Chereads / MIMPI: Takdir Yang Hadir / Chapter 53 - BAB 3 Bagian 1

Chapter 53 - BAB 3 Bagian 1

Amsterdam, Belanda.

Helaan napas Nana terdengar sekali lagi. Sudah lima kali siaran ulang jumpa pers Renji dan Ginnan dia tonton. Meskipun dia yakin sang putera baik-baik saja, tetapi situasi di sana tetap sangat-sangat kacau.

Nana sakit hati melihat Ginnan dilempar jus seperti itu dan membayangkan bagaimana jika dulu dirinya tak membantu. Atau bagaimana jika Ryouta tak bersedia di sisi mereka. Pasti rasanya seperti di neraka.

Beruntung dukungan mereka sebagai orangtua ada. Jadi, setidaknya rasa sakit itu tinggal dari pihak luar saja. Namun, tetap saja. Bila Renji berwatak keras dan tak pedulian, beda lagi dengan Ginnan yang pasti sangat kepikiran.

"Ah, semoga mereka berdua baik-baik saja," batin Nana. Lalu me-lock screen ponsel. Wanita itu kembali pada kesibukannya mencatat keuangan. Lalu mengecek kegiatan para karyawan toko rotinya.

"Nyonya Isamu, Anda akan meletakkan ini di mana?" tanya seorang karyawan.

"Oh? Croissant dengan rasa baru ya. Taruh saja di etalase terdepan. Biar customer mudah menemukannya," kata Nana. Dia menunjuk spot yang diinginkan, lalu menyuruh karyawan lain membantu. Bagaimana pun, usahanya sekarang sedang sangat baik. Nana rasa harus mengumpulkan lebih banyak uang untuk memberikan kado pernikahan kepada Ginnan.

Sebuah hadiah yang layak. Mungkin mobil? Atau monitor wide curve untuk tracing hasil gambar digitalnya? Bukankah Renji bilang sang kekasih sebenarnya adalah komikus? Nana ingin berterima kasih kepada Ginnan karena telah menjaga puteranya.

"Ah, aku harus menyiapkan 3 baju untuk Cleo, Gee, dan Len juga," batin Nana. "Mereka harus ikut saat resepsinya nanti. Ha ha. Pasti lucu sekali di foto."

Tatapan Nana menerawang saat membayangkan kemeriahan pesta itu. Meskipun Renji bilang akan dilaksanakan secara indoor, tetapi pasti seru karena banyak kenalan lama yang datang. Renji bahkan mengundang Henry yang pernah menolongnya waktu kecil dulu. Dia menggosok vas bunga meja kerjanya dengan senyuman konyol, tampak sakau, dan menjerit kaget saat benda itu pecah terjatuh.

Prakh!

"Ahhh! Hei!"

Beberapa karyawan pun langsung menoleh. "Ada apa, Nyonya? Semua baik-baik saja?"

"Ahh ... iya, hanya sedikit masalah," kata Nana. Dia segera mundur dari meja kerja dan membuat jarak dari sisi pecahan kaca. "Kalian bisa tolong bersihkan ini? Tapi pakai sapu saja."

"Baik."

"Dan jangan terlalu dekat," kata Nana dengan raut cemas ke arah mereka. "Ambil buket bunganya dulu agar tidak rusak."

"Siap, Nyonya."

Nana pun memijit kening. "Ada-ada saja hari ini," keluhnya. "Biasanya aku tak pernah selengah itu. Astaga, vas kesayanganku ...." Dia pun menyasar ponsel kembali untuk memesan gantinya di toko online. Namun, sebelum menuju ke aplikasi belanja, wanita itu mengernyit karena kemunculan nomor asing. "Eh?"

Toleh kanan, toleh kiri ... Pemandangan rumah wajar-wajar saja hingga Nana mengangkat telepon tersebut.

"Iya, dengan Narchty Nacrowsky di sini," kata Nana. "Ada yang bisa saya bantu?"

Suara halus terpelajar pun menyahut tanggap dari sana. "Kami dari rumah sakit umum Tokyo, Nyonya."

Deg!

"Apa?"

"Apa benar Anda ibu dari pasien bernama Renji Isamu?"

Nana pun refleks berkedip panik. "I-iya? Itu ... Itu saya sendiri. Ada apa ya?" Jantungnya sudah bertalu-talu saat itu. Ah, gila. Ada apa sebenernya?

"Kami ingin menginformasikan, bahwa pasien tersebut meninggal hari ini pada pukul 01:00 a.m waktu Tokyo," kata wanita di seberang sana. Suaranya begitu halus, mendayu, tetapi anehnya bisa menusuk tengkorak Nana sampai ke dalam. "Jadi, bisa Anda datang kemari untuk pengurusan jenazahnya?"

Detik itu, dunia Nana serasa berputar ke tempat antah berantah.

.

.

.

Kata kunci "Renji Isamu" dan "meninggal" kini kembali menguasai trending topic di jagat internet Jepang. Nyaris seluruh penduduknya mencari soal itu, bahkan saat mereka sedang sibuk mengerjakan kegiatan masing-masing. Makan, sambil mengupasi kentang, scroll gawai, bahkan ada juga yang BAB sambil membacanya.

Bukan berfokus pada kematiannya, tetapi lebih kepada heran dengan kehebohan yang disebabkan fanbase Renji. Mereka menggila layaknya kerasukan setan. Fans maupun haters-nya, mereka tidak lagi mempermasalahkan hubungan Renji dan Ginnan. Semuanya berbondong-bondong ke Rumah Sakit Umum Tokyo. Membanjir layaknya demonstrasi politik, dan terus mendobrak masuk hingga gerbang tinggi gedung itu nyaris ambruk.

Paparazi, selebriti, dan sosialita yang pernah berhubungan dengan Renji di luar pekerjaan menampilkan wajah syok masing-masing saat membaca berita. Mereka memang tidak lagi memiliki relasi dengan pria itu, tetapi rasanya kehilangan tetap terasa di dada.

Bagaimana pun, semalam mereka baru melihatnya berdiri dalam acara jumpa pers dengan sang kekasih. Meski ada beberapa drama, tetapi kabar kematian memang terlalu berlebihan.

Itu seperti lelucon hidup, sungguh. Dan kebanyakan netizen mengira hal tersebut disebabkan oleh ulah beberapa haters yang obsesif, tetapi mereka juga ragu karena berita melibatkan kata kunci "tiga peluru" juga.

Benda-benda itu ditembakkan dari laras pendek dengan bahan dasar ilegal, dan menurut pihak kepolisian, semuanya tak pernah ada dalam daftar hasil selundupan yang diringkus di dalam negeri.

"Kami masih berusaha mengusut hal ini," kata seorang polisi yang menjadi perwakilan narasumber wartawan. Wajahnya tampak kalut, sebab kericuhan yang ditimbulkan fanbase Renji lebih sulit ditangani daripada aksi demontrasi biasanya. Bagaimana pun, mereka merupakan orang-orang loyal. Jadi, kerusakan yang ditimbulkan ikut membuat mereka pusing. "Untuk sementara, kami tidak bisa memberikan apa-apa. Jika pun ada, itu masih spekulasi. Tapi kami pasti mengonfirmasinya jika ada informasi lebih."

Sang interviewer tampak sama tak puasnya dengan penonton di luar sana. Dia pun menyodorkan microphone sekali lagi dengan kening berkerut itu. "Maaf, tapi bagaimana dengan peristiwa pengeboman yang meninggalkan bekas cukup luas? Kami juga belum diberi kabar bagaimana saudara Ginnan Takahashi bisa menghilang dari sana. Belum lagi keberadaan Haru-san yang masih belum diketahui. Apa menurut Anda ada kemungkinan justru dia pelakunya?"

Polisi itu pun tampak geram, tetapi menggenapi penjelasannya. "Kusarankan kalian tidak menghakimi siapa pun hingga kami memberikan kabar selanjutnya," katanya. "Sebab bila saudara Ginnan memang menjadi tersangka, hukum tidak akan membuatnya lari. Kami undur diri dulu sekarang. Maaf."

Suara ribut membisingkan telinga kembali lagi. Mereka menjerit, berteriak, dan mengemis-ngemis informasi dari si polisi, tetapi pria itu sudah diamankan di dalam mobil patroli.

Hampir seharian penuh, beberapa stasiun televisi dan program acara mengulas hal tersebut secara bergantian dan dikemas dengan cara yang berbeda. Ada yang bertajuk gosip, ada yang bertajuk bener-bener informasi, ada juga yang bertajuk rumor-rumor di masa lalu. Yang pasti, semua itu makin lengkap saat wajah orangtua Renji Isamu tampak di media pertama kali.

Ryouta dan Nana disambut dengan beberapa polisi yang mengamankan rumah sakit. Mereka ditarik cepat menuju ke dalam sebelum menjadi bulan-bulanan massa. Masker saja hampir copot meskipun hanya untuk menerobos lautan manusia.

"Lewat sini, Pak, Bu," kata si polisi mempersilahkan. Dia menggiring Ryouta dan Nana yang bermata merah sembab ke dalam lift dan dikawal dalam diam.

Mereka tidak mengatakan apa-apa. Sama-sama tipikal manusia yang semakin tenang bila menghadapi situasi yang terlalu genting. Mereka hanya bergandengan tangan, saling menguatkan, dan bayangan tubuh Renji yang terbujur kaku sudah memenuhi kepala mereka.