Chereads / MIMPI: Takdir Yang Hadir / Chapter 25 - BAB 1 Bagian 19

Chapter 25 - BAB 1 Bagian 19

Renji menangkup kedua pipi Ginnan kali ini. "Dengar," katanya. "Bagaimana aku tidak cemas jika memang ada sesuatu?"

"Ini Haru, Ren," kata Ginnan takut-takut. Suaranya pelan, mencicit, namun bibir gemetarnya tetap mengatakan segala gelisahnya. "Apa kau masih peduli pada hal lain saat dia tidak ada?"

"Tapi situasi kita sendiri tidak mudah," kata Renji. "Sangat bahaya untukmu keluar sendirian sebelum jumpa pers, aku sendiri sudah punya jadwal padat setelah tidak aktif lebih dari dua minggu. Perusahaanku menjatuhkan sanksi ini itu, produserku menuntut projek yang tertunda, sutradaraku meminta cepat bekerja, dan tentu aku harus mengurus semuanya sesuai waktu yang ditentukan."

"Aku sungguh tidak mengerti," kata Ginnan. "Kupikir Haru lebih berharga daripada profesimu…"

Renji diam kala Ginnan menampiknya mundur.

"Lagipula kau ini sudah sangat kaya. Buat apa sih semua projek-projek itu? Apa nyawa seseorang yang selama ini membantumu masih kalah dibandingkan uang?"

"Ginnan—"

"Jangan sentuh!" jerit Ginnan. Meski setelah itu dia berdebar kencang. Pasalnya, dia sendiri lupa kapan terakhir membentak Renji seperti itu. Panik, Ginnan pun menoleh ke sekitar lagi. Mana Haru? Mana wajah hantu yang tadi ada di sana?! "L-Lagipula, kalau diingat-ingat … benar juga. Dulu Veer pergi karena aturan pekerjaanmu. Lalu Jean—bahkan sekarang waktu Haru hilang … kau masih memilih uang?"

Dalam sebuah tarikan, Renji membawa Ginnan paksa ke rengkuhannya. Aman. Hangat. Dia tak peduli Ginnan memberontak di sana.

"Tenangkan dirimu dulu. Kita bicarakan ini lagi nanti—"

"Tidak, Ren! Tidak mau!" bentak Ginnan lagi. Meski lelaki itu tak mampu lepas dari Renji, dia tetap menjerit keras kepala. "Waktu itu kau sudah janji! Bodoh sekali aku lupa hanya karena sakit—LEPAS!"

"Ssssst…"

Detik itu suara Ginnan menjadi goyang. "Apa kalau aku yang hilang, kau juga akan begini?" katanya. Mendadak terisak-isak. "Kau hanya peduli uangmu! Asetmu, kerjaanmu, projekmu—segalanya."

"Bukan begitu, hm? Kita akan—"

"Harusnya aku tahu kenapa orang-orang di sekitarmu tak ada yang mau menetap—"

DEG

Sekujur tubuh Ginnan kini merinding. Bukan karena Renji, namun perkataannya sendiri. Secara ajaib mulutnya terkunci. Antara bayangan Haru dan Renji, Ginnan pening. Dia pun terbeku di pelukan Renji yang tak melonggar sedikit pun.

"Aku tolol… Tuhan… aku sungguh-sungguh tolol."

Tepukan lembut Renji justru terasa di punggung Ginnan. Pria itu terus melakukannya dengan sabar hingga Ginnan menyurukkan wajah di lipatan lehernya. "Ren, aku minta maaf," bisiknya pelan.

Renji mengangguk pelan. "Hm," gumamnya.

"Ren, tidak apa-apa kalau kau marah padaku."

"…"

"Ren, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu…"

Perjalanan menuju ke panti asuhan ditunda siang itu. Renji langsung membawa Ginnan pulang, menidurkannya seperti bayi, dan baru membuka ponsel saat bayang-bayang senja mulai terlihat.

[Veer, Missed Call (29)]

[Veer, Message (5)]

[Furi, Missed Call (7)]

[Takano, Missed Call (4)]

[Yurio, Message (1)]

…selain mereka, masih ada beberapa kontak lain yang Renji abaikan. Pria itu hanya memaku satu nama: Yuriko. Lalu membuka pesan yang dia tinggalkan.

[Yuriko: Tuan, aku menemukan beberapa jejak Haru-sama. Bisa anda cek lokasi yang saya tandai?]

Renji tak berkedip menatap beberapa link yang dikirimkan. Dia memencetnya satu per satu, mengernyitkan kening, lalu mengirim balasan.

[Renji: Jelaskan padaku semua situasinya. Kita bertemu langsung lusa pagi. Jam 2. Aku harus pastikan tidak ada yang tahu soal ini]

Balasan Yuriko muncul tujuh detik setelahnya.

[Yuriko: Baik, Tuan]

Renji menghela nafas panjang. Dia hampir saja mematikan ponsel lagi bila tak ada telepon dari Veer yang tiba-tiba.

Benda itu berkedip-kedip. Dia pun mengangkatnya dan berhenti mengelus kepala Ginnan.

"Ya?"

"Ren?"

"Hm, ini aku," kata Renji. "Ada apa?"

Suara Veer terdengar senang. "Bagaimana kabarmu di sana? Apa baik-baik saja?"

"Begitulah."

Terdengar helaan nafas lega setelahnya. "Oh. Bagus. Aku belum dengar kabar terbaru lagi darimu. Apa Ginnan juga baik-baik?"

Renji menoleh ke laki-laki menggemaskan di sisinya. "Dia baik, hanya agak rewel siang hari ini," katanya.

"Ha ha…" tawa Veer. Renji tidak pernah membayangkan dia akan mengobrol dengan sepupunya lagi seperti ini. "Pasti kepikiran sebelum jumpa pers kalian."

"Mungkin."

Renji mengecup pelipis Ginnan sekilas.

"Jangan terlalu keras padanya, Ren," kata Veer. "Bicara dengannya sekali saja aku sudah tahu, dia bukan tipe seseorang yang bisa ditangani dengan mudah. Tapi aku yakin dia berhati baik."

"Hmph, tidak perlu mengingatkanku."

Veer pun terkekeh pelan. "Ngomong-ngomong, maaf baru baca pesanmu," katanya. "Aku sibuk sekali di sini."

"Tentu saja, Pak Presdir."

"Ha ha… Aku ini bukan presiden besar," kata Veer. "Jadi sesekali tetap bisa berkeliling dengan Fei Long. Katanya, India tak seburuk yang dibayangkan."

"Bagus."

Mendadak suara Veer berubah lirih. "Sejujurnya, Ren. Aku menyayangkan keputusanmu soal aset-aset itu," katanya. "Maksudku, kalau ditotal, sudah berapa persen dari keseluruhan hartamu? Apa kau yakin akan memberikan semua kepadanya?"

Tatapan Renji meredup perlahan. "Untuk saat ini, memang itu jalan damai yang terbaik, Veer," katanya. "Aku cukup lega tahu kepastiannya. Setidaknya Haru tidak disentuh lagi hanya karena aku tidak ada."

Di seberang sana, Veer menatap langit biru dengan bibir yang gemetar. Dia gentar. Dia heran. Dia seperti kehilangan sosok sepupunya yang dulu sekarang. "Begitu," katanya. "Tapi caranya kotor sekali. Bagaimana bisa istri Haru melakukan hal serendah itu? Bitch… kalau menelpon dengan nomor yang berbeda saja aku juga bisa! Seenaknya mengancam sepupuku."

Renji tersenyum tipis mendengarnya. "Sebenarnya aku sedikit ragu."

"Soal apa?" tanya Veer dengan dengusan kesal.

"Suara Rose," kata Renji. "Aku jarang bertemu dengannya, tentu saja. Selama ini dia tinggal di luar negeri. Pindah-pindah. Pernah di Paris. Pernah di Teheran. Dan jika ada lokasi yang lain, aku jelas tidak tahu. Tapi, aku yakin wanita yang bicara denganku di telepon bukan dia."

DEG

"Berapa persen keyakinanmu?" tanya Veer.

"Enam puluh? Tujuh puluh?" kata Renji. "Tapi aku benar-benar diperbolehkan telepon dengan Haru saat masih di Belanda. Hanya saja, sepertinya ada yang mengancam dia. Selain lokasi, Rose bilang Haru hanya boleh mengatakan dua kata yang terpenting."

"Kata penting?"

"Kami baik," kata Renji seolah dia merupakan Haru. "Itu berarti dia, Sheila, dan Sherly masih bisa kubawa pulang sesuai perjanjian yang Rose berikan."

"Kapan?" tanya Veer tiba-tiba panik. "Jangan bilang saat aku dan Fei Long pamit pergi ke India."

"Hn."

"Oh… pastinya," desah Veer dengan kekehan yang penuh gelisah. "Jadi Ginnan masih sakit waktu itu."

"Begitulah."

"Pantas kau seperti tak bisa diganggu. Ayah bahkan melarangku pamit padamu," Veer memijit keningnya pelan. "Tapi, Ren. Kau yakin tidak memberitahu dia soal ini?" tanyanya.

"Tidak."

Persis seperti dulu, nafas Veer selalu tertahan tiap kali Renji memberikan jawaban setegas itu. "Kenapa?" tanyanya. "Bukankah kalian itu pasangan? Ginnan harusnya 100% paham situasimu."

"Tidak, Veer. Aku harus memastikan beberapa hal sebelum dia mendengarnya," kata Renji. Suara pria itu makin dalam di telinga Veer.