"Hm?"
"Tapi aku senang, sih," kata Ginnan. "Kau tidak pernah kambuh lagi. Jadi, kurasa semua memang baik-baik saja?"
Renji melepaskan dirinya kali ini. "Apa maksudmu?" tanyanya.
"Yah… kau kan selalu menggila kalau stress berat?" Ginnan mendadak tertawa geli pada dirinya sendiri. "A-Aku jadi merasa bodoh. Hal konyol seperti ini malah membuatku sadar. Umn…" Mungkin aku harus lebih percaya padamu?
Pukul 6, Renji dan Ginnan sudah memperbaiki penampilan mereka dan duduk berhadapan di sebuah meja. Ruang makan privat tentu saja. Mereka pikir Mayumi terlambat ke lokasi perjanjian, namun ternyata wanita itu ada di sebelah sejak tadi.
"Mayumi-sama."
Editor Mai sempat ber-ojigi ke Renji dan Ginnan setelah menyingkap sebuah tirai hias. Dia senyum, lantas mundur segan untuk memberikan ruang.
Mayumi tampak menikmati steak-nya waktu itu. Dia mengulum daging berbumbu dari garpu dengan santai, terus menatap ke piring hingga suapan terakhirnya bersih.
"Dia benar-benar sangat cantik," batin Ginnan. Dia pikir, hanya suaranya saja yang anggun saat menangis di telepon Renji dulu. Ternyata Mayumi melebihi ekspektasinya selama ini. Wanita itu bahkan lebih awet muda daripada Deby, sehingga lekuk badannya tampak sempurna pada gaun malam yang dikenakan. Dia juga tidak glamour, namun aneh … warna putih sangat cocok hingga aura miliknya makin terpancar.
"Apa aku kurang sopan?" tanya Mayumi. Dia menatap Ginnan kala seorang pelayan restoran memberesi mejanya.
"Eh? Tidak," kata Ginnan. Dia senyum dan mengangguk kepada sang eksekutif. "Tidak apa-apa, Mayumi-sama. Malah suatu kehormatan bisa bertemu dengan Anda langsung," imbuhnya segan. "Oh, iya. Perkenalkan aku Ginnan Takahashi."
"Aku tahu."
DEG
Meski Ginnan tidak paham apa yang terjadi, tapi dia yakin suasana ruangan ini sekarang memberat. Agak memaksa, dia pun menggandeng Renji untuk menghampiri Mayumi. Kita harus mengalah, Ren. Hormat ke yang lebih tua. Ayo…
"Umn, boleh kami duduk di sini—"
Renji sudah menarik kursi bahkan sebelum Ginnan selesai.
"Boleh, tentu saja," kata Mayumi. Wanita itu tersenyum ke Ginnan namun merindingkan bulu-bulu halus di tengkuknya. "Kemari, Nak. Kemarin Renji bilang memang akan mempertemukanku denganmu. Jadi, bisa kita mengobrol beberapa hal berdua?" tanyanya
"Oh… terima kasih," kata Ginnan. Tapi jantungnya langsung berdebar kencang kala sadar. "—eh? B-Berdua?"
"Tidak, bertiga," kata Renji. Dia menarik tangan Ginnan agar duduk segera. "Dia hanya salah bicara."
Ginnan tidak bodoh, tolong. Dia pun berkeringat setelah menatap Renji dan Mayumi bergantian. Tadinya, dia pikir hubungan keduanya sangat-sangat baik. Sebab sang kekasih sempat bilang, dulu Mayumi pernah ingin mengangkatnya anak. Wanita itu juga menelpon Renji sesekali selama mereka ada di Milan. Tapi… tapi…
"Maaf, umn…" Ginnan pun melepaskan tangannya dari Renji segera. Dia tidak tahu kenapa, tapi wajah cantik Mayumi seperti tengah menjelma jadi hal lain saat menghadap dirinya. "Anda ingin bilang sesuatu kepada saya, Mayumi-sama?"
"Ya, tapi aku memang ingin berdua," kata Mayumi. Lalu melirik Renji sekilas. "Hmn, dia bukan remaja, Nak. Kupikir tidak perlu terlalu mengawasinya." Imbuhnya dengan penekanan. Tiga detik kemudian, Renji pun menghela nafas dan beranjak dari kursi. Pria itu tampak kesal, namun masih sempat mengusap punggung Ginnan sebelum berlalu.
Ada apa, hei?
Bisa jelaskan sesuatu kepadanya?
Ginnan pun meremas bulu-bulu jaket di atas pahanya.
"A-Ahaha… sepertinya ini sangat serius," kata Ginnan. "Tapi, aku siap. Bisa kita mulai Mayumi-sama?" pintanya begitu Renji hilang di balik pintu. Percayalah, ini pun di luar perkiraan Ginnan. Dia pikir, Renji hanya sedang mengajaknya makan malam bersama dengan sang bos. Sebagai formalitas, mungkin? Bagaimana pun Mayumi Ayumu memang menganggap Renji istimewa—
DEG
"Singkat saja, Nak. Aku pernah tidur dengan priamu beberapa kali," kata Mayumi. Bahkan sebelum Ginnan yakin dengan khayalan ngawurnya barusan.
"A-Apa?"
"Aku, Veer, Haru, Jean, Yuka lacur di rusunmu, dan orang tak terhitung lainnya…" kata Mayumi. "Harusnya kau tak perlu sekaget ini, bukan? Renji Isamu memang player yang memikat."
"Ah… a-anu…" Prakh! Sial… kenapa vas keramik di depan ikut jatuh pecah karena kepanikannya? "Maaf, iya. Aku… aku tahu. Ha ha…" tawa Ginnan dengan pipi yang memucat. "Hanya agak syok sedikit. Tapi, tidak apa-apa kok. Aku juga seorang pelacur. Mungkin, orang yang bermain dengannya masih lebih banyak klienku selama ini. Umn, j-jadi… kuanggap kami adil saja."
"Yakin?"
DEG
"Eh?"
"Kau pasti sangat ingin memakiku, kan?"
"T-Tidak…" Ginnan pun menegakkan postur duduknya meski begitu gugup. "Hanya saja, kupikir Anda adalah—ehem—sosok ibu lain untuk Renji. Tapi, s-sungguh. Aku tidak apa-apa."
Kini senyum Mayumi mengembang masam. "Kupikir kau penasaran dengan kelanjutan ceritanya, ha ha," tawanya. "Tapi tidak. Jadi, obrolan ini akan lebih singkat daripada bayanganku."
DEG
"Tunggu, Mayumi-sama. Aku salah bicara, ya?" kata Ginnan cemas. "Jika benar, maaf. Dan boleh kudengar semuanya? Lagipula kita sudah bertemu seperti ini. Bagaimana pun Anda termasuk—"
"Cukup, Nak. Aku paham," sela Mayumi. Dia menyesap gelas wine-nya dengan kerut-kerut kening yang penuh depresi.
Ginnan pun memilih menunggunya.
"Kau tahu? Aku bukan wanita pertama yang jatuh cinta dengan priamu," aku Mayumi. "Kami adalah pengharap, Ginnan. Tapi tidak untukmu. Kau mendapatkan dia, hampir menikah dengannya, dan satu-satunya yang paling membuatku kurang suka."
"Umn—"
"Karena justru kau, yang paling tidak toleran dengan apa yang dia lakukan," kata Mayumi. Wanita itu menatap cairan di gelasnya dengan sedih. "Jadi, kumohon, Ginnan Takahashi. Mewakili aku, mereka, dan orang-orang yang ingin Renji bahagia … jangan pernah melewai batas-batas miliknya."
Ginnan kehilangan kata-kata.
"Di luar, beberapa menit lagi, kau akan berhadapan dengan fanbase Renji, kan?"
Itu benar. Meski Ginnan sungguh melewatkan kericuhan apapun di Tokyo karena menemani Renji tidur selama perjalanan.
"Tapi kudengar dari beberapa orang terpercaya, kau sering membuatnya kesulitan," kata Mayumi.
Orang-orang terpercaya?
Jangan bilang orang-orang Renji pun mengawasinya—Tidak mungkin!
"Ahh..."
"Dengan membuat masalah, terlalu menekan dia, atau membebani keputusannya—so please... cukup, oke? Jadilah lelaki baik, dukung apapun kemauannya, dan jangan buat kami khawatir."
Kami?
Ginnan ingin menangis, namun juga harus tersenyum di saat-saat seperti ini. "Iya, maaf," katanya merasa bersalah. "Aku tahu dia pria hebat. Bukan sembarangan orang, Mayumi-sama. Jadi, kuharap penyesalanku masih diberikan kesempatan."
"Ha ha..."
"K-Kemarin kami memang bertengkar, atau kapan hari—aku lupa—tapi hari ini aku benar-benar datang. Aku janji tidak akan mengacaukan jumpa pers-nya. Aku akan muncul bersamanya," kata Ginnan sungguh-sungguh. Meski cemas semakin melanda, dia tetap berusaha meyakinkan. "Kalau perlu, biar nanti aku yang bicara. Aku mau ... Memperjelas hubungan kami berdua. Aku juga ingin melindunginya."
"Bagus."
"A-Aku akan berusaha."
Mayumi permisi ke toilet setelahnya. Ginnan tidak tahu seberapa dalam perasaan wanita tersebut, namun Mayumi benar-benar pecah karena pembicaraan ini. Dia menangis. Dia terluka. Dia seperti baru ditolak seorang pria yang jadi cinta pertama, namun juga harus terima kenyataan pernikahan mereka secepatnya. Karena itulah, kini Ginnan merasa lemah kembali. Dia takut.