Ginnan pun meringis kala dipegangi erat. Perutnya ikut tegang. Meskipun begitu, mana pernah Renji mengampuni Ginnan? Pria itu tetap mencari jalan. Dengan jari tengah, dibelainya bulatan merah muda milik sang kekasih di bawah sana. Pria itu tidak tahu Ginnan sedang ingin mencoba hal baru. Saat Ginnan mendadak melawan, Renji langsung mundur ke belakang. Lelaki itu melompat ke dada Renji. Menduduki. Senyumnya tampak bangga kala Renji memegangi pinggulnya agar tak jatuh karena turbulensi ringan.
"Aku menang kali ini," kata Ginnan. Dia tertawa saat Renji melucuti garmen atasnya. Jaket, rompi rajut, sweater, kaus—semuanya lolos dengan singkat. Namun Ginnan tidak ingin diam. Dia balas memegangi tangan Renji, meski kentara sang kekasih kini mengalah darinya.
"Ya."
"Pokoknya hari ini wajib menuruti aku." Senyuman Ginnan mengembang lebar. Dia puas bisa menelanjangi Renji satu demi satu. Apa-apaan pria ini? Ginnan tak akan biarkan dirinya rapi seperti biasa!
"Kau sepertinya sangat senang…" kata Renji. Begitu bertelanjang dada, pria itu tiba-tiba duduk. Dia mendekap pinggang Ginnan cepat. Menciumnya. Ginnan yang kaget langsung meremas seprai bulu di bawah mereka.
"Unggh…" lenguh Ginnan. Renji baru melepaskan bibirnya begitu makin kemerahan. Bagian lembut itu diusap sayang. Kelembapannya sangat hangat. Renji menyesap esensinya tanpa aba-aba hingga lutut Ginnan lemas. "Kita benar-benar akan melakukannya di sini?" tanyanya dengan nafas terengah.
Renji justru menatapnya dengan mata redup. "Hm? Kupikir aku disuruh patuh hari ini," katanya. "Jadi apa perintahnya, Tuan."
DEG
Kini rona Ginnan merambat hingga bahu-bahunya. "A-Ah iya…" Jika sudah begitu, bagaimana bisa Renji tahan? Pria itu meremas otot perut Ginnan masih samar dan ramping. Bagian itu sangat keras. Kentara sekali kekasihnya tegang karena situasi menarik tempat ini.
Tok-tok-tok…
DEG
Tangan jahil Ginnan refleks meremas sabuk celana jeans Renji.
"R-Ren?"
"Hm?"
"K-Kupikir tak ada yang boleh kemari?" Ginnan meneguk ludah kesulitan. "Maksudku, ini kan kamar pribadimu—"
"Hm, kenapa?" sela Renji dengan seringai.
"Yeah, k-kupikir mustahil ada yang mengganggu kita," Ginnan pun berjengit kala Renji menariknya ke dalam pelukan. "Eh?"
"Diam saja sebentar."
"Tapi—"
Pintu mendadak terbuka perlahan. "Renji-sensei, teh untuk Anda sudah siap," kata seorang wanita ber-name tag yang tengah membawa baki.
DEG
Seketika Ginnan pun membuang muka. Dia balas memeluk Renji erat, dan tak peduli sudah memunggungi pramugari.
"Letakkan saja di meja. Jika sudah hangat pasti akan kami minum," kata Renji. Membuat telinga Ginnan makin memerah. "Terima kasih sudah membawanya kemari."
"A-Ah… iya! Maaf!" kata wanita itu tidak kalah malunya. Dia berdebar. Ikut panas. Pasalnya kurva tubuh Ginnan sangat jelas di pelukan majikannya. Kulit lelaki itu sungguh putih. Tampak lembut, kenyal, dan haus sentuhan di setiap jengkalnya. Belum lagi tulang punggung Ginnan yang meliuk. Pinggang kecilnya jadi makin cantik, dan dia meneguk ludah tanpa sadar melihat bekas remasan intens Renji di pantat sintal tersebut. "Sekali lagi maaf, Renji-sensei. Saya tidak bermaksud mengganggu Anda. P-Permisi—"
"Tunggu," sela Renji.
"Eh—y-ya… Tuan?"
Tak kalah malu berat, Ginnan berbisik lirih di telinga Renji. "Ren, please…" dia makin mengeratkan pelukan itu tanpa sadar. "Biar dia pergi, ugh…"
"Sssst, tidak apa-apa," Renji menarik jaket terdekat untuk menutupi bawah tubuh Ginnan. Dia menatap tajam gadis pramugari yang takut-takut menghadap kembali itu. "Untuk dia, siapkan oatmilk, kaviar, susu putih, foie grass, dan buah pisang."
"B-Baik."
"Porsinya kecil-kecil saja, dia sudah sarapan tadi pagi."
"Iya, Tuan."
"Dan pastikan siap semua sebelum landing, tapi letakkan saja di luar. Aku akan memanggilmu lagi nanti," instruksi Renji. "Untukku roti dan kopi saja."
Pramugari itu mengangguk penuh ketakutan. "Siap." Dia pun segera permisi setelah memberi ojigi. Sementara itu, Renji mengesun tengkuk Ginnan untuk meredakan ketakutannya.
"Sudah pergi. Kau tak perlu sembunyi lagi."
Perlahan, jemari dingin Ginnan kini menghangat. Dia membuat jarak tipis-tipis, dan Renji terkekeh melihat ekspresi wajahnya.
"A-Aku malu sekali."
"Hmph, tidak perlu mengatakannya."
"U-Untungnya belum apa-apa," Pipi kenyal Ginnan kini tak tertolong lagi. "Aku pasti gila kalau sampai… ugh, Reeen…"
Renji justru mengecupi pipi itu dengan gemas. Apalagi Ginnan masih cemas memperhatikan pintu sejak kejadian itu. Dia tidak fokus, bingung. Namun masih mendesah merdu tiap kali titik sensitif tubuhnya merasa nikmat. Nafasnya mengepul kencang ke jendela pesawat kala posisi seks mereka menghadap sana. Jarinya kaku. Untung Renji bisa melemaskannya setelah mereka mengulangi pergumulan itu lebih dari dua kali.
"Ahh… hiks… n-nikmat—ah!"
Penerbangan jadi terasa begitu lama.
Yang Ginnan tidak bisa kendalikan adalah suaranya. Dia sempat berusaha membekap bibir dengan tangan. Cemas dengan kesan tempat umum. Namun Renji terus menciumnya dan tak melepaskan dengan mudah. Pria itu mengingatkan, hanya mereka berdua yang berkuasa atas tempat ini. Sisanya hanya kru pesawat. Seperti Furi dan Takano, semua bawahan Renji digaji dengan statement garis bawah. Hanya saja, memang baru kali ini pria itu menggunakan pesawatnya untuk bercinta.
Resah, para pramugari dan pramugara memilih menjauh dari kamar itu. Reaksinya macam-macam. Ada yang mengusap wajah. Ada yang telinganya memerah. Ada juga yang melipir ke toilet untuk sentuh diri. Namun, reaksi paling lucu adalah gadis pramugari yang Renji suruh mengantarkan makan siang. Dia berkeringat sangat deras. Genggamannya pada meja dorong jadi licin, dan dia nyaris tersandung ambruk bila tak hati-hati.
Prak!
Satu sendok jatuh dari sana.
DEG
"Aduh!"
Tak hanya dia, Ginnan yang sudah berantakan di dalam juga ikut mendesis lirih. Barusan dia tak kuat lagi menyangga diri. Lututnya lumpuh. Namun Renji masih membuatnya menggeram tak tahan di belakang sana.
"Haahh… akh—urrgh… mnn…"
Renji mengingatkannya untuk bernafas lagi dan lagi. Dan Ginnan terbius. Dia hanya mengikuti apa kata pria itu sambil terus meremasi seprai mereka. Benda bulu itu tak lagi rapi. Semua kusut, basah, lepek. Namun Ginnan sangat menikmati kelembutan kualitasnya yang memanjakan. Tubuhnya samasekali tak sakit. Bahkan putingnya hanya geli saat menggesek cover springbed yang ikut bergulung nyaris jatuh.
"Sssst… ada yang sakit di sini?" tanya Renji sembari mendekap punggung kecil Ginnan di dadanya. Dia cemas. Dia terus mengusap air mata Ginnan yang terus keluar namun lelaki itu justru menggeleng dengan senyuman.
"Umnn…"
"Benar?"
Ginnan menoleh sebentar untuk mengecup bibir sang kekasih. "Diam dan telan aku," bisiknya lalu mengecup lagi. "Cepat, Ren. Hancurkan aku sekarang…"
Seperti tersulut api, Renji pun berkobar karena undangan itu. Padahal tadi ereksinya nyaris tenang. Namun kini, di dalam tubuh hangatnya, Ginnan bisa merasakan benda itu membengkak hingga rasanya menyakiti.
"Akkh!"
Pipi Ginnan kini basah lagi. Namun Renji tahu, lelaki itu sangat menikmati seks mereka kali ini. Dia pun tak lagi mencemaskan perasaan Ginnan, terus memompa, dan membuatnya gila hingga mereka puas bersama.
"AAAAAAKHHHHH…!!"