Mereka hanya berteriak-teriak layaknya ayam kelaparan saat Renji merangkul Ginnan masuk kembali. Keributan itu makin kacau waktu semuanya bubar mengejar hingga ada yang naik panggung pers demi mendapatkan informasi. Sayang, tak ada satu pun yang berhasil tembus pertahanan keenam bodyguard Ginnan begitu mereka menghadang pintu bersamaan. Sementara Ginnan sendiri merosot jatuh ke lantai saat sudah sampai di dalam lounge gedung tersebut.
"Pelan-pelan, pelan-pelan," kata Renji. Namun pria itu langsung menggendongnya daripada bersimpuh di tempat itu.
Ginnan sendiri tidak sadar menangis kencang di dada sang kekasih hingga direbahkan di sofa panjang. Dia memeluk Renji dan tak membiarkannya pergi jauh sejengkal pun. Beruntung Renji sudah terbiasa menghadapi suara pedihnya jika sudah seemosional itu. Jadi, pria tersebut hanya mengusap-usap rambutnya hingga bisa tenang meski sedikit kesulitan nafas. Dia bahkan mengusapi wajah Ginnan dengan telaten sampai bisa menatapnya dengan benar.
"Renjiii..."
Ginnan memeluk pria itu lagi kala sudah terduduk tegak.
Ah, sial.
Cengeng sekali, sungguh!
Pantas saja Renji selalu ingin melindunginya, padahal Ginnan tak pernah merasa dirinya sepayah itu hingga kejadian barusan sungguh mereka lewati.
"Kau sudah melakukan yang terbaik," kata Renji. "Itu hebat. Sangat."
"Iya?"
"Hm."
"Yakin?"
"Hm."
"Aku tidak kelihatan buruk rupa kan di sebelahmu?"
Renji mengecup bibirnya kala pelukan itu terlepas. Pria itu justru terkekeh-kekeh melihat Ginnan semerah itu sekarang. "Daripada memusingkan hal tidak penting, bagaimana jika kutunjukkan ruang kerjaku bila aktif di tempat ini?"
"Eh?"
"Aku punya tempat pribadi, semacam untuk eksekusi akhir naskah jika deadline sangat dekat," kata Renji. "Tentu saja hanya penulis terpilih yang diberikan fasilitas itu. Bagaimana?"
"J-Jadi, kita sembunyi sebentar begitu?"
"Benar."
Ginnan pun merona hebat. Sebab, dia pikir memori sialan barusan akan terus mengganggunya sepanjang malam, nyatanya Renji tak mengizinkan hal tersebut. Pria itu benar-benar menguncinya untuk diri sendiri. Dia mendudukkan Ginnan di sebuah sofa, memeloroti celananya, membuka kakinya, dan mengulum batangnya lembut.
"Oh, ya tuhan. Kau tidak perlu melakukan ini, Ren," kata Ginnan. Dia meremas lengan sofa dan rambut Renji bergantian. Pasalnya, keramaian di luar sana masih parah. Dia jadi merasa dilihat mereka semua saat dicumbu sepanas ini. "Ahh… hhhh… mnn…"
"Kenapa?" kata Renji. Ada seringai di sudut bibirnya setelah melepaskan penis sang kekasih. "Bukankah jika aku stress kau juga mau kutiduri?"
"A-Ah, soal itu…"
Renji justru memandangi batang Ginnan yang berlumur salivanya. Benda itu sangat cantik, seperti sang pemiliknya sendiri. Cukup padat dalam kulumannya, berwarna kemerahan, dan bersih halus seperti milik bayi. Dulu, Ginnan mungkin akan menutupinya karena belum terbiasa menghadapi Renji. Namun, kini lelaki itu hanya menatap sang kekasih gelisah. Dia menahan diri untuk membantah dan membiarkan lidah kekasihnya menyambangi lubangnya di bawah sana.
"—kh… umnn…" keluh Ginnan. Geliut-geliut basah panas yang begitu memanjakan, terus menggodai kerutannya dari tengah hingga kemana-mana. Ke bawah, ke atas … Renji tahu bagaimana cara menjelajah sayang hingga kekalutannya hilang perlahan-lahan. Pria itu mengecup di sana tanpa jijik sedikit pun dan membuatnya terengah kala bagian itu dilepaskan.
"Jangan pernah kehilangan rasa percaya diri," kata Renji. "Kau kan satu-satunya yang sudah ku-klaim di depan semua orang. Apa itu masih belum cukup juga?"
"Iya, aku tahu, kok," rajuk Ginnan.
Renji melanjutkan sentuhannya. Pria itu meraup lubang Ginnan dengan sungguh-sungguh. Dia tampak senang dengan pemandangan seksi sang kekasih yang tengah melayani. Seolah ini malam-malam seperti biasanya. Dia mengubur batang ini layaknya mengemut permen. Ginnan bisa melihat jakun itu meneguk ludah beberapa kali, tanda menikmati dan terus membalut dirinya dengan rasa nikmat yang menyenangkan.
"Bisa… bisa kita pindah posisinya?"
Ginnan baru meminta begitu saat dia sudah sangat pegal. Pasalnya dia baru bisa berjalan tadi pagi, kalau dipaksa membuka kaki berpuluh-puluh menit, dia cemas persendiannya susah kembali nantinya.
"Jangan bilang masih malu melakukan ini," kata Renji. Dia menghentikan seks oral tersebut, namun tak berhenti memandangi Ginnan yang sudah tampak pasrah. Lelaki itu berbaring pada bantal sofa mungil. Atasannya masih rapi, tetapi perutnya sudah berhias luberan air mani miliknya sendiri. Renji duduk di sofa bagian ujung dan memangku satu kakinya yang masih bertahan di atas. Pria itu membuka lembut kerutan anal sang kekasih yang sudah berkedut-kedut ingin dimasuki, tetapi hanya memberi ibujari padanya.
"Tidak, siapa bilang…."
"Mau seks yang sesungguhnya atau seperti ini pun cukup?"
"Ugh, aku tidak tahu." Ginnan menutup mulutnya dengan lengan. Separuh wajahnya terbakar hanya karena memikirkan Renji sangat suka memainkan tubuhnya seperti ini. "Kau sendiri … bagaimana? Waktu itu juga. Menyentuhku sangat lama tapi bilang tak perlu balasan. Sumpah tidak apa-apa? Biar kupegang agar bisa percaya—"
Renji sudah mendorongnya rebah lagi sebelum berulah. Pria itu mendesaknya, menatapnya, lalu mengecup keningnya sekilas.
"Satu fakta yang harus kau pelajari," kata Renji. "Aku ini tidak mudah tertarik berhubungan seks, kecuali aku sendiri yang menginginkannya."
"Apa?" kaget Ginnan. "M-Memang dua hal itu ada bedanya ya?" dia memukul bahu Renji kesal. "Dan lagi, kita ini sedang apa sih? Membicarakan hal-hal kotor waktu media masih meliar, ha ha."
Renji hanya tersenyum puas melihat wajahnya menjadi cerah. Diam-diam, pria itu memasukkan jemari ke dalam bajunya, lalu memijat lembut dadanya.
"Umnh… tapi, soal barusan itu seriusan?" tanya Ginnan. Dia memegang lengan Renji agar pijatannya memelan. Rasanya agak aneh waktu telapak tangan besar itu meremasi kissmark basah di kulitnya.
"Hm."
"Bohong." Ginnan memekik kala putingnya dicubit. "Buktinya kau sering mengajakku berhubungan intim waktu di Milan—ah!"
"Ya, karena kau memang sangat menarik," puji Renji. Pipi Ginnan pun makin merah karenanya. "Tapi, aku bukan pria sumbu pendek yang bisa dipancing bercinta sembarangan dengan mudah. Kalau pun terjadi, berarti aku sendiri yang mengizinkannya, paham?"
"Ahhh~"
"Ingin aku menghisapnya?"
"Tidak, jangan."
"Jadi, masih nyaman begini?"
Ginnan malu mengakui, namun dia memang suka dipijat seperti itu. Dia pun memejamkan mata. Bibir bawahnya digigit bukan untuk menahan suara, dan Renji cukup suka reaksi manis seperti itu.
Menyerah, akhirnya Ginnan pun mengesun pipi sang kekasih untuk mengutarakan maksudnya. "Kau tidak lupa menyetok kondom dalam dompet, kan?"
Renji menatapnya gemas. "Kenapa? Jika tidak, memang kau takut kuhamili?"
Wajah Ginnan memerah sempurna sekarang. Dia tak bisa berkata-kata. Otot perutnya bahkan sangat kencang hingga Renji tak merasakan kekenyalan di bagian itu lagi.
"Tapi aku tidak main-main," kata Renji. "Semua sudah kuhabiskan di pesawat, ingat? Jadi, bagaimana ini? Sepertinya kau akan punya bayiku."
Ginnan pun mencubit lengan Renji kesal. "Kau teruskan, aku pasti akan membunuhmu."
"Ha ha ha."
Maka meski malas kegiatan bersih-bersihnya, Ginnan tetap menyambut penis sang kekasih ke dalam dirinya. Dia bungkus benda itu dengan bangga. Dia menahan kakinya sendiri agar tak menutup waktu dimasuki, lalu menatap Renji begitu berani.