Dia sepenuhnya sadar pria itu keluar masuk analnya untuk memberi nikmat. Padahal dulu, pemandangan dua alat kelamin lelaki yang beradu merupakan hal yang mengerikkan baginya. Tapi, waktu seperti perwujudan sihir saja.
"Kadang aku membayangkan kau adalah lelaki Omega."
"Omega?" tanya Ginnan di tengah-tengah pergumulan mereka. Tubuhnya berguncang-guncang waktu itu. Dia kesulitan menata posisi, tetapi Renji sepertinya tak masalah samasekali.
"Ada jenis karya yang bergenre Omegaverse," kata Renji. "Di sana gender lelaki atau perempuan tidak penting. Karena jika termasuk Alfa, berarti mereka bisa menghamili. Sementara yang Omega bisa melahirkan."
"A-Apa?"
Renji mengubah posisi Ginnan agar miring dan menyetubuhinya dengan pose meliuk indah tersebut. "Omega biasanya digambarkan sangat cantik. Juga kurus sepertimu, ha ha."
"Ugh..." Ginnan cemberut meski Renji mengurungnya dekat dengan tatapan penuh cinta.
"Dan di sini, mereka bahkan bisa berantakan sebelum dimasuki penis pasangannya," kata Renji sembari meremas pantat Ginnan. Pria itu benar-benar sengaja mempraktikkan fantasinya pada Ginnan. Dia bahkan mengeluarkan penis dari tubuh Ginnan hanya untuk menunjukkan ciri-ciri Omega yang dia tahu.
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena pantat mereka memang langsung basah sebelum disetubuhi. Itu sistem otomatis, mengerti? Mereka tercipta memang untuk jadi kekasih idaman."
Ginnan pun meremas bantal karena lubang basahnya dipijat dua jari dari luar. Lalu—tak seperti biasanya—Renji justru memasukkan air maninya yang meluber agar kembali masuk ke dalam tubuhnya.
"Kau... Kau ini sedang apa?" tanya Ginnan malu.
"Kau harus menelan semuanya jika ingin sukses dalam pembuahan," goda Renji dengan tawa geli. Ginnan bisa merasakan sudah banyak air mani yang meluncur ke dalam anusnya. Namun, Renji tetap berusaha mengumpulkan yang sudah meleleh di pahanya.
"Ren, please..." pinta Ginnan. Dia tahu sang kekasih hanya bercanda, tetapi ini sungguh berlebihan. Dia jadi salah tingkah karena ikut membayangkan tiba-tiba punya rahim, lalu Renji junior mulai tumbuh di dalam dirinya. Ahh, gila! Jangan sampai mengkhayal bodoh sampai ketinggian!
"Angkat sedikit kakimu. Nanti bisa keluar lagi."
"Ahhh... Ughh..."
Ginnan pun menatap sang kekasih dengan mata yang berair. Dia tak lagi melawan keinginan Renji untuk bermain-main, sebab melihatnya bahagia saja membuat kupu-kupu di perutnya bereaksi.
Maka meski kesal, Ginnan pun akhirnya ikut berpartisipasi dalam akting. "Jadi, sudah?" tanyanya. "Sekarang kira-kira aku akan hamil?"
Renji membaliknya agar berebah. Pria itu lalu memanggul kedua kakinya di bahu kiri. "Belum. Aku akan mengisimu lagi agar yakin," katanya sambil bersemayam kembali ke lubang sang kekasih.
Rona merah menyebar di telinga Ginnan kala lidah lihai itu bergerilya di sepanjang jemari kakinya. Sembari menghentak enak, Renji mengecupi tungkainya dan menghirup di sana layaknya kepada bunga. Dia bilang, ada bagusnya bila Ginnan memakai gelang kaki di salah satu pergelangannya. Pasti cantik. Dan Ginnan hanya mengangguk untuk memuaskan kemauan pria itu.
"Ahhh... T-Tunggu. Tunggu sebentar, Ren—"
"Ssst..."
Renji mendadak membuka kakinya begitu lebar saat gelombang klimaks itu mendekat. Pria itu juga menampik tangan Ginnan agar tidak menghalangi rencananya. Dia biarkan malu menggerogoti hati Ginnan, lantas sungguh-sungguh mengeluarkan seluruh benihnya di dalam tubuh lelaki itu.
"AAHHHNNNNNNN!!"
Ginnan pun menutup wajahnya dengan tangan kala melihat cairannya muncrat di seluruh otot perut sang kekasih. Dia menggeleng hebat agar Renji tak menatap bagian itu, tetapi pria itu justru mengusapnya dan mencicipinya dengan lidah.
"Jangan berpikir ini sudah selesai," kata Renji, lalu melumat lembut bibir Ginnan.
"Eh?"
"Duduk dan berlututlah. Aku ingin memasukimu dari belakang," busiknya.
Ginnan pun berpikir sejenak sebelum menjawab. "Aku mau, tapi jangan lama-lama, ya," katanya, lalu berpindah posisi jadi berlutut ke dinding setelah Renji mengiyakan. Tentu saja pria itu tetap terkekeh geli, namun dia memaklumi selemah apa lutut Ginnan karena kakinya begitu ramping. Lelaki itu bahkan tampak menggemaskan hanya dengan memunggunginya seperti ini. "Ahhh…! Ahhh…." desahnya waktu menelan Renji sekali lagi.
Ginnan mencakar tembok meski kuku-kukunya tak sampai membuat guratan di sana. Pipi kenyalnya menempel, dan selangkangannya sudah tumpah cairan sang kekasih meski pergumulan itu belum selama biasanya. Dia sendiri membasahi dinding dengan klimaks yang baru keluar, dan rasanya … orang-orang di luar kemungkinan batuk darah kalau melihat Renji secandu ini padanya.
"Ugh, apa yang kau lakukan…." lirih Ginnan. Sebab baru kali ini Renji mengeluarkan penis untuk menunduk ke hadapan analnya yang berantakan. Pria itu membuka lipatan pantatnya lalu menjilat di sana tanpa aba-aba. "Ahh… nnhhhhhh… mnnh…"
"Sekarang kau boleh duduk di tepian."
"Ah, iya." Ginnan menurut, namun telinganya terbakar karena pantatnya sungguh ditarik lebih minggir agar Renji bisa menjangkau tempat itu lagi. "Tidak tertarik yang lain, ya? Tempat itu kan sangat kotor…"
"Really? Kau itu sangat menggairahkan."
Ginnan berkedip-kedip kala atasannya ditarik turun hingga bahunya terbuka. "Aku sungguh tak mengerti—ah!"
Brugh!
Ginnan pun memeluk punggung sofa karena pantatnya sungguh dikuasai. Dia pun pasrah sepenuhnya. Renji baru menggantikan lidahnya dengan jari-jari kala ingin menyentuh sambil duduk. Dia memeluk pinggul ramping Ginnan. Mengecupnya. Lalu menikmati raut konstipasi di wajah lelaki itu.
"Apa?"
"Biar aku menyentuhnya juga."
Ginnan pun baru berani memijat penis sang kekasih waktu dibiarkan. Secara teknis, mereka memang sering seks dengan tanpa Renji melepaskan pakaiannya. Ginnan sendiri bingung, namun pria ini kadang sungguh tidak meminta balasan. Bahkan, cukup sering menolak kalau disentuh balik. Momen seperti dia diizinkan seperti ini sangat langka hingga Ginnan bersemangat membuatnya berbuih secepatnya.
"Kau senang sekali."
"T-Terlihat, ya?"
"Hmph."
Yah, meski bibir Ginnan dilumat ganas meski dirinya berhasil. Pria itu mengajak lidahnya bertarung hingga rasanya hampir tersedak. Ginnan sendiri sangat menahan diri untuk tak menolak hanya untuk melihat Renji muncrat secara langsung.
Oh, Tuhan. Sepertinya pria ini benar-benar tahu cara terlihat elit meski saat melakukan seks sekalipun.
"Aku sangat mencintaimu," kata Ginnan. Dia tak tahan mengatakan kalimat magis itu setelah ciumannya diakhiri. "Dan, kau sangat keren waktu membelaku tadi. Ha ha. Rasanya aku tidak salah memilih pasangan."
"Benarkah?"
"Ya. Kau sangat mengerikkan sampai kupikir akan punya tanduk tiba-tiba di kepalamu."
Renji hanya tertawa kecil mendengarnya. Tawa sederhana, tetapi Ginnan sungguh suka melihat dan mendengarnya seperti ini. Dia pun berebah lagi karena Renji masih menginginkan ronde berikutnya. Pria itu membuka kakinya tanpa sungkan dan menatapnya yang gugup menunggu.
"Aku juga mencintaimu."
DEG
"Ap—euuph…"
Ginnan sudah dicium sangat dalam sebelum habis dengan rasa terkejutnya. Sebab Renji--sepertinya—belum pernah mengatakannya secara langsung seperti itu. Pria itu menjajah seluruh rongga mulutnya. Baik atas maupun bawah yang sudah becek tak karuan. Dia pun melingkari pinggul Renji dengan kedua kaki karena mendadak bersemangat.
Malam itu tetap mereka rebut meskipun sempat dikendalikan oleh media masa. Ginnan sendiri merasa ini kurang tepat, namun Renji justru melontarkan hal bodoh lain padanya.