Chereads / Sudut Pandang / Chapter 7 - Dewi Pelangi untuk Aurora

Chapter 7 - Dewi Pelangi untuk Aurora

Hingga acara itu mulai, semua lini dunia entertainment serta beberapa pejabat penting sudah hadir di sana termasuk Pak Wali Kota yang menjadi tamu undangan khusus acara itu.

ACARA PEMENTASAN LEKUK TUBUH.

Bahkan Ratu Pelangi yang tidak lain adalah permaisuri langit pun turut berada di antara deretan bangku penonton.

Kekuasaan wanita dan ketujuh dayangnya itu tidak berlaku di bumi, karena keduanya turun tanpa ijin Kaisar Langit. Terpaksa menjual salah satu kekayaan langit demi mendapat sejumlah uang untuk kemudian digunakan membeli tiket VIP demi mengikuti acara PEMENTASAN LEKUK TUBUH malam ini.

Sang permaisuri tersenyum bahagia. Susah-susah ia melarikan diri dari suaminya demi melihat acara ini. Menurutnya, bumi itu menyimpan sejuta keindahan yang alam langit tidak memilikinya. Mungkin ia karena merasa bosan dengan kemegahan langit, sehingga membutuhkan hal yang baru.

"Nona Aila sudah mau tampil," pekiknya pada ketujuh dayang yang sudah berpakaian lebih kekinian itu.

Semua penonton di ruangan studio yang megah itu berteriak histeris menyambut kedatangan idola mereka. Untuk pertama kalinya sang permaisuri dapat melihat idolanya sedekat ini. Nyaris saja ia berlari jika salah satu dayangnya tidak menahannya untuk tetap duduk.

"Aku ingin menemuinya, aku ingin bersjabat tangan dengannya." Permaisuri meronta.

"Kanjeng, dia sedang pentas, juga dikelilingi para peragawati. Rasanya akan kurang berkesan untuk kewibawaan anda yang seorang Dewi dari kahyangan."

"Seperti itukah? Lalu kapan aku bisa benar-benar bersitatap dengannya?"

"Sebentar ya."

Seorang dayang paling tua atau biasa disebut juga kakak pertama itu pergi menuju panitia acara. Menyodorkan beberapa lembar uang kertas nominal tertinggi demi bisa memberikan kesempatan kepada Dewi Pelangi untuk dapat bersalaman dengan Nona Aila di belakang panggung.

Tampak laki-laki itu mengangguk, mungkin dia menyetujuinya. Sudah menjadi kepastian, segalanya bisa didapatkan dengan uang di dunia fana ini. Rasanya lembaran kertas itu memang lebih berharga dari segalanya.

"Sudah berhasil, Gusti Permaisuri. Anda bisa menemui Nona Aila setelah penampilan pertamanya selesai."

"Ah, terima kasih, Merah. Kau memang segalanya." Memeluk dayang tertua itu.

Beberapa model memeragakan pakaian kebanggan dari designer masing-masing tak terlepas juga Arumi yang menjadi salah satu designer termuda yang memiliki jam terbang paling tinggi. Sayangnya, namanya juga agak sedikit tercoreng dengan gagalnya Nona Aila mengenakan pakaian rancangannya.

Arumi menghela nafas di sudut pintu masuk menuju panggung, ia harus tetap memastikan klien lamanya itu dalam keadaan baik-baik saja.

Beruntungnya, hari ini tidak ada satu lilin pun yang menghiasi panggung selain lampion-lampion berisikan lampu warna-warni. Mungkin kekhawatiran itu memang terlalu berlebihan adanya.

Sedikit bernafas lega, pada saat Nona Aila berhasil turun dalam keadaan baik-baik saja dan tersenyum kecut ke arahnya. Nina, yang memang sejak tadi di samping Arumi itu menepuk pundak majikannya. Ia sedikit tahu apa yang dirasakan Arumi saat ini.

Kepala Arumi sedikit bergerak seiring dengan mata memejam saat ada bau harum yang tiba-tiba menyergap hidungnya tanpa ia pernah mencium bau ini sebelumnya.

"Nirwana ...." gumam Arumi tanpa ia sadari.

"Nona?"

"Hem?"

"Seluruh pakaian rancangan kita sudah dipentaskan. Anda mau pulang sekarang?"

"Sebentar."

Arumi terbius oleh sosok wanita paruh baya yang memiliki kecantikan di atas rata-rata diapit tujuh orang wanita yang sama cantiknya pula. Apa bau harum itu berasal dari sana?

"Nona?"

"Kami mencium sesuatu?" Hidung itu tetap mengendus dengan tenang.

"Hemm ... makanan?"

"Bukan, kamu duluan saja nanti saya menyusul."

"Oh, baiklah."

Kaki itu tertarik dengan sendirinya. Arumi seperti tengah bertemu dengan orang yang sangat familiar dalam hidupnya, tapi siapa dia? Sementara wanita itu tetap fokus berbicara dengan Nona Aila. Tentu tidak ada penolakan karena penampilan sang permaisuri begitu berkelas.

Wangi itu semakin harum, Arumi semakin tak sabar ingin segera sampai dan menjabat tangan itu tanpa sadar.

Dewi Pelangi menoleh ke arahnya, kedua matanya berkaca-kaca melihat sosok yang sangat ia kenal kini berdiri dalam jasad yang lain. Begitu cantik! Aurora dalam wujud yang lain, inikah reinkarnasi seorang dewi?

"Aurora," gumamnya tanpa orang tahu.

"Nona Arumi, anda mengganggu tamu saya!" tegur Nona Aila dengan wajah yang ketus.

"Ah, tidak apa-apa. Dia begitu mirip dengan ... Aurora."

Arumi tersenyum. Tanpa terasa air mata itu meluncur pada saat tangan halus sang Dewi menyentuh bagian pipinya. Nafas itu terasa berat, tapi bukan sesak karena sakit.

"Ah, sampai di mana tadi?" tanya Dewi Pelangi berpaling pada Nona Aila tanpa melepaskan genggamannya tangannya. "Dia mirip dengan putri kakakku, mungkin anda bisa membiarkannya untuk tetap di sini?"

Tak ada jawaban. Sudah dipastikan jika Nona Aila masih merasa kecewa pada Arumi atas argumen yang ia anggap sekedar ingin menjatuhkan kariernya semata.

"Oh ya, ini sudah giliran saya untuk tampil. Senang bisa bertemu dengan anda." Salam persahabatan lewat saling mencium pipi itu mengakhiri percakapan keduanya.

"Sampai jumpa, Nyonya."

Lambaian tangan itu terkesan manis dengan senyum terukir jelas di wajahnya, tapi tidak ada ketulusan. Nona Aila hanya melihat jika wanita dengan tujuh pelayan wanita itu memang berkelas dan bukan orang sembarangan. Banyak yang bisa dipetik dari persahabatan yang terjalin tidak menutup kemungkinan dapat memberikan keuntungan besar bagi Nona Aila.

Namun, kepicikan itu terlalu kentara, ia memang memilih teman meski tampak selalu tersenyum dengan manis.

"Siapa namamu, nak?" tanya Dewi Pelangi pada akhirnya.

"Saya ... Arumi." Terbata, mata itu masih terpesona. "Anda sangat cantik, secantik Dewi."

"Dewi? Kau pernah melihatnya?"

Spontan menggeleng lembut. Arumi tersenyum kikuk.

"Kau pun secantik Dewi. Boleh suatu saat aku main ke tempatmu?"

"Boleh, tentu saja boleh." Arumi segera merogoh sesuatu di dalam tas yang ia kenakan. "Emh, ini kartu nama saya. Anda bisa menemui saya di tempat ini."

"ARUMI STYLE MODE. Ini ...."

"Saya seorang perancang pakaian." Arumi menjabat tangan itu dengan erat. "Jika anda tertarik pada pakaian yang bertemakan putri kerajaan, Anda bisa berkunjung ke tempat saya. Hanya saja mungkin ... itu terlalu konyol."

"Benarkah? Bisakah kau buatkan aku sebuah pakaian bertemakan permaisuri langit?"

"Permaisuri langit?"

"Iya, aku sangat suka tema itu."

"Oh, tentu. Tentu saja saya bisa." Arumi tersenyum menyetujui.

Arumi. Gadis itu memang sangat menarik perhatian Dewi Pelangi. Bagaimanapun persahabatannya dengan Dewi Mustika Emas terdahulu itu memang sangat dekat. Semua bayangan terakhir tentang Dewi Mustika Emas itu kian bergeliat dalam ingatannya.

"Kakak, apa kau yakin akan mempertaruhkan nyawamu demi membuat Aurora terlahir kembali?" Pelangi tampak khawatir melihat persiapan ritual Dewi Mustika Emas yang sudah bersila di atas danau teratai.

"Pelangi, bagaimanapun dia adalah anakku. Kematiannya juga merupakan kesalahanku. Seandainya sejak awal aku katakan hal yang sesungguhnya pada Kaisar, tentu kejadian seperti ini sudah dapat kita antisipasi sejak awal."

"Tapi bagaimana dengan nyawamu sendiri? Kaisar pasti akan sedih."

Dewi Mustika Emas tersenyum, menyentuh bahu Pelangi untuk sesaat sebum melakukan ritual penarikan sukma untuk kembali masuk ke dalam perutnya.

Perlu kekuatan seumur hidup untuk menebus kehidupan Aurora kembali. Ini sejenis penebusan kesalahannya sendiri.

"Jagalah anakku, Pelangi. Tolong jaga Aurora."

Perlu waktu empat puluh purnama untuk dapat mewujudkan keinginannya tanpa makan dan minum sedikit pun.

Hal ini yang membuat Pelangi semakin merasa tidak tahan dan ia terus menangis melihat Dewi Mustika Emas yang kian hari tampak kian pucat dan membeku. Hingga tiba pada hari penghancuran itu, Pelangi melihat sendiri bagaimana Mustika Emas meregang nyawa setelah beberapa detik kelahiran kembali Aurora dengan mempertaruhkan nyawanya.

"Jaga putriku." Kata terakhir yang diucapkan Mustika Emas sebelum akhirnya ia melebur dan berubah menjadi teratai emas di tengah Danau Teratai.

"Nyonya, anda baik-baik saja,?" Arumi menyadarkan Pelangi dari lamunannya hingga tangan itu sigap menekan ujung matanya.

"Aku baik-baik saja." Menyentuh wajah Arumi dengan hangat.

"Toloooonnngggg ... kebakaraaaaann ...!"

"TOOOOLOOOOONG ADA APIIII ...!"

"Semua keluar melalui jalan ini ...!"

KEBAKARAN ITU?

***

next ....