Chereads / MIMPI: Takdir Yang Hadir / Chapter 24 - BAB 1 Bagian 18

Chapter 24 - BAB 1 Bagian 18

Sampai di rusun, Ginnan tersenyum tipis melihat Renji tolah-toleh ke pemandangan sekitar. Pasti pria itu tak pernah memasuki kawasan kumuh seperti ini. Dia terlahir di kalangan menengah ke atas, lalu hidup bagaikan dewa diantara fanbase-nya. Jika bukan karena Ginnan, kakinya pasti tak akan pernah memijak tempat ini.

"Kalau tidak suka tempatnya, kau boleh menunggu di luar," kata Ginnan sembari memutar kunci.

"Aku akan membantumu membawa barangnya," balas Renji.

"Yakin? Ada banyak debu di dalam."

"Hm," Renji menggamit tangan Ginnan sebelum lelaki itu melangkah masuk.

"Apa?"

"Pakai lagi maksermu kalau begitu."

Perut Ginnan tergelitik seketika. "Nope, tidak perlu," katanya. "Ini kan rumahku. Kau pikir kenapa aku bertahun-tahun bisa hidup di sini?" Ginnan justru balas menggenggam Renji untuk mengikuti langkahnya.

Lebih buruk dari ekspektasi, Renji langsung bersin begitu menginjak keset di depan pintu. Pria itu mengipas-ngipas udara, batuk, lalu bersin yang kedua kali. Dia pasti sangat peka terhadap hal kotor-kotor.

Lihatlah, para fungus! Kalian harus bilang selamat datang untuk pria kaya ini!

"Astaga, maaf. Sebulan lebih kutinggal tempat ini jelas tak terurus. Ha ha ha…" tawa Ginnan. "Kau duduk saja di sofa—ehem… atau tempat apa lah yang menurutmu bersih?"

Renji langsung menyisir perabotan sederhana Ginnan di sekitar. "Tidak, aku baik-baik saja," katanya. Lalu pandangannya jatuh ke ranjang kecil berkaki rendah yang tidak memiliki kelambu. Di sana pasti hanya cukup satu orang, tidak nyaman dengan kasur lawasnya, dan sering dihinggapi nyamuk garang. "Apa kau benar-benar tidur di tempat ini?" tanyanya.

Ginnan yang tengah memutar kunci rahasianya kini tergelak. "Tentu saja! Parah ya?" katanya. "Atau kau heran karena yang menempatinya secantik aku?"

Renji terpaku memandangnya.

"Hai, sobat-sobat!" sapa Ginnan ke celengannya yang mengkilat dalam lemari. "Aku datang menjemput kalian. Jangan nangis oke? Habis ini semuanya akan kusembelih. Ha ha ha!" tawanya seperti pelaku kriminal.

Renji masih gak berkedip melihat Ginnan memasukkan semua celengannya ke dalam tas ransel besar. "Kau menabung sebanyak itu sebenarnya untuk apa?" tanyanya.

"Eh? Aku?"

"Selain untuk melamar dan biaya menikahi gadis itu, maksudku."

Ginnan pun mengusap tengkuknya. "A-Anu… apa kelihatan sejelas itu?" tanyanya.

Renji mengambil ransel itu sebelum Ginna kewalahan menjinjingnya. "Untuk rumah?" tebaknya.

"Yeah?" kata Ginnan. "Walau hanya rumah kecil," cengirnya. "Aku ingin sekali membuat kamar yang begitu luas, ada isi pentabe atau display gambar, monitor ultrawide khusus desain, berdinding rak penuh buku referensi, AC, dan speaker besar agar bisa mendengarkan lagu sampai puas…"

"…"

Ginnan mengendikkan bahu. "Tapi sekarang kau mewujudkan semuanya," senyumnya mendadak terlihat sedikit hambar. "Aku jadi berpikir, apa impianku sekecil itu? Hanya karena mengenalmu, rasanya mudah sekali tercapainya."

"…jadi kau menyesalinya."

DEG

"Ah! T-Tidak kok! Tidak sebegitunya juga!" seru Ginnan. "Aku justru senang. Tercapainya sebuah impian … berarti tinggal mewujudkan impian berikutnya, benar?" Lelaki itu mengecup bibir Renji sebelum melipir lagi. "Sudah sana. Kau tunggu saja di mobil. Aku masih butuh beberes sedikit biar tidak jorok sebelum kutinggal."

Renji melirik kotak cincin di tangan Ginnan sekilas. "Hm," gumamnya lantas berlalu.

Ginnan bisa menghela nafas lega setelahnya. Sungguh, dia takut menyinggung perasaan Renji. Siapa kira kalau pria itu mudah sekali cemburunya?

Cukup, Ginnan. Jangan buat dia kepikiran lagi!

Ginnan pun memantabkan diri untuk melempar benda itu ke atap rumah-rumah di bawah. Benda tersebut melompat-lompat. Jatuh. Lalu entah hilang ke mana dan menimbulkan senyumnya.

Maaf, Yuki-chan. Tapi Renji sudah menjadi punyaku. Maaf juga aku tidak bermaksud merebut dia.

Ginnan menghela nafas begitu semua selesai. Dia pun menyapu kamar sempit itu dan meletakkan gitar lawas milik penghuni sebelumnya di meja. Dia berusaha kerja cepat, sesekali menilik Renji dari jendela, lalu baru sadar sepenuhnya … betapa pria itu terlihat megah dengan aura khasnya.

Ginnan akui, ini bukan zaman dulu dimana para pangeran eksis. Tapi Renji, pria itu mungkin manifestasi keindahan semua pangeran itu. Lihatlah, berkedip saja sangat-sangat memesona. Caranya menatap malas sekeliling pun membangkitkan gairah dari dalam dirinya.

"Sebenarnya aku ini tokoh apa-apaan?" pikir Ginnan sembari menatap kedua telapak tangannya sendiri. "Seenaknya mendadak datang. Pelacur, beban, dan lelaki yang tidak penting … Bagaimana bisa Veer, Haru, Jean, Yuki, bahkan semuanya kalah—apa aku benar-benar pantas menerima posisi ini?"

"Benar, kau tidak pantas menerimanya."

DEG

BRAKH!

"A-Apa?"

Ginnan tersandung kaki sofa tanpa sadar. Dia terjembab. Jatuh. Lalu mengucek mata beberapa kali.

T-Tunggu dulu—apa yang barusan itu? Suara siapa?!

Ginnan pun mengitari sekitar kamarnya begitu cepat. Mencari. Dan ternyata ada wajah Haru yang samar-samar terlihat.

DEG

"H-Haru?!"

Lalu bayang-bayang itu menghilang.

.

.

.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Renji.

Ginnan refleks mendongakkan wajah. Di menemukan pria itu di hadapannya. Sigap, sempurna, dan Renji langsung melantingnya tegak berdiri.

"T-Tidak kok. Tadi hanya kesandung sedikit saja. Ha ha…" keringat dingin mengucur di pelipis Ginnan. "Ah! Aku mau kembalikan sapunya dulu, oke? Sudah selesai kok. Kita lanjut pergi ke panti setelah ini."

"…"

"Sungguh aku baik-baik saja," kata Ginnan meyakinkan. "Tunggu sebentar ya."

Demi apapun aku benar-benar melihatnya! Hantu Haru! Tapi, tunggu dulu… apa Haru sudah mati? Mustahil kan? Sebenarnya apa yang sudah terjadi?

Ginnan menggeleng-gelengkan kepala setelah itu. Mendadak kakinya dingin. Tak jelas apa alasannya, tapi kalau diingat sekali lagi, Ginnan bisa melihat samar kejadian saat demam hebat kapan hari.

DEG

"Benar juga… Kuze-kun waktu itu meminta tolong padaku," batin Ginnan langsung kalut. "Dia bilang, Haru hilang. Bukankah ini berarti aku harus cepat mencari?" Dia menepuki pipi agar lebih sadar. "Tidak-tidak. Aku kan dilarang keluar sembarangan. Tapi Renji…"

Ginnan segera mencuci wajahnya di wastafel sebelum menoleh ke Renji. Pria itu masih menunggu di ambang pintu. Menatapnya. Lalu mendekat dengan dua sarung tangan.

"Kau akan semakin kedinginan kalau begitu," kata Renji. "Sini kupakaikan." Ginnan hanya menatap saat tangannya dibebat ulang. Perasaan, sepasang benda ini tadi dia taruh di meja. Tentu saja karena bersih-bersih.

"Ren?"

"Hm?"

Ginnan menatap Renji lekat-lekat. "Boleh aku tanya soal Haru?" katanya.

"Soal apa?"

"Waktu aku sakit… bukankah kau yang mengangkat telepon Kuze-kun?"

Gerakan Renji mendadak terhenti begitu saja. "Kenapa tiba-tiba tanya soal itu?"

"Ah… A-Aku…" Ginnan menarik tangannya begitu selesai dihangatkan. Kenapa kau tidak panik samasekali, Ren? Batinnya bingung. "Kau kan sudah janji. Kalau aku sembuh, kita harus menyelesaikan masalah itu. Tapi, andai saja aku tidak ingat, apa kau tak akan pernah memberitahu?"

"Hal ini sudah kulaporkan ke polisi," kata Renji. "Aku juga mengirim beberapa orang untuk mencarinya diam-diam. Jika ada kabar, mereka pasti memberitahu."

"T-Tapi…" Ginnan meneguk ludah kesulitan. "Kuze-kun bilang kita harus mencarinya, Ren. Lagipula, apa kau sendiri tidak khawatir ke Haru?"