Chereads / MIMPI: Takdir Yang Hadir / Chapter 47 - BAB 2 Bagian 11

Chapter 47 - BAB 2 Bagian 11

Bagaimana pun, Renji memang dicintai begitu banyak orang meski pria itu tetap ada di jalan yang dia pilih. Ginnan mengerti tidak banyak orang yang bisa melakukannya. Karena itu, begitu keluar, dia langsung mengulas senyum untuk sang kekasih.

"Ren..."

"Apa yang dia katakan padamu?" tanya Renji. Pria itu langsung berhenti memainkan ponsel dan menghampirinya.

"Tidak banyak kok. Cuma hal-hal baik yang menyadarkan, he he," cengir Ginnan. Dia lantas memeluk pria itu.

"Mustahil..." desah Renji.

"Aku serius, Ren. Buktinya aku baik-baik saja?" kata Ginnan. "Daripada itu, bagaimana jika ajak aku makan malam? R dan yang lain pasti juga lapar."

Renji menatapnya beberapa saat sebelum digandeng ke ruang temu lain. Dia menurut, memang. Tapi Ginnan yakin dirinya akan ditagih lagi cepat atau lambat. Meskipun begitu, biarlah. Setidaknya, tahu lebih banyak tetap saja kemajuan.

Ginnan harus tahan karena memang ini yang dia mau. Lagipula, Mayumi adalah bagian dari masa lalu Renji juga. Persis seperti yang lain. Jika dia menyerah sekarang, jelas semua ini tak ada artinya.

"Ngomong-ngomong, boleh nanti aku saja yang bicara?"

"Apa?"

Ginnan melirik meja bodyguard sekilas. Mereka memang agak jauh, namun dia tetap khawatir jika salah satunya mendengar obrolannya dengan Renji.

"Tentu saja, pers. Apalagi?" kata Ginnan. "Meski kemampuan public speaking-ku memang tidak sebagus dirimu, tapi ini lebih baik, kan? Bukan kau. Tapi aku yang mengklaim hal ini terjadi. Jadi semua tahu, Renji dan Ginnan sama-sama terlibat dalam hubungan ini."

"..."

"Ya?"

Ginnan mengambil tangan Renji dan menggenggamnya.

"Tidak."

"Kumohon..."

"Tidak berarti tidak, Ginnan Takahashi—"

Meniru, kini Ginnan lah yang mengecup punggung tangan Renji seperti tengah menyembahnya. Lelaki itu bahkan meremas tangan itu kala Renji ingin menariknya. Dia kukuh, setidaknya untuk kali ini saja. Ginnan ingin apapun yang terjadi nanti, jika salah dan berakibat keburukan, Renji takkan merasa menanggungnya sendirian.

"Aku sangat-sangat mencintaimu," lirih Ginnan pelan. "Aku akan bilang itu pada mereka. Aku akan mengakuinya. Dan aku akan janji bisa menjagamu baik-baik."

Renji baru diam saat itu.

"Aku tidak mau dianggap sembunyi ketakutan di belakangmu," kata Ginnan. "Kalau mau kau, aku harus mengambilmu langsung dari mereka juga kan?"

"Itu sangat berlebihan."

"Ya, kadang-kadang aku mau berlebihan..." kata Ginnan. "Jadi, sepakat, oke?"

Ginnan pikir, Renji akan tetap melarangnya. Namun dia berkedip-kedip kala sang kekasih menepuk kepalanya dengan tangan itu. Dia seperti ayah yang melihat pencapaian putranya, dipenuhi oleh rasa bangga, namun juga kecemasan.

"Eh?"

Renji lantas kembali fokus ke piringnya. "Kalau begitu habiskan makan malammu," katanya. "Kau butuh banyak kekuatan untuk berdiri di tempat berlampu ratusan nanti."

"Ah! Oke..." cengir Ginnan. Dia pun segera mengambil garpu dan sendoknya kembali.

.

.

.

Malam. Tokyo Hall makin ramai karena Mayumi ketahuan beberapa orang keluar dari sana. Wanita itu pergi dengan mobil yang disetir Editor Mai. Lima menit setelahnya, para wartawan yang tadinya menunggu di Hotel Mayumi Kurikawa datang berbondong-bondong ke sana.

Jika dibandingkan, mungkin hampir separuh yang memilih menunggu saja. Mereka membawa microphone, kamera, tape recorder, dan lampu flash menyala-nyala yang selama ini hanya Ginnan lihat pada layar kaca. Biasanya mereka mengejar artis, idol panggung, atlet berprestasi, tokoh pemerintah, atau kriminal yang tertangkap basah beraksi. Kali ini tidak.

Seperti bom kehabisan waktu mundur, Ginnan yang selama ini menutup mata menerima kenyataan lautan manusia di bawah sana sedang menunggu untuk menyerbunya dan Renji.

"B-Banyak sekali..." desah Ginnan.

Saat itu, Renji membawanya ke sebuah kamar hotel kawasan Tokyo Hall. Tanpa rencana, memang. Tapi keputusan Renji kini memang ada benarnya. Untung pria itu sempat menyembunyikannya dalam lift lepas makan malam tadi.

"Gugup?" tanya Renji. Di belakang, pria itu memeluk pinggangnya meski sama-sama belum ganti baju. Mereka baru saja selesai mandi. Masih memakai bathrobe, dan berdiri di belakang jendela untuk mengintip kondisi luar.

"Iya, tapi tidak parah kok," kata Ginnan. Jemarinya menempel di kaca demi melihat lebih jeli siapa saja yang nanti dihadapinya. "Aku jadi bingung mau mengatakan apa nanti."

"Itu saja?"

Ginnan pun berbalik dan mendekatkan wajahnya ke Renji. "Tidak lah. Coba kau cek wajahku dulu."

"Hm?"

"Jerawatku, Ren. Komedoku, atau apalah. Apa ada yang salah denganku?" tanyanya. "Aku takut ada hater yang menghujatku hanya karena penampilan."

"Hmm..."

Bukannya berkomentar, Renji justru menatap pucuk kepala Ginnan, berikut dadanya yang datar, lalu kedua kakinya.

DEG

"A-Apa sih?!" Ginnan pun memeluk dirinya sendiri karena mendadak tak nyaman. "Dasar mesum. Aku tak mungkin meninggi sekejap atau tiba-tiba tumbuh dada, tahu."

"Hmph, aku tidak bilang apa-apa," kata Renji.

"Tapi matamu itu kemana-mana!" bentak Ginnan. Lalu segera duduk ke meja rias untuk mengecek wajahnya. "Ah... Apa aku harus pakai make-up? Paling tidak conclear atau toner untuk menyegarkan. Ya Tuhan... Aku benar-benar buruk rupa—"

Renji menariknya duduk lagi sebelum melipir ke kamar mandi. "Mau apa?"

"C-Cuci muka ulang?" kata Ginnan. Panik tanpa pernah dia sadari. "Umn, sepertinya tadi aku kurang bersih."

"Sudah, cukup," kata Renji. Pria itu melucuti tali bathrobe-nya tanpa permisi. "Diam di sini. Tunggu. Biar kuambilkan pakaianmu."

"Tidak dulu, aku benar-benar harus—"

Renji mengecup pipi Ginnan sebelum meninggalkannya. "Kau cantik. Sangat." Namun kata-katanya tetap melingkupi Ginnan. Lelaki itu pun diam dan menatap pantulannya sendiri di cermin. Dia dengan tubuh putih mungil. Punya bahu menggemaskan yang terbuka, puting merah, dan bathrobe nyaris melorot sepenuhnya.

"Sepertinya temanmu ingin bicara," kata Renji. Pria itu datang lagi dengan ponsel Ginnan yang bergetar, juga baju di tangan kirinya. "Hiro?"

"Ah... V-Video call..." gumam Ginnan. Dia pun ragu mengangkat, namun Renji tidak komentar waktu menatap matanya. "Jadi, tidak apa kalau yang ini kujawab?"

"Tentu, memang kenapa?" tanya Renji. Pria itu justru fokus mengeringkan rambut Ginnan dengan handuk kecil.

"Bukan, hanya saja, kupikir kau benci semua temanku," kata Ginnan hati-hati. "Soalnya, kapan hari kau bahkan melarangku untuk menyentuh ponsel—"

"Dia bukan mantan kekasihmu."

DEG

"Eh?"

Sudut bibir Ginnan pun berkedut seketika. Ho... Jadi karena itu...

"B-Baiklah kalau begitu," kata Ginnan. Dia pun mengangkat panggilan Hiro setelah menyandarkan benda itu ke cermin. Tentu saja, pipinya sangat merah saat teman prianya membulatkan mata.

"Oh, hai... Ginnan?" kata Hiro. Kekasihnya yang duduk di sebelah bahkan menjerit sebelum lari tunggang-langgang ke belakang. Ah, dasar. Ginnan tak perlu menebak kenapa wanita itu menggila. Dia ingat jelas Hiro bilang tunangannya merupakan salah satu fans fanatik Renji.

Sebagai fujoshi, pemandangan Ginnan separuh telanjang dan dimanja Renji jelas tak bisa dihadapi dengan mudah.