"Bukan begitu. Aku suka kok. Renji tadi sempat memintaku mencobanya," kata Ginnan. Dia mencoba bersikap baik karena Renji bilang, gadis ini termasuk bagian dari orang-orangnya. "Tapi mungkin, aku sedang malas saja. Tidak apa-apa kalau mau diberesi ke belakang."
"Eh? Jangan, Tuan. Hehe…" cengir si pramugari. Gadis itu langsung mundur satu langkah. "Tuan Renji bilang Anda harus makan dengan baik. Kami akan ambilkan menu lain kalau Anda memang berkenan."
"Jadi bisa begitu?" tanya Ginnan. Meski untuk sejenak, dia sendiri penasaran … mengapa dirinya yang sekarang tidak lagi memikirkan betapa seksi penampilan gadis itu. Tidak seperti saat dulu masih di Belanda. Ginnan pikir, tubuh wanita tidak lagi terlalu menarik perhatiannya.
"Bisa, Tuan. Tinggal sebut saja mau apa."
Ginnan menatap nampannya yang masih penuh. "Tapi, mungkin Renji tidak akan suka," katanya dengan senyuman tipis. "Kalau begitu terima kasih. Maaf tidak jadi. Tak masalah, pasti nanti kuhabiskan."
Mendadak senyuman pramugari itu melebar. "Syukurlah…" desahnya lega. Ginnan tidak paham kenapa gadis itu terlihat begitu senang. Yang pasti, rasanya buruk sekali jika dia tak melahap menu-menu ini setelah diperhatikan.
"Rasanya terlalu enak," gumam Ginnan. "Aku jadi ingin makan burger sebelah rusun jika terus begini."
Saat itu Renji sudah kembali dan mengusap belakang kepala Ginnan. "Jadi habis."
DEG
"Ah? Iya..."
"Bagus. Sekarang mau ikut pergi ke lounge?"
Ginnan pun mengusap bibirnya dengan tisu setelah nampannya bersih. "Kita akan berkumpul dengan yang lain?"
"Kau keberatan?" tanya Renji. "Keluar dari pesawat sekarang sepertinya masih ide buruk."
Ginnan sempat mengepalkan tangan gugup ke serbetnya. Namun dia mengangguk, lalu segera berdiri setelah memakai syal tebal dari Renji. Ah, Tuhan. Apa rencana Renji kali ini? Setelah mereka membuat berisik pesawat ini, bisa-bisanya dengan santai pria itu mengajaknya ke sana.
.
.
.
Begitu Renji datang, para kru pesawat langsung meletakkan snack ringan mereka. Yang baru hadir, mereka permisi duduk. Sementara yang sudah di sana, mereka segera menegakkan punggung dengan rapi.
"Selamat datang, Tuan."
Renji pun menyuruh mereka duduk kembali setelahnya. "Tidak perlu terlalu tegang, aku ke sini karena ingin menyampaikan beberapa hal penting," Ginnan memegang lengannya semakin erat kala ditunjukkan kepada mereka. "Tentu saja, pertama-tama aku akan memperkenalkan dia secara resmi kepada kalian. Namanya Ginnan Takahashi, dan mulai sekarang apapun yang dia butuhkan, perlakukan dia seperti kalian menghadapiku."
"Baik."
Ginnan memandangi mereka separuh tidak percaya. Dia merona. Dia menunduk. Sesekali mencuri pandang kepada mereka yang ternyata balas sama padanya.
"Di luar sana, kabar tentang dia pasti sudah kalian dengar," kata Renji. "Tapi tentu kalian tidak kuizinkan membuka mulut kepada siapa pun. Tidak soal Veer, Haru, Jean, Daniel, Deby, atau bahkan Henry yang kuundang ke pernikahan kami."
"Baik."
DEG
"Ren?" bingung Ginnan. Sebab dia tak pernah menyangka topik yang dibicarakan pria itu akan melebar seluas ini.
Renji hanya memandang Ginnan sekilas sebelum melanjutkan pengumumannya. "Setelah hari ini, kalian akan kukirim ke beberapa tempat. Furi akan memandu perjalanan, jadi jemput dia terlebih dahulu sebelum berangkat pergi," katanya. "Dia akan mempertemukan kalian dengan seseorang, mungkin juga sekelompok pengawal. Jadi tolong, patuhi kemana pun orang itu ingin pergi."
"Baik."
Renji menghela nafas panjang. "Terakhir, kabari aku di hari terakhir kita di sini. Jika tidak memungkinkan untuk menjemput, biar kuurus bagaimana cara kita berdua kembali. Bagaimana pun keberadaan Ginnan masih kusembunyikan di dalam pengawasanku."
"Baik, Tuan."
"Oh satu lagi, begitu saljunya mereda … kami akan turun dan kalian boleh langsung kembali," kata Renji. "Sekarang bubar."
Percayalah. Tenggorokan Ginnan terasa kering melihat bagaimana para kru pesawat itu mematuhi Renji. Dia pikir, mereka hanyalah kru sewaan dari maskapai penerbangan. Maksud Ginnan, hanya akan mengurusi perjalanan, service pelayanan di dalamnya, dan hal-hal yang tak jauh dari itu. Namun, semakin ke sini, Ginnan paham. Saat Renji bilang mereka orang-orangku, itu berarti mereka benar-benar bekerja di bawah pria itu.
—walau Ginnan masih tidak paham, bagaimana bisa Renji menemukan orang-orang seperti mereka.
"Apa sudah giliranku dengar ceritanya?" tanya Ginnan. Dia memandang Renji dan sungguh menginginkan penjelasan. "Soalnya … K-Kau bahkan menyebut nama Henry juga tadi. Jadi—umn, kuharap kau tak keberatan."
Ginnan pikir, Renji sungguh-sungguh mau melakukan itu untuknya. Hanya saja, sang kekasih justru menarik dagunya mendekat dan memulas bibirnya lembut. "Bagaimana jika aku tidak mau?"
DEG
"Tapi kan—"
"Aku ingin kau percaya padaku," sela Renji. "Apa itu saja tidak cukup?"
Bingung, Ginnan pun mengalihkan pandangannya dari Renji. Meskipun begitu, dia tetap mengangguk meski tampak berat hati. "Mungkin, aku akan berusaha."
"Hmph…" Senyum tampan Renji kini terbit perlahan. "Bagus."
"Tapi, bisa jawab satu pertanyaanku?" tanya Ginnan. Dia belum mau dicium hingga Renji mendengarkannya. "Apa ini ada hubungannya dengan Haru? Aku hanya ingin tahu soal itu."
Renji diam beberapa saat sebelum mengecup bibir Ginnan lembut. "Hm," gumamnya. "Kita akan menemukan dia segera."
Ginnan pun memejamkan kedua matanya. Dia lega, meski hanya sedikit. Dan Renji masih menjadi pemenang atas dirinya saat ini. "Umnh… mnn…."
desahnya pelan. Renji baru melepaskan Ginnan setelah memperhatikan turunnya salju dari jendela. Kedua mata pria itu ikut terbuka perlahan, dan Ginnan terkejut saat dibisiki dua kata sederhana.
Kita pulang.
.
.
.
New Delhi, India.
Veer menghela nafas panjang. Bagi Fei Long, itu jelas pemandangan tak biasa. Dia pun mendekati sang kekasih yang kini duduk di tepi ranjang.
"Kenapa?" tanya Fei Long.
"Renji," kata Veer, lalu meletakkan ponsel ke atas nakas. "Aku tadi baru menelponnya."
"Lalu?" Fei Long mengambil alih handuk kecil Veer dan mengeringkan rambutnya. Pria itu terlihat mendengarkan dengan seksama meski kurang suka nama sepupu kekasihnya ini disebut.
"Dia benar-benar tak mau melibatkan Ginnan, Fei," kata Veer. "Ha ha. Aku tahu dia sangat mencintai lelaki itu, tapi coba bayangkan … Ginnan pasti kaget kalau sampai tahu kebenarannya."
"Sekarang poinmu sendiri apa, hm?" tanya Fei Long. Dia menangkup wajah Veer ke arahnya, lalu menatap dari mata ke mata. "Tidak mungkin kan kalau kau membocorkan segalanya. Ini rencana dan keputusan sepupumu sendiri. Dan jangan ikut campur terlalu jauh. Siapa tahu situasinya memang baik untuk hubungan mereka berdua."
"Iya, tapi Fei … semisal kau yang jadi Renji, aku akan tetap diberitahu masalahnya kan?" tanya Veer. "Kau, jangan sampai menyembunyikan apapun dariku. Aku tidak suka sakit jantung kalau-kalau mendadak ada kejutan."
Fei Long hanya mendengus tersenyum dan terus menggosok rambut sang kekasih. Justru pria itu samasekali tidak terlihat khawatir. Aneh, Veer pun gemas mencubit pahanya.
"Hei."
"Sekarang katakan padaku. Kau pasti menyembunyikan sesuatu."