"Oke, baik. Sekarang tutup matamu," kata Ginnan. "Jangan khawatir. Aku tak akan kemana-mana."
Renji benar-benar langsung tenang begitu menutup mata. Rautnya rileks. Nafasnya halus. Pria itu seperti dihinggapi puteri tidur meski tak lupa memeluk Ginnan. Sebagai lelaki, sejujurnya Ginnan tak selalu terima diperlakukan seprotektif ini. Apalagi dalam hal-hal sepele. Tapi mungkin, ini hanya ekspresi senang Renji saja. Baru kali ini pria itu memiliki seseorang di sisinya. Benar-benar hidup, mencintainya, mendukungnya, dan setiap kali pulang selalu ada. Ginnan pikir, suatu hari bila Renji mulai bosan, pria itu pasi takkan begini lagi padanya. Jadi, ya sudahlah. Suka tak suka, Ginnan memutuskan menunggu saat itu tiba.
Keesokan harinya, Ginnan berusaha kabur dari Renji sebaik mungkin. Satu per satu, dia lepaskan lengan itu dari pinggangnya. Perlahan, perlahan… dia mandi dan mengompres matanya sebelum alarm berbunyi. Jangan sampai Furi dan Takano tahu! Mereka pasti melihatnya aneh kalau bengkak matanya masih tetap tampak jelas.
"Aku ini lelaki, ya Tuhan. Bagaimana bisa kebiasaan menangis ini bertahan sampai sekarang?" batin Ginnan. Bahunya refleks berjengit setelah kompres matanya dilepas. "Ah!" kagetnya. Sebab pantulan wajah Renji ada di cermin meja rias juga. Pria itu baru bangun. Rambutnya berantakan, kancing atasnya terbuka, dan ada gelas susu pagi di tangannya. "Ya ampun—aku kaget sekali. Ngomong-ngomong, selamat pagi," sapanya. Ginnan tak bergerak ketika Renji menunduk untuk mengecupnya.
"Pagi."
"Apa… tidurmu nyenyak semalam?" tanya Ginnan. Canggung. Dengan mata separuh terbuka itu, Ginnan bahkan tidak yakin Renji ingat mengekorinya saat pipis atau melipir ke dapur.
"Ya."
Lebih canggung lagi saat Furi dan Takano sudah datang. Kompak, mereka berdua langsung berpencar kala menatap dia dan Renji berpandangan. Ah, mereka ini! Bisa tidak jangan mendramatisir?
"Baguslah kalau begitu. Aku senang tidak mengganggu istirahatmu," kata Ginnan. Dia segera mengusap wajah dengan handuk mungil sebelum mousturizer-nya menempel terlalu lama. "Oh iya. Tadi malam kau bilang ada pekerjaan. Kenapa tidak siap-siap? Aku sudah mandi, Ren. Nanti kutunggu di ruang makan."
"Aku mengatakan itu?"
"Iya?"
Benar kan? Semalam itu dia tak sungguh-sungguh sadar!
"Tidak, mungkin besok baru ada," kata Renji.
"Oh…"
Pria itu hampir pergi jika Ginnan tak menangkap tangannya. "Tunggu—Ren?" panggilnya. "Anu, jadi hari ini kau sungguhan free?"
"Hm," kata Renji. "Atau harusnya kita ada di bandara sekarang."
"B-Benar juga, kemarin kita berencana ke panti lalu mengunjungi rumah," Ginnan pun menunduk sembari meremas piama Renji tanpa sadar. "Kalau begitu, maaf. Bisa kita pergi setelah sarapan? Aku janji tidak akan kacaukan perjalanan hari ini." Dia tatap kedua mata emas itu hati-hati. Memohon, semoga Renji tidak terlalu mengambil hati untuk yang kemarin.
"Tentu, kita masih bisa berangkat kalau beli tiket penerbangan ketiga," kata Renji.
"Ah, syukurlah…" desah Ginnan lega. "Kalau begitu, aku akan bilang Furi. Nanti biar kubantu dia kemas-kemas barang selama kau mandi. Sana."
"Hm."
Kadang-kadang, ada bagusnya memiliki kekasih seperti Renji. Pria itu jarang mempermasalahkan situasi bila tak dipancing lebih dulu. Dia tenang, bahkan terlalu tenang sampai-sampai Ginnan tersedak sarapan karena takut ketinggalan jam terbang.
"Pelan-pelan. Ini baru jam 8," kata Renji.
"Ahaha… iya. Tapi perjalanannya kan tidak cepat. Belum lagi antri boarding pass-nya," kata Ginnan. Dia segera mengelap bibir dengan tisu dari saus kari. Renji justru menilik arlojinya dan menoleh ke Takano yang masih sibuk menyedot debu.
"Takano."
"Ya, Tuan?"
"Batalkan tiket pesawatnya sekarang," perintah Renji.
"Eh?" Bola mata Ginnan seketika membulat. "K-Kenapa? Aku bisa kok makan cepat. Atau nanti bawa sebagian ke mobil—"
"Tidak," kata Renji tanpa menoleh ke Ginnan. "Dan beritahu Furi untuk menelpon maskapaiku. Bilang padanya untuk siap-siap pergi jam 11 pagi."
Takano sempat melirik Ginnan sekilas sebelum mengangguk patuh. "Baik, Tuan," katanya. "Jadi sekalian saya bawa barangnya ke sana?"
"Benar."
"Baik."
Saat Takano pergi untuk mematikan vacum cleaner, Ginnan masih kebingungan di kursinya. Bola mata besarnya berkedip-kedip. Dia menjilat sisa saus di bibir, terus menatap punggung Takano hingga Renji menoleh padanya.
"Tunggu, apa tadi aku salah dengar?" tanya Ginnan.
Renji tetap santai menyesap sup di mangkuknya. "Tidak, lanjutkan saja sarapanmu."
"Eh?"
"Pelan-pelan. Jangan sampai perutmu sakit karena sembarangan makan," tegas Renji sekali lagi.
"Lalu penerbangannya?"
"Tenang saja. Nanti kita tetap berangkat pergi."
Ginnan pikir, Renji sedang bercanda. Tapi dia benar-benar takut makan cepat jika sudah dipandangi dengan mata itu. Berbanding terbalik dengan mereka berdua, Furi dan Takano tampak begitu terburu-buru melakukan sesuatu. Mereka kesana kemari. Menelpon beberapa orang. Bicara cepat dengan kata-kata formal, lalu tersenyum lega setelah semua selesai. Keduanya bahkan tampak bangga saat menghadap ke Renji yang baru akan keluar setelah sarapan.
"Tuan…" desah Takano.
"Semuanya sudah siap?" tanya Renji. Ginnan hanya melihat situasi saat itu sembari menalikan sepatunya.
"Tentu saja, Tuan," kata Furi dengan cengiran kecil. "Saya akan antar Anda ke sana secepat mungkin. Tadi alur lalu lintas tercepat juga sudah saya tinjau. Tinggal berangkat saja sekarang."
"Bagus," kata Renji sembari menepuk bahu lelaki itu. "Tolong jaga tempat ini untuk 3 hari."
"Baik."
Renji menoleh ke Ginnan yang segera gugup berdiri.
"A-Aku siap!" seru Ginnan sambil tersenyum lebar. "Maaf lama. Tadi ponselku masih tertinggal di kamar, Ren."
Bukannya langsung menggandeng Ginnan, pria itu justru menunduk, bahkan duduk jongkok tiba-tiba.
DEG
"Eh?!"
Tidak hanya Ginnan, Furi dan Takano bahkan syok menatap pemandangan di depan mereka. "Kebiasaanmu terburu-buru itu harus dirubah," kata Renji. Dia melepas tali sepatu Ginnan satu per satu dan menyimpulkannya ulang. "Ini belum ada jam 9. Bukankah sudah dengar kalau pesawatnya terbang jam 11?"
"Iya, t-tapi…" Ginnan salah tingkah. Antara membantu Renji dan tetap berdiri, dia panik akan situasi itu. "…ah, sudah, Ren. Aku tidak apa-apa."
"Bagaimana kalau kau tersandung karena hal sepele seperti ini?" kata Renji. Hasil kerja pria itu bahkan lebih rapi dari pekerja pameran sepatu di Urban Sneaker untuk umum. "Lain kali lebih perhatikan pribadimu."
Untuk pertama kali sepagian ini, pipi Ginnan pun merona begitu pekat. Di depan Furi dan Takano, dia sungguh-sungguh malu. Lalu bagaimana bisa Renji tetap datar saja?! Ah!
"Iya, maaf." Ginnan meringis-ringis kala Renji mencubit dua pipinya gemas. "Aduh! Aw! Aw! Sakit… Unngh…" pria itu baru melepasnya setelah terkekeh kecil.
"Sekarang berikan ponselmu," kata Renji.
"Kenapa ponsel? Aku mau bawa itu sendiri."
Renji tetap mengulurkan tangannya. "Jangan main gadget sampai kita tiba ke tujuan," katanya tegas.
"Tapi aku mau main game di perjalanan," bantah Ginnan. "Aku janji tidak lupa me-mode pesawat-nya kok."
Percaya tak percaya, Furi dan Takano barusan membuang muka melihat mereka berdua berdebat. Bahu keduanya bergetar, geli. Dan Ginnan pun langsung kesal melihatnya.
Astaga… sebenarnya apa yang di kepala mereka berdua?