Chereads / Sudut Pandang / Chapter 4 - Hewan Spiritual

Chapter 4 - Hewan Spiritual

Guntur membuka matanya menatap sekeliling yang tampak putih dipenuhi alat-alat kesehatan yang ia sendiri pun tidak tahu apa nama dan fungsi semua benda itu.

Kepalanya sakit terasa, beberapa lilitan perban ternoda darah mengikat kepalanya. Guntur menyentuhnya, ia memekik menahan serta berusaha untuk berdiri ingin menuju toilet untuk membuang hajat.

"Akh, sial. Kenapa harus seperti ini?"

Sesosok bargaun putih bermahkota batu merah muncul dengan tiba-tiba mengagetkannya hingga ia nyaris terperosok ke pinggir toilet. Itu seorang gadis, rambut terikat dua dengan sebagian menjuntai, tengah tersenyum penuh wibawa padanya.

"Hah? Hantu ya?"

Guntur berusaha melindungi diri dengan kedua tangannya. Sesaat ia memekik berbarengan dengan gadis itu berteriak menutupi wajahnya dengan kesepuluh jemari yang lentik, tapi rancangan jemari itu jadi pula celah bagi dia untuk mengintip.

Sial! Rupanya rudal milik Guntur belum sepenuhnya terlindungi dari pandangan yang tidak semestinya.

"Kamu siapa sih? Datang tiba-tiba seperti hantu saja."

"Ah, Tuan Jendral. Anda tidak mengenali saya?"

Condong wajah itu menghampiri Guntur yang masih memandang wajah ketakutan. Bau pesing yang belum sempat tersiram itu membuatnya nyaris muntah.

"Jendral apa? Siapa yang jendral?"

"Jendral Guntur, anda seorang panglima perang selama berada di alam langit." Mata gadis itu mengedip cepat.

Langit? Guntur hanya dapat mengartikan langit itu adalah atap plafon dari ruang toilet rumah sakit.

"Jendral Guntur? Alam langit? Kamu mengatakan kalau saya reinkarnasi dari cicak?"

Matanya memang tengah menangkap sepasang cicak yang tengah memadu kasih di dinding itu sambil bersenda gurau.

Ih, Telinganya kian semakin jelas mendengar percakapan kedua hewan menggelikan itu. Guntur bergidik ngeri, cepat-cepat ia keluar dari ruangan sempit itu.

"Jendral!"

"Jendral apanya? Jangan ngaco!"

"Jendral, pasukan anda separuhnya lenyap dibantai Raja Petir. Kedua bintang itu sudah dipertemukan takdir langit, saya hadir untuk melindungi anda dari ancaman."

"Jendral apanya? Pasukan apanya? Saya baru melihat kamu hari ini dan tidak mengenal sama sekali. Tolong jangan ganggu saya, kamu tidak lihat perban ini melilit kepala karena baru habis kecelakaan?"

Melotot mata Guntur, ia cukup jengkel dengan gadis cantik yang bebal terus mengikutinya.

Gadis itu mengibaskan tangannya, membubuhkan sejumput butiran pasir berwarna keemasan. Tak terasa lagi sakit yang mendera kepala Guntur. Lukanya sembuh seketika.

Kedua matanya melotot takjub, ia memegangi hingga kemudian membuka perban itu menatap kepalanya pada bayangan cermin yang terpampang di depan mata.

"Hah? Kenapa bisa seperti ini? Kamu siapa sebenarnya? Makhluk seperti apa?"

"Saya Laluna, hewan spiritual anda."

"Laluna?"

Kedua mata Guntur memicing tajam. Ia seperti mengingat nama itu yang begitu familiar di pendengaran, tapi siapa? Siapa sebenarnya gadis itu? Hewan spiritual? Makhluk apa itu?"

Laluna merubah diri menjadi seekor ular putih dan melingkar pada pergelangan tangan Guntur membentuk sebuah gelang yang cantik.

Kedua mata itu membentuk dua berlian mungil memancar sinar kemilau. Satu mustika di kepalanya berubah menjadi setitik rubi menghiasi.

"Gelang ini?"

Kembali seluruh memori Guntur memutar mencari apa yang perlu ia ingat saat ini. Memang bayangan gelang itu ada, tapi benar-benar tidak begitu nampak jelas dalam ingatannya.

"Tuan, anda adalah reinkarnasi dari panglima perang Dewa Guntur di alam langit. Saya harap anda tidak terlalu dekat dengan Dewi Aurora, karena dia bersumpah untuk membalaskan dendam dengan membunuh anda."

"Dewi Aurora?"

"Seorang gadis yang memiliki kemampuan melihat atau mendengar kehadiran binatang, mencium bau adanya siluman serta mendengar rintihan tangisan para bunga."

"Ah, itu saya sendiri. Adakah gadis seperti itu? Memiliki kemampuan sama seperti saya?"

"Setiap makhluk reinkarnasi dari Dewa atau Dewi serta para peri yang dihukum, dia akan memiliki kemampuan yang sama."

Sejenak ingatannya menerawang pada sesosok gadis cantik kenamaan yang selalu ia ingin rampas hatinya itu, tapi usahanya sudah hampir membuahkan hasil. Bertahun-tahun ia mengejar cinta Arumi, haruskah berakhir begitu saja?

Tidak!

Itu bukan akhir dari kisah yang Guntur harapkan. Ia yakin mampu merubah takdir, menjadikan Arumi miliknya seutuhnya. Pandanglah langit, berharap ijin itu ada padanya.

"Tuan, dahulu di kehidupan yang sebelumnya, anda mendapat fitnah atas tuduhan pemberontakan di alam langit karena anda mencintai Dewi Aurora, putri dari Kaisar langit dan Dewi Mustika Emas."

"Anak Dewi, masih muda sudah menjadi Dewi. Sehebat apa keahliannya?"

"Meski masih mudah, Putri Aurora memiliki banyak prestasi di alam langit. Termasuk diantaranya beliau kerap bersanding dengan anda di setiap pertempuran melawan Negara Api. Hingga pada suatu hari, kalian saling jatuh cinta. Hal ini diketahui oleh Kaisar Langit dan menentang hubungan kalian berdua. Atas dasar hukum langit, anda dianggap sebagai seorang pemberontak dan Putri Aurora dicopot dari jawabatannya sebagai Panglima Perang kedua setelah anda. Beliau dihukum di Paviliun penyucian, tidak boleh keluar selama seribu tahun lamanya. Merasa tidak adil, beliau menghancurkan diri dan berubah menjadi butiran kecil cahaya Aurora. Dewi Mustika Emas sangat sedih, menggunakan seluruh kekuatannya untuk membuat Aurora kembali terlahir dan mempertaruhkan nyawanya sendiri demi kehidupan putrinya."

Guntur tercengang, ia seperti tengah mendengarkan sebuah putaran rekaman dongeng penghantar tidur yang terdengar dari bunyi pada gelang di tangannya.

"Lalu, apa yang terjadi?" tanyanya lirih.

"Mendengar Putri Aurora telah hancur, anda bekerja sama dengan Raja Petir mempersiapkan pasukan besar-besaran untuk menggempur Kerajaan Langit. Putri Aurora lahir kembali, dalam sekejap beliau berubah menjadi gadis yang cantik. Melihat ayahnya terbunuh oleh pasukan anda, beliau mengucapkan sumpah untuk membalas dendam dengan kelak membunuh anda menggunakan tangannya sendiri dan lompat ke purasan lorong pemisah antara bumi dan langit."

Menyedihkan memang jika akhir hidupnya harus setragis itu. Kematian di tangan seorang yang ia cintai, rasanya itu tidak terlalu buruk baginya. Setidaknya Arumi sendiri tahu jika Guntur benar-benar mencintainya meski harus ditebus dengan nyawa.

Guntur tersenyum, menarik nafas panjang.

"Kamu jangan urusi hidup saya, tetaplah menjadi bawahan yang baik. Arumi itu bukan tipe gadis seperti itu, dia orang yang lembut."

"Tapi, Tuan."

"Ck, sudahlah, saya yakin takdir langit tak selamanya buruk."

"Tuan, jika anda mati di tangan seorang Dewi, anda akan lenyap dan tidak dapat kembali ke alam langit."

"Hem, Perduli apa saya dengan itu?"

Sementara itu, langkah Arumi kian memadati hentakan kakinya berbunyi ketukan ujung hils itu menimpa lantai marmer. Mendapat kabar jika penggemarnya mengalami kecelakaan, tentu hal itu sedikitnya membuat ia merasa bersalah adanya. Bagaimanapun, kecelakaan itu terjadi setelah Guntur kembali dari toko miliknya.

Pintu terbuka, tangannya sigap mencengkeram gelang melingkar di lengan Guntur hingga terjatuh dan menggeliat di lantai.

Mata Arumi memancarkan cahaya merah, gadis pengikut tuannya itu rupanya makhluk yang dulu kerap membuat Aurora cemburu karena kedekatan mereka.

Gadis itu tersadar, tapi bau siluman tak lepas dari hidungnya. Bahkan ia sendiri tidak tahu jenis bau apa yang sedang ia cium saat ini.

Sorot matanya meredup, ia melihat Guntur begitu ketakutan bersembunyi di sudut ruangan sambil mencengkeram kepalanya.

"Hey, apa yang saya lalukan?" Ia tersadar, melihat kedua tangannya sendiri. "Apa kamu terluka?" tanyanya pada Guntur. "Saya dengar kamu mengalami kecelakaan. Apa ada yang luka?"

Seorang suster terkejut melihat perban itu sudah terlepas dan tak ada sedikit pun luka di kepala Guntur. Jelas-jelas tadi ia sendiri yang membersihkan luka itu.

Nampan alumunium dengan berbagai obat di tangannya seketika terjatuh, ia mengagetkan Arumi pula yang seraya memicingkan matanya memusatkan telinga dan hidung mencari sumber bau serta suara siluman itu.

"Di mana dia?"

"Nona Arumi? Anda kenapa?" tanya suster itu tampak ketakutan.

Sadar jika dirinya bukanlah orang yang normal seperti pada umumnya, Arumi merubah ekspresinya, tampak lebih sumbringah meraih sebuah gelang perak berbentuk ular itu untuk kemudian dikenakannya.

"Ini dia, gelang saya terjatuh." Arumi tersenyum lebar ke arah suster itu.

"Lalu, itu, kenapa luka pasien sudah sembuh?"

"Hah? Luka apa? Bahkan dia pasien lama, lukanya pasti sudah sembuh."

"Pasien lama? Dia pasien yang baru datang tadi pagi."

"Ah, tidak mungkin. Saya mendapat kabar dia dirawat di sini sudah sejak satu minggu yang lalu. Benarkan?" Menarik Guntur untuk duduk lebih baik di sofa.

Guntur mengangguk. Dia sadar jika posisinya juga tidak sedang begitu menguntungkan seandainya ia tidak membenarkan kebohongan itu.

"Anda salah kamar, suster. Saya sudah mau pulang sekarang."

Tergopoh, tapi tetap isi kepalanya berputar. Sekilas ia kembali menoleh pada nama yang tertera pada kertas itu, benar ini nama dan nomor kamarnya, tapi .... ah.

Arumi tersenyum setelah suster itu berlalu. Ia menutup pintunya, tak memerhatikan jika Guntur tersenyum bahagia karena ini kali pertama ia mendapat perlindungan dari gadis yang dicintainya.

Tentang berita itu, ia tak boleh tahu jika di kehidupan sebelumnya terdapat kejadian tragis yang menyebabkan terucapnya sumpah atas kematian Guntur yang harus terjadi karena permainan tangan Arumi.

"Saya mencium bau menyebalkan. Tapi kenapa harus dari gelang ini? Apa benda ini berasal dari comberan?" Melempar benda itu ke arah Guntur.

Guntur tak dapat menjawab, selain hanya memalingkan pandangannya ke arah lain.

***

Next ....