretan bunga di taman sedang bernyanyi.

"Aku pun mendengarnya, Nona."

"Lalu dengan Guntur?"

"Dia makhluk yang sama seperti anda."

"Seperti saya?"

"Iya."

"Keturunan siluman?"

Elang tersenyum geli. "Bukan, hanya memiliki indra ke enam."

"Bukan karena saya reinkarnasi dari seorang dewi?"

"Mungkin iya. Namun, di jaman seperti sekarang ini memang masih ada yang percaya?"

Arumi menggelengkan kepalanya. "Itu memang sudah jelas tidak akan ada yang percaya."

"Nona, apakah anda pernah ada rasa sayang pada teman lelaki anda yang konyol itu?"

"Hem?" Arumi mengernyitkan dahinya.

"Emh, maksudku pemuda yang kerap berusaha menemui anda. Tadi dia mencari anda di lokasi kebakaran."

"Guntur, maksudnya? Dia cari saya?"

"Iya, teramat panik."

"Lalu?" Kedua mata Arumi berbinar menunggu jawaban selanjutnya.

"Anda sebenarnya menyukai dia kan? Sebenarnya kalian itu berjodoh, hanya saja ...."

"Hanya saja apa?" Penasaran juga kenapa ucapan itu harus terpotong.

Ingat betul Elang terhadap pesan Dewa Astro sebelum ia akhirnya diberi tugas untuk turun ke bumi. Laki-laki tua itu teramat mewanti-wanti Elang untuk tidak pernah membahas terkait kejadian yang mengharuskan mereka saling membalas dendam. Itu akan merusak tatanan kestabilan langit dan bumi.

Sebisa mungkin ia hanya menutup percakapan dengan menggosok kedua tangannya berlagak kedinginan karena memang angin malam ini cukup menusuk tulang.

"Nona, lebih baik anda masuk. Angin malam tidak baik untuk kesehatan."

"Kamu saja, saya sedang ingin menikmati langit penuh bintang."

***

Next ....