"Harum," kata Ginnan sembari mempererat lingkaran kakinya di pinggang Renji. Dia memeluk seperti koala, dan Renji mengelus punggungnya seperti bayi.
Mereka berhadapan, saling pandang, lalu Renji berdiri dari ranjang setelah melumat bibirnya lembut. "Pegangan," katanya.
"Yakin bisa sampai selesai?" tanya Ginnan. Dalam hati berusaha keras mengabaikan mata-mata pelayan yang melihat takjub mereka berdua.
"Kalau kubuktikan akan diberi hadiah?" tanya Renji.
"Tadi kau kemana saja..." kata Ginnan dengan merengut. "Jawab dulu baru kuberi pilihan."
"Kupikir kau sudah tahu tanpa kujawab."
"Ugh..."
Renji senyum tipis, sementara Ginnan mendongak kala lehernya dihirup. Dia memejamkan mata, meremas tengkuk Renji saat kalungnya digigit, dan langsung memeluk lagi begitu sang kekasih membenarkan posisinya.
"Jangan jatuh. Jalan-jalannya dimulai sekarang."
Renji membawanya keluar setelah itu. Sang kekasih tidak lupa meminta seorang pelayan ikut. Dia membawa jaket, botol air, dan biskuit untuk Ginnan makan sepanjang jalan. Seperti tengah rekreasi, Ginnan diajak kesana kemari. Bola matanya berbinar melihat penataan ruangannya yang berkelas. Lampu gantung yang berurai dari lantai dua hingga satu. Marmer dan patung keramik yang berkilau. Ruang makan yang mejanya lebih panjang daripada fasilitas prasmanan, lalu kolam renang di berbagai spot rumah.
Ada yang di tengah ruangan (lengkap air terjun buatannya), ada yang di luar dekat taman bunga, ada yang di dalam rumah kaca, ada juga yang di atap dan terbuka.
"Wah, ikan badut."
Renji sempat berhenti di sebelah aquarium saat Ginnan ingin menyentuh kacanya. Dan karena besarnya dua kali lipat ukuran bak mandi, ada berbagai ikan yang bisa Ginnan kagumi.
"Suka?"
"Bagus," Ginnan mengetuk beberapa kali kaca itu dengan kukunya. "Bukankah tadi yang ada di film kartun?"
"Hm."
Ginnan menjerit kala seekor kucing ragdoll gembul berlari pada mereka. "Itu!" Namun sang pelayan buru-buru memungutnya dari lantai sebelum mendusel ke kaki Renji.
"Ahh! Maaf, Tuan," kata si pelayan gugup. Terutama saat dia melihat raut Ginnan dihiasi kekecewaan. Dia pun memeluk kucing itu meski eongannya begitu nyaring. "Dia masih agak liar—ugh... tapi kami tetap berusaha melatihnya.
"Kalian mengambil kucing yang liar?" tanya Renji.
"Bukan... Bukan itu maksud kami. Tapi, ahh..."
Ginnan menghadap Renji dan menggeleng pelan. "Tidak apa. Aku baik. Soal ini kan masih bisa menunggu," katanya pelan. Lalu tersenyum manis. "Daripada itu, habis ini kita naik tangga. Bukankah lebih baik fokus membuktikan seperkasa apa calon pengantinku?"
Renji memperbaiki posisi Ginnan sekali lagi. "Habiskan dulu biskuitnya. Jangan makan kalau kita naik. Nanti tersedak."
"Ah..."
Ginnan justru meletakkan sisa gigitannya ke piring si pelayan yang sigap mendatanginya.
"Sudah kenyang? Ini lewat jam makan malam," kata Renji.
"Sudah kok. Aku mau minum susu yang di kamar saja nantinya," kata Ginnan.
"Sebenarnya tidak apa-apa kalau ingin tetap makan malam," kata Renji. "Biar gendut—"
"Kau bercanda?" sela Ginnan jengkel. "Aku mau cepat-cepat lihat apa yang di atas..."
Terlalu gemas, Renji tak bisa menahan diri untuk mencium bibir Ginnan begitu dalam. Pelayan yang melihat sampai menunduk malu, dia gelisah dengar decapan lidah keduanya, apalagi saat Ginnan mendesah samar. "Nnggh... Mnhh..." lelaki itu memulas jakun Renji yang bergerak naik dan turun. Dia membelai bangga di sana, mengesun, lantas memeluk sama eratnya.
Ginnan tahu, Renji benar-benar bangga dengan apa yang dia lakukan. Seolah-olah hari ini sudah lengkap setelah persiapannya untuk menikah sejak dulu. Maka Ginnan pun tak mau protes apapun kepadanya. Dia hanya menerima, lalu diangkat ke lantai berikutnya seperti sebuah piala.
Melebihi ekspektasi, Ginnan benar-benar menemukan semua jejak janjinya dengan Renji di rumah ini. Jas hitam untuk pesta pernikahan. Ruang musik berisi grand piano serta gitar baru Ginnan. Dua kamar untuk calon anak adopsi mereka. Ruang kreasi khusus untuk Ginnan sendiri. Bahkan rak koleksi yang akan menampung karya kolaborasi keduanya seumur hidup.
Ginnan pun tak bisa menghentikan air mata harunya. Dia menangis, tertawa, lalu menangis lagi. Dia bilang, janjinya tak bisa ditagih malam itu juga. Dia lelah, percayalah! Sementara Renji hanya menyeringai mendengarkan keluhannya.
"Ngomong-ngomong, tadi meja makannya panjang sekali," kata Ginnan dengan tawa yang berderai. "Mn, kalau kita hanya makan berdua, bukannya malah jauh sekali? Dan semisal tambah dua bocah lagi, tetap saja kursinya lebih. Kau memang suka boros soal segalanya."
Waktu itu Ginnan sudah diboyong kembali ke ranjang. Dia direbahkan. Diselimuti, dan Renji menekan alarm beker agar aktif besok pagi.
"Lalu, maksudmu?" tanya Renji.
"M-Maksudku, tidak ingin menggantinya lebih sederhana?" kata Ginnan. "Mungkin lebih bagus bila untuk 4 orang saja. Bukankah itu lebih masuk akal?"
Renji justru tersenyum dan mengecup keningnya sekilas. "Tidurlah," katanya.
Aneh tapi nyata, Ginnan benar-benar tidak rela disuruh tutup mata secepat itu. "Aku mau tidur kalau kau mau ikut juga."
Renji tidak menjawabnya.
Ginnan pun balas tidak melepaskan genggamannya. "Kau mau pergi-pergi lagi?"
"..."
"Kemana?"
"Nanti pasti kususul tidur."
Renji mengecup keningnya lagi. Pria itu mengusap pucuk kepalanya, beranjak, tersenyum lebih tampan, lalu keluar dari kamar mereka. Dia benar-benar tidak memberitahu Ginnan apapun.
Sedikit banyak, Ginnan kecewa. Dia meremas baju bagian dadanya, menggigit bibir, tapi juga menenangkan diri.
"Aku sudah bilang percaya padanya," gumam Ginnan. Namun lantas memeluk selimutnya begitu erat. "Tapi aku benar-benar benci ditinggal sendiri. Ugh... Ren... Kenapa tidak cerita ke aku..."
Saat itu, jam beker menunjukkan pukul 11 malam. Lupakan susu yang ada di atas nakas, atau pack aromaterapi baru yang digantung di sisi lampu tidurnya. Ginnan justru membuka mata kembali, duduk meski susah payah, dan menatap nanar pintu kamar yang baru dicek oleh seorang gadis pelayan.
Tadinya, Ginnan berencana menunggu Renji. Bagaimana pun, Renji perlu diberi kesempatan membuktikan. Siapa tahu pria itu benar-benar kembali pada jam tidur, memeluknya, lalu menemani hingga pagi. Tetapi faktanya tidak. Jadi, sebenarnya kemana pria itu pergi?
Ginnan pun memandang dua sandal lantai lucu yang menunggunya. Dia turunkan kakinya ke sana, lantas mencoba berjalan meski harus merayap dan berpegangan pada benda-benda. Langkahnya sulit. Dia gemetar beberapa kali dan jatuh terduduk, lalu memerah sendiri karena pegal di pantatnya masih sangat terasa. Demi apa, Ginnan sampai meninju lantai karena sadar dia begitu memalukan. Tapi, seks di pesawat tadi pagi memang sangat berlebihan. Dia tak pernah diguncang sehebat itu hingga rasanya ingin memudar jadi debu. Apalagi menjerit serak dan membuat awak-awaknya ikut bernafsu.
Meskipun begitu, Ginnan tetap mencoba melanjutkan perjalanannya. Dia membuka kenop pintu kamar perlahan-lahan, mengintip sebentar hingga yakin tak ada pelayan yang lewat, lalu keluar meski hanya memakai setelan seadanya. Sweater kedodoran Renji dan pants pendek miliknya masih melekat di badan sejak turun di bandara tadi. Tentu saja dia agak kedinginan begitu keluar. Sebab AC utama rumah ini memang di-setting cukup rendah. Ginnan mengakui dia pasti langsung menggigil bila tadi tidak dipeluk Renji selama berkeliling.