Chereads / MIMPI: Takdir Yang Hadir / Chapter 41 - BAB 2 Bagian 5

Chapter 41 - BAB 2 Bagian 5

"Kali ini aku sungguh-sungguh," kata Renji. Dia hanya menepuk kepala Ginnan sebelum berlalu. "Tunggu sebentar. Aku mandi cepat lalu ke sini."

Ginnan pun meremas jengkel seprai lembut springbed mereka. Dia ingin marah semarah-marahnya, tapi yakin Renji tidak mungkin terpengaruh banyak. Pria itu pasti siap-siap seperti yang dia rencanakan, tetap harum dan bersih, lalu memeluknya dari belakang.

Dia bahkan langsung memejamkan mata. Tidak bertanya ini atau itu. Membuat Ginnan makin terbakar. Dia pun melempar tangan Renji dari pinggangnya.

"Minggir!" bentak Ginnan. Lelaki itu memaksa diri untuk bangun, berdecih, bahkan terjatuh ke lantai karena melawan.

BRUGH!

"Akh!"

"Hei—"

"Ssshhh... Sakit... Akh—"

Renji pun segera turun menyusul. Pria itu memeriksa lututnya, namun Ginnan mendorongnya begitu kuat.

"Kubilang minggir! Aku tidak mau melihat wajahmu."

Renji hanya menghela nafas. Di tetap menarik lembut kaki Ginnan agar terjulur satu per satu. "Pelan-pelan..."

"Aduh—sakit, Bodoh!" rintih Ginnan nyaris tak terdengar. Lelaki itu mendesis dan meremas bahu sang kekasih hingga kerah piamanya tertarik turun. "Jangan—hiks... Agak pelan lagi—ya Tuhan... Renji—hiks..."

Remasan itu kini berubah jadi cakaran. Biar! Biar! Ginnan tak mau lagi peduli itu. Yang pasti, rintihannya jadi tertahan kala Renji mengecup lutut lecetnya lembut.

"Ugh..."

Sekali.

Dua kali.

Yang ketiga disertai sapuan lidah.

Ginnan pun diam daripada makin kalah langkah dalam situasi ini. Dia membuang muka, tetap diam, meski jujur kantuk mulai meraup kedua matanya.

"Mau kemana, hm? Biar aku membawamu."

"Tidak ada," kata Ginnan pelan. "Aku hanya tidak ingin bersamamu. Kemana pun. Pokoknya aku mau pergi jauh."

Renji melirik jam beker sekilas. Kini jarum pendek hampir menunjuk angka satu, dan itu berarti buruk untuk jam tidur mereka. "Benarkah? Setelah menungguku selama itu?"

"Siapa? Aku tidak menunggumu," kata Ginnan. "Tadi aku hanya ingin mengobrol dengan para penjaga—haha... Narsis sekali kau ini," tawanya getir. "Lagipula mereka lebih muda, lebih tampan, dan lebih peka daripada kau. Jadi buat apa."

Renji diam mendengarnya. Ginnan tahu, pria itu paling tidak suka bila dia menunjukkan ketertarikan pada yang lain, namun dia tak menyangka bila aura Renji bisa membuatnya semerinding ini.

"Lebih peka?"

DEG

"Y-Ya... Tentu saja," kata Ginnan tak tahan menantang diri. Dia pun menatap dua mata emas Renji berani kali ini. "Mereka bahkan bertanya aku kenapa, bagaimana perasaanku, lalu menawariku bercerita apa saja. Kalau kau? Astaga... Main pergi padahal benci ditinggalkan waktu tidur. Belum lagi saat sudah di luar—bisa bilang padaku kemana? Atau melakukan apa? Ahh... paling tidak, pantasnya kan memberiku pesan. Ini apa? Aku... Aku... jadi sungguh merasa sendiri."

"..."

Bibir Ginnan gemetar karena Renji tidak membalas apapun. Dia makin tersinggung dalam sekejap, lalu air matanya tumpah begitu saja.

"Sakit... tahu," lirih Ginnan. "Aku merasa bodoh dan tidak mampu membantumu, Ren. Tapi, kau... hiks... hiks... ya tuhan—Aku mau denganmu bukan untuk disimpan, paham? Aku mau diandalkan juga..."

Ginnan melengos kala dagunya hampir diambil.

"Ginnan."

"Berhenti merayuku—brengsek. Aku benar-benar sedang marah. Kau ini masih tidak paham ya?" bentaknya. Lalu mengucek mata. "Aku tadi kepikiran mereka bertiga. Hiks... hiks... Haru-san, Kuze-san, dan ... Yuki-chan. Soalnya mendadak sulit dihubungi juga." Dia menoleh ke Renji tanpa sadar wajah merahnya sudah berantakan karena emosi.

"Aku tahu."

DEG

"Kau tahu?" tanya Ginnan dengan suara berubah serak.

"Aku memang selalu tahu," jawab Renji setenang air.

Ginnan justru tertawa mendengarnya. "Bullshit." katanya kesal.

Renji membiarkan sang kekasih terus berkicau sembari mengusap wajahnya.

"Bisa aku dengar sejauh apa proses pencariannya?" tanya Ginnan. "Demi apapun aku percaya kau, Ren. Tapi berat kalau tidak tahu apa-apa. Kalau seperti ini, bukankah kau yang tak percaya padaku?"

Kali ini Renji mendahului usapan Ginnan di wajah lelaki itu. "Kau tahu pesawat tadi pergi ke mana?" tanyanya lembut.

"Tidak. Kau kan tidak memberitahu aku," kata Ginnan kesal. "Dan jangan bilang aku sudah paham lagi. Ren, please. Ini tidak seperti aku bisa baca pikiranmu. Atau instingku setajam dirimu. Lebih-lebih aku mudah sekali terganggu..."

"Hm?"

Makin disayang, Ginnan pun lama-lama malu. Dia meremas tangan Renji, menjauhkannya, lalu menatap begitu tajam.

"Aku tidak mau memakimu lagi," kata Ginnan. Dia tampak ragu, tapi tetap memeluk pinggang Renji seeratnya. "Aku sayang, aku cinta, aku senang, aku juga ingin kita berhasil, Ren. Jadi jangan buat aku bingung sendirian, kumohon..."

Renji pun merengkuh Ginnan dan membiarkan lelaki itu tenang. Dia tidak protes lagi kali ini. Mereka hanya duduk di atas lantai dingin itu, saling menunggu, hingga suara berat Renji memecahkan keheningan.

"Dengar," kata Renji. "Aku juga begantung padamu. Sangat. Tapi sekarang belum waktunya."

"Bohong. Nyatanya tidak begitu," kata Ginnan. "Kau kan selalu seenaknya, melakukan semuanya sendirian, dan meski kondisinya makin sulit, aku tetap tidak paham apa yang terjadi—"

"Karena aku memang masih bisa," sela Renji. Tegas. Dada Ginnan sampai serasa ditinju keras.

DEG

"Apanya?" bingung Ginnan seketika.

"Aku akan minta bantuanmu jika sudah sangat butuh," kata Renji lagi. "Sekarang belum. Atau lebih baik tidak. Tapi aku tidak main-main soal ini. Jadi, pasti. Aku akan bilang sendiri nantinya."

Ginnan pun kehilangan kata-kata.

Tahu kondisinya menguntungkan, Renji pun mengangkat lelaki itu ke pangkuannya. Loker nakas bahkan langsung disasar karena kotak P3K ada di sana. Ginnan langsung meringis kala lututnya dipasangi plester ganda.

"Masih sakit?"

"Tidak."

"Sekarang mau naik lagi?"

Namun Ginnan sama keras kepalanya. Dia justru memeluk dua kakinya di sana. Mengeraskan rahang, lalu berkata tanpa takut. "Aku belum diberi penjelasan apapun," katanya.

"Jadi, masih ingin pergi-pergi?"

"Ya. Aku akan minta antar penjaga atau siapa pun," kata Ginnan. Tak kalah tegas. "Kau bilang mereka harus mematuhiku seperti waktu mematuhimu. Jadi, kau tidak berhak melarangku."

"Tapi mereka tidak melakukan tugas apapun di luar rumah," bantah Renji. "Kecuali situasinya sangat genting."

DEG

"Apa-apaan?" desis Ginnan tak menyangka. "Mana ada yang seperti itu. Ren, berhentilah membuat alasan lagi—"

"Aku mengatakan sebenarnya," sela Renji. Pria itu menangkup bahunya dan makin tampak serius. "Mungkin agak telat, tapi bodyguard untukmu ada sendiri, paham? Mereka baru datang besok."

Mengingat candaan mereka tentang babysitter, ini tubuh Ginnan jadi lemas mendengarnya.

"Ada 6, tapi sore nanti baru dua yang bertugas," kata Renji. Sorot matanya lebih jujur dari sejuta kebohongannya selama ini. "Karena kau, aku, dan wanita bernama Mayumi itu akan bertemu di Tokyo," jelasnya perlahan-lahan.

DEG

"Apa?!"

Renji mengangguk pelan. "Lalu malamnya, jumpa pers diajukan lebih cepat," katanya lagi. "Sebab itu, kumohon jangan pergi kemana pun, hm? Tinggal sebentar waktunya. Jadi, lebih baik kita istirahat agar bisa bangun pagi."