WARNING!!
MULAI BAB INI AKAN MENGANDUNG ADEGAN-ADEGAN TRAUMATIS YANG MUNGKIN MENGGANGGU KENYAMANAN BEBERAPA PIHAK. TERIMA KASIH TELAH HADIR, DAN BIJAKLAH MEMILIH BACAAN.
PENTING!!
BUKALAH KOLOM KOMENTAR UNTUK MELIHAT VISUAL ROBERT!
***
Dua hari dibiarkan tidur dan lapar, Robert sepertinya sengaja agar Ginnan kehilangan rasa ingin melawan. Tubuh lelaki itu kotor dan lemas hingga tidak bisa digerakkan. Rambutnya lecak sengkarut, lepek, dan borgol-borgol rantai itu baru dibuka setelah sungguhan pingsan.
KACRAAK! KACRAAAK!
Ginnan tidak ingat apa-apa lagi setelahnya. Semua gelap dan hilang, tahu-tahu tubuhnya sudah berpindah di ranjang yang lebih mewah ketika bangun kembali.
Namun, ajaib. Robert tetap memeluknya pada hari ketiga, dan Ginnan tidak lagi telanjang. Dia dipakaikan sweater halus warna pink dan celana pendek senada, juga dipeluk selimut tebal.
Mereka bergelung di bawahnya seperti pasutri baru, tapi lelaki mana yang tega memasangi kaki pasangannya dengan detektor anjing ? Benda itu bahkan berbunyi "tiit ... tiit ...." entah apa saat Ginnan baru bergerak pelan.
"Oh, kau sudah bangun rupanya," kata Robert. Lelaki itu mengecup bibir Ginnan yang refleks menatap benci.
"Robert ...."
"Oh, ayolah. Ginnan ... bisa kau santai sedikit?" kata Robert. "Jangan mengajak ribut di pagi hari. Lagipula kekasihmu itu sudah mati, kenapa tidak lupakan dan kita sarapan. Bukankah perutmu lapar?"
Ginnan pun menunduk dalam. "Jujur aku masih ingin melihat raganya," katanya dengan suara serak. ".... tapi, ugh. Ini sudah lewat berapa hari?"
Robert pun mendengus pelan. "Hmph, tiga, Sayang. Dia pasti sudah jadi abu."
Mata bengkak Ginnan menatap Robert perlahan. "A-Abu ...." gumamnya dengan bulu kuduk merinding.
Jujur, andai berita kematian Renji tidak disiarkan di berbagai saluran televisi, Ginnan pasti akan menggampari Robert yang dituding bohong. Namun, kini Ginnan bahkan benci melihat benda tersebut meski tidak sampai menyalakannya lagi setelah momen yang terakhir kali.
"Ya, abu. Jadi pikirkanlah dengan baik. Karena hidup denganku pasti lebih menyenangkan daripada lari tidak jelas hanya untuk mengejar yang tidak ada," kata Robert. Lelaki itu mungkin sangat menjengkelkan, tetapi dia benar-benar mempersiapkan kotak perhiasan lamarannya untuk Ginnan.
Semuanya dibuat mewah dan berhias safir. Sekali lihat pun gak kalah mewah dari yang Renji berikan, meski Ginnan langsung syok karena sadar kalung sert gelang kakinya tak lagi ada.
DEG
"Please ... k-kalungku, mana—"
"Sudah kusimpan di tempat aman," sela Robert sambil mengangkat hadiah darinya. "Kan akan diganti yang baru. Tidakkah kau suka desainnya? Aku memilihnya sendiri dua hari ini."
Ginnan pun meraba lehernya yang terasa kosong. "Kembalikan—punyaku," katanya dengan napas tersesak. "Itu diberikan Renji buatku. Itu semua milikku. Kau tidak bisa menyimpannya dariku, Robert."
Robert pun menghela napas panjang. "Hmmmph ... memang yang cantik selalu egois," keluhnya sambil memasangkan kalung baru Ginnan tanpa permisi. "Tapi tak masalah. Karena cantik juga kau dimaafkan. Sekarang pakai saja gantinya, dan segeralah lupakan priamu, oke?"
Ginnan pun meremas bahu Robert dengan mata yang mulai berair. "Aku mau pulang ke Jepang," katanya. "Aku mau lihat pemakaman dia. Aku tidak ingin di sini."
"Ya, ya. Nanti. Kalau kita sudah menikah, akan kuajak kau bulan madu ke sana," kata Robert. Dia juga memasangkan cincin klaimnya di jari Ginnan, terus mengomel karena tak tahan, tapi mengecup punggung tangan itu sayang. "Bagaimana, setuju? Jangan sia-siakan kesempatan mudah yang kutawarkan."
Ginnan justru menarik tangannya langsung. "Semua tidak semudah itu," katanya. "Aku masih ingin bicara dengan Ayah dan Ibu. Mereka pasti sekarang terpukul. Aku harus ada karena Renji—"
BRAKHHH!!
"SEMUANYA RENJI! RENJI! RENJI! RENJI! RENJI! RENJI! BRENGSEK!" teriak Robert tiba-tiba. Lelaki itu membuat jantung Ginnan tersentak, lebih-lebih ketika mulai mendempetnya ke dalam tindihan. "Otakmu itu dimana, HAH?! Aku sudah mencoba bersabar. Kuperlakukan kau lebih baik, tapi tidak tahu diri!"
BRAKHH! BRAKHH!
BRAKHH! BRAKHHH!
Ginnan pun tremor karena tatapan mata iblis tersebut. "A-Aku—maaf ...."
"Bukankah kau itu pelacur? Maksudku sebelum bertemu dia," kata Robert sambil menggamit dagu Ginnan dengan jemari. "Apa susahnya berganti aku? Tubuhmu itu sudah dijajah ratusan orang. Seharusnya ini mudah saja. JADI JANGAN MEMPERSULIT! AKU JADI BENAR-BENAR KESAL!"
Ginnan pun terbisu diam. Dia bingung harus bilang apa, tapi berkedip panik karena dicium kasar. "Umnhhh!"
Robert melampiaskan rasa kesalnya ke sana. Dia meremas tengkuk Ginnan yang ramping, bahunya, dan menjelajahi mulut hangat itu sesuka hati. Bibirnya yang kemerahan dan agak pucat, lidah mungil yang menggemaskan, dan kedua mata besarnya yang masih belum mengempis.
Robert masih menyukai semuanya. Jadi, meski nyaris meremukkan apapun, dia tetap menahan diri karena ingin menikahi—
"Sudah, lupakan," kata Robert setelah emosinya surut perlahan. "Ayo turun. Perut kecilmu itu harus diisi. Nanti mau apa ya nanti saja."
"Ugh—"
Robert menggandeng Ginnan meski lelaki itu berjalan terseok-seok mengikutinya.
"Kau ini harus dikasih paham sesekali."
Sakit, ugff ... perih—
Keluhan batin Ginnan tak berujung pada apapun. Dia terpaksa mengikuti langkah Robert yang sembarangan, lalu dilempar ke sofa.
BRUGH!
"Tunggu, diam saja! Kuambilkan sarapannya untukmu," kata Robert lebih seperti majikan kepada peliharaan.
Ginnan pun memperbaiki duduk sebisa mungkin, padahal pinggangnya serasa mau patah karena permainan mereka yang cukup keterlaluan sebelumnya.
Namun, Ginnan sepertinya mulai paham. Robert adalah tipe pria sadokis, pemaksa, tapi sebenarnya penyayang. Terbukti setelah dia kembali dari dapur, nampan yang dibawanya diletakkan dengan pelan, lalu tubuh Ginnan diangkatnya ke pangkuan seperti bayi.
"T-Tunggu, Robert. Turunkan aku—"
"Diam dan menurut saja!" bentak Robert sebelum mengambilkan mangkuk untuk Ginnan. Lelaki itu menyendokkan bubur daging buatannya, menyuap Ginnan, lalu mengelap luberan tipis di sudut bibirnya. (*)
(*) Catatan: sadokis adalah orang yang berperilaku sadis, atau suka melakukan hal kejam, ganas atau kasar. Namun, secara psikologi, sadisme bisa juga berarti kepuasan seksual yang diperoleh saat menyakiti pasangannya secara jasmani atau rohani.
"Umnnh, panas—" keluh Ginnan yang langsung membekap bibir.
Bukannya merasa bersalah, Robert malah tersenyum dan mengesun pipi lelaki itu. "Tapi, enak bukan? Aku akan menyuapimu hingga selesai."
"Ahh ... panas ...." keluh Ginnan sekali lagi. Lelaki itu pun meneteskan air mata karena lidahnya terasa melepuh. Bahkan meremas paha Robert hingga kuku-kuku cantiknya mencakar. Sayang, Robert sepertinya malah makin menikmati pemandangan itu.
"Iyakah? Coba lihat."
Dagunya ditarik pelan, Ginnan pun menampakkan lidahnya yang semakin merah. "Sakit—"
Cup!
Robert malah mengecup bibir lelaki itu. "Ya, aku tahu. Nanti sakitnya hilang sendiri."
Ginnan pun menggeleng kuat. "Aku tidak mau makan lagi," katanya. "Perih—"
"Oh, ya? Siapa yang bilang kau akan begitu?"
"ARRRGHHH!" Ginnan pun tersentak karena rambutnya dijambak tiba-tiba. Dia ditahan begitu selama beberapa saat, dibuat mengerti agar menurut, lalu mengangguk pelan. "Ugh ... tapi, jangan panas. Aku tidak bisa makan panas ...."
Robert pun iba sebentar karena Ginnan menatap bubur di mangkuknya ketakutan. "Oke, baik. Sementara ini aku akan pelan-pelan," katanya. Lalu mulai meniupi suapan lainnya. Dia puas karena Ginnan mau makan, dan terus memandangi bagaimana bibir favoritnya itu bergerak karena kunyahan pelan. "Tapi nanti, kau harus belajar lebih banyak untuk jadi pasanganku yang sesuai, hm?"
Jadi lebih tahan sakit, maksudnya?