Chereads / MIMPI: Takdir Yang Hadir / Chapter 60 - BAB 3 Bagian 8

Chapter 60 - BAB 3 Bagian 8

Pizza Duomo, Matera, Italia.

Di sebuah hotel bintang lima bernama Palazzo Gattini, Aoki baru menyelesaikan makan malamnya. Dia menutup ritual rutin itu dengan mengelap bibir menggunakan tisu harum. Kemudian mengangkat telepon dari sang "Ibu".

"Halo, Bunda?"

Suara Rocress Reiss mengalun dari seberang sana. "Vincent sayang ...." sapa wanita itu dengan senyuman. "Apa kamu sedang punya kesibukan?"

Aoki pun menatap Leon Carl yang menemaninya malam ini. "Sebenarnya aku masih dengan seseorang. Tapi, apa Bunda punya keperluan penting?" tanyanya.

"Hmm, tidak terlalu penting juga," kata Rocress. "Tapi kalau punya waktu luang telepon Bunda, ya. Aku ingin bicara beberapa hal denganmu."

Aoki pun mengangguk sebelum menutup telepon. Lelaki dengan mata beda warna itu berkata "Maaf" kepada Leon sebelum memasukkan ponselnya kembali ke saku. Bagaimana pun, meski Rocress bukan sang ibu kandung, tetapi wanita itu sudah menyayanginya sejak kecil. Bahkan sebelum pindah ke Jepang. Maka, meski agak merepotkan, Aoki selalu menerima panggilan darinya selama ada kesempatan.

"Sebenarnya tidak masalah," kata Leon setelah memberikan kartunya kepada butler yang datang membawa bill. "Kita kan sudah selesai. Kenapa tidak temui saja?"

Aoki melirik keluar jendela kaca restoran ini. "Hujannya sudah mulai reda, jadi aku bersyukur bisa pulang lebih aman," katanya. "Tapi di waktu-waktu seperti ini, tidak baik untuk menemui orang lain. We never know when the accident come to us."

Leon Carl yang sudah hidup dalam status "Vincent La Guillerra" menggantikan Aoki pun mendengus tersenyum. "Kau benar-benar mengingat kejadian masa lalu sebagai pelajaran yang baik."

Aoki ikut tersenyum tipis. "Benar. Dan aku damai sekali seperti ini."

Mereka pun berpisah setelah itu. Leon Carl pergi terlebih dahulu dengan buku sketsa berisi ide lukisan ala Aoki. Sementara Aoki disambut dua bodyguard yang membawa payung ketika mobil limusin yang menjemputnya datang.

"Selamat malam, Tuan Vincent," sapa mereka bersamaan. Salah satunya membuka payung untuk melayani Aoki, tapi pria itu memintanya untuk dipegang sendiri.

"Selamat malam juga, tapi biar kubawa sendiri," kata Aoki.

"Ah, baik."

Hujan mulai turun lagi saat itu. Gerimis menderas. Mendung tebal pun semakin menggantung tebal. Dan limusin tetap membelahnya dengan laju yang cukup perlahan.

Aoki menikmati perjalanan itu seperti biasa. Dia sempat menoleh beberapa kali ke jendela berfungsi sunroof, lalu terhenti saat ada anjing buduk yang menggonggong di gang restoran yang kotor.

"Tunggu, tunggu. Bisa kalian berhenti sebentar?" pinta Aoki. "Aku sepertinya melihat tubuh orang tergeletak di sana."

"Eh, serius, Tuan?" tanya sopirnya di depan.

Aoki pun turun untuk membuktikan langsung. "Kalian di sini saja," katanya. Walau bodyguard itu tetap tidak mau diam saja. Mereka berjaga di depan pintu limusin dengan membawa payung masing-masing. Keduanya mengawasi sang bangsawan membelah hujan ke gang kotor hingga si anjing berlari pergi.

"Guk! Guk! Guk! Guk!"

Aoki seperti hanya ditunjukkan kalau ada "jasad" saja.

Seonggok tubuh lelaki telanjang. Berbekas luka di sana-sini. Darahnya meluber di bawah guyuran hujan. Dan yang cukup parah dari bagian alat kelamin.

Lubang mungil kemerahan yang kemungkinan baru dijajah beberapa pemerkosa. Tempat itu terus mengalirkan darah tipis, tetapi menjadi genangan air merah karena tercampuri lumpur dan hujan yang terus membanjir.

Aoki pun menatap pemandangan itu dengan tatapan yang beku. Karena mengira si jasad sudah benar-benar mati. Namun, beberapa detik kemudian, kedua matanya pun membesar karena menyadari wajah pucat itu milik siapa.

DEG

"Ginnan—"

Seketika, Payung pun terjatuh ke tanah berlumpur ketika Aoki memburu Ginnan dengan tanpa ragu. Pria itu duduk dan memeluk Ginnan ke dadanya, tanpa peduli setelan pakaiannya yang seharga rumah kotor oleh lumpur.

"Tuan Vincent! Ada apa?!"

Kedua bodyguard Aoki langsung ikut datang memburu sang majikan. Mereka sigap menutupi Aoki dengan payung masing-masing, lalu mengikuti gerakan pria itu saat menggendong Ginnan hingga berdiri.

Hal yang membuat keduanya mengernyitkan kening. Heran 100% karena setahu mereka, Aoki tidak pernah terlibat romansa apapun sejak pulang dari Jepang. Dia fokus dengan kehidupannya sendiri, bahkan cenderung menarik dari interaksi sosial di luar sana. Namun, kini Aoki sungguh-sungguh mendekap tubuh telanjang itu dengan raut yang seperti ingin menangis.

"Ginnan ... Ginnan ...."

Aoki boleh lupa dengan semua kenangan lama, tapi mana bisa dia dengan Muse-nya sendiri? Sosok inspirasi terbesar yang memprakarsai setiap karyanya sejak jatuh hati. Apapun yang dia lukis, berbeda-beda sekali pun ceritanya, tapi semua hanya karena ada jiwa Ginnan di dalamnya.

Perlahan, kedua mata itu pun terbuka. Hal yang sungguh tak bisa Aoki sangka. Aoki kira, Ginnan sudah benar-benar mati. "K-Kau siapa?" tanyanya.

DEG

Sebuah pertanyaan yang sulit. Karena jika dulu Ginnan sangat membencinya, apakah Aoki akan mengaku? Tidak. Lelaki itu langsung menggeleng. "Namaku samasekali tak penting," katanya.

"Tidak! Pergi kau! Pergi! Pergi! Pergi!" teriak Ginnan tiba-tiba. Padahal kedua matanya kesulitan melihat dengan jelas. Tapi dia menyerang dua kali bodyguard Aoki dengan botol bir di sekitar dengan wajah ketakutan.

Hei, Ginnan. Apa saja yang sudah kau lalui selama di sini?

"Jangan takut ...." kata Aoki sambil mengusap air dari pelupuk mata Ginnan. Ibu jarinya mengusap halus. Dia membuat Ginnan terengah diam, lalu menatapnya dalam-dalam.

"Jangan—"

"Di sini. Letakkan tanganmu di bahuku," sela Aoki. Karena hatinya terlalu sakit. Dia tak mau Ginnan berlama-lama di tempat kotor ini. Dibimbingnya tangan Ginnan agar memeluk bahunya. Lalu dia gendong dari sana.

"K-Kau ...."

"Maaf, aku sudah terlambat," kata Aoki dengan dekapan yang lebih erat. Kedua bodyguard-nya sampai heran karena Aoki tak pernah terlihat seemosional itu. Apalagi kedua matanya berkaca-kaca.

Sebenarnya siapa lelaki yang di dada majikan mereka?

"A-Aku ...." gumam Ginnan yang mendadak meraih wajah Aoki. Membuat lelaki itu tergugu, apalagi Aoki rasa Ginnan kini sudah mengenali dia. "Aku—Aku sungguh-sungguh minta maaf—uhuk! Uhuk!" Darah yang keluar di tangan kecilnya makin membuat Aoki ngilu. "Aku ... w-waktu itu ... Aku sungguh-sungguh tak bermaksud membuatmu—"

Oleh angin, syal panjang Aoki pun tiba-tiba jatuh dari bahu. Namun lelaki itu sudah tak tahan lagi, meski dia juga penasaran apa kata-kata yang ingin Ginnan sampaikan. Persetan dengan semuanya. Aoki menggenggam tangan Ginnan yang meremas mantelnya.

"Kubawa kau pergi dulu dari sini," kata Aoki. "Rumahku dekat ... tapi jika kau benci di sana ... aku tidak keberatan pergi ke tempat lain."

Jujur, Aoki hanya takut Ginnan semakin membenci dia. Karena meski pertengkaran mereka sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu, trauma pasti yang mengingatkan lelaki ini.

Apa karena itu Ginnan mengalirkan air mata?

Aoki memohon kepada Tuhan setiap detik agar napas Ginnan yang lemah tidak berhenti.

"Aoki—"

Remasan Ginnan semakin mengerat.

"Jangan bicara, jangan bergerak. Lukamu bisa-bisa makin terbuka nantinya," kata Aoki. Yang dibalas Ginnan dengan suara nyaris hilang.

"B-Bawa aku," pinta Ginnan. "Kemana pun. Sembunyikan aku dari dia dan mereka." Karena membayangkan wajah Robert serta suadara kembarnya yang berdandan wanita, atau para bodyguard Renji yang berkhianat—Ginnan sudah sangat mati rasa.

Seketika itu, Aoki pun langsung membawa Ginnan pergi. Perjalanan dipercepat meski sopir Aoki masih belum paham yang mereka lakukan. Sebab meski lukisan tentang Ginnan sudah dipajang di setiap dinding rumah (masih seperti yang dulu bagaimana Aoki memuja lelaki itu) tapi mereka tidak mengenali sosok yang sudah berubah ini.

Ginnan yang pucat dan rusak. Penuh luka dan tak indah lagi seperti di dalam karya-karya sang maestro pelukis.

Namun, Aoki tidak masalah. Begitu sudah sampai rumah, beberapa dokter pribadinya langsung bertindak. Mereka menangani Ginnan seperti professional. Bahkan menjahit luka dan membersihkan semua yang kotor dan menempel di tubuh itu.

Aoki sendiri tidak tenang di tempatnya. Dia mondar-mandir dan duduk lagi. Lalu berdiri dan mondar-mandir lagi.

Demi apapun, semua pelayan dan bodyguard-nya pun ikut tertular gelisah. Bagaimana tidak? Aoki bukan tipe seseorang yang peduli pada orang lain, dan tetap memberikan jarak bahkan dengan orang-orang terdekatnya. Dia tenang, seperti air laut yang tak punya gempa. Namun, sekarang dia seperti sosok yang berbeda.

"Tuan Vincent, bisa saya bicara dengan Anda sebentar?" pinta seorang dokter wanita. Dia langsung menutup pintu kembali, isyarat bahwa Aoki harus mengikutinya ke dalam.

Dokter itu pun menjabarkan semua kondisi Ginnan kepada Aoki. Luka-luka di tubuhnya yang sudah jelas karena kekerasan seksual. Dan tentunya si pelaku bukan satu orang.

Ginnan juga mengalami traumatis yang cukup parah. Dia cenderung benci disentuh seseorang, bahkan yang menjahit lukanya, jadi harus dibius total kalau mau merawat. Yang paling memprihatinkan, alat kelaminnya bahkan ikut luka, dan lubang pantatnya sobek beberapa senti seperti wanita yang melahirkan.

Hal yang membuat Aoki memijit kening, dan dirinya dapat kebas di seluruh tubuh. Sebab dulu, ketika dirinya masih remaja dan tolol, Ginnan nyaris merasakan pelecehan yang pertama kali dan menolak keras. Well, anggaplah itu karena dia masih kelebihan hormon. Tidak mampu kendalikan diri. Bertingkah naif dan menyerang tanpa pemikiran, tapi sekarang melihat Ginnan begini ... Aoki merasa amat bersalah.

Siapa yang menyangka Ginnan akan diperlakukan seperti itu? Bukankah Ginnan sudah bahagia dengan kekasihnya?

Bohong bila Aoki tidak mengawasinya dari kejauhan. Dan dia sudah melepaskan lelaki ini sejak mengumumkan hubungannya dengan Renji di depan umum. Lalu menutup semua Indra dari kabar-kabar tentang mereka berdua.

Aoki pikir, semua tugasnya telah selesai. Ginnan pasti bagus menikah dengan pria itu. Tapi siapa yang menyangka sekarang malah di sini?

Di rumahnya.

Di ranjangnya.

Di sisinya.

Aoki pun mengepalkan tangan karena melihat kapas penuh darah yang mengisi dua tempat sampah penuh. Apalagi berita kematian Renji di stasiun televisi Jepang ternyata masihlah gencar.

Aoki pun tak kuasa lagi. Dia membuang remot setelah berita yang ada dia pahami, dan televisi itu mati.

Bagaimana Aoki menempatkan dirinya sekarang? Padahal Ginnan sudah terpisah dengannya terlalu lama. Tapi melihatnya begini, Aoki marah walau tak tahu pada siapa.

"Tuan ini mungkin butuh istirahat beberapa hari—"

"Namanya Ginnan," sela Aoki tanpa sadar. Yang membuat si dokter wanita berdebar, karena nama itu ditoreh pada tiap pojokan karya Aoki. "Dia Ginnan Takahashi. Maaf belum memberitahukannya pada kalian."

Deg ... deg ... deg ... deg ... deg ...

"Oh, iya. Maaf," kata si dokter meralat. "Jadi, Tuan Ginnan mungkin akan sadar kurang dari seminggu." Dia mengulang informasi barusan. "Selama itu, kami akan berjaga di sini. Anda juga bisa memanggil kami kapan pun. Dan, jika memang sangat memungkinkan, kami ingin memanggil psikiater juga. Teman kami. Maaf jika Anda menganggapnya terlalu lancang."

Aoki pun menoleh ke tubuh Ginnan yang tertidur lelap di ranjangnya. Lelaki itu dipasangi alat-alat medis lengkap, dan diselimuti dari dinginnya cuaca di luar sana.

"Ya, lakukan saja yang terbaik. Apapun itu. Tidak perlu lagi izin padaku," kata Aoki. "Aku yakin kalian lebih paham harus melakukan apa."

"Baik."

Malam itu, Aoki langsung insomnia. Dia tidak bisa meninggalkan Ginnan, tapi juga tidak ingin mendekati lelaki itu. Dia duduk di sebelah Ginnan dan melihat luka-luka yang telah diperban. Tergambar dalam ingatan segar Aoki, dia pernah melukis Ginnan yang berendam dalam bath-up berisi darah, tapi bukan seperti ini yang menjadi nyata.

Aoki tidak pernah inginkan Ginnan terluka. Aoki tidak pernah berharap Ginnan sungguhan mengalami kehitaman takdir, dan bagaimana jika Rocress Reiss tahu?

Aoki masih berpikir seribu kali untuk mengabarkan ini kepada wanita itu.

"Siapa pun yang melakukannya, mereka tidak memilih target yang tepat, Ginnan," kata Aoki dengan mata yang tak lepas dari tubuh itu. "Bunda-mu pasti sangat marah. Dan maaf, aku sempat tidak mengikuti kabarmu lagi sejak kalian—"

Suaranya disamarkan oleh hujan yang mendadak menderas. Pada akhirnya, Aoki pun kelelahan menunggui. Hati, pikiran, jiwa, raga—semuanya kompak menolak kondisi Ginnan yang seperti ini. Dia pun tetidur di sisi lelaki itu, menggenggam tangannya yang dingin, dan membuat beberapa pelayan tak jadi membangunkan agar mau berpindah tempat.

Mereka hanya menyelimuti punggung Aoki. Mereka mundur perlahan dari kamar itu, lalu pergi.

"Selamat malam, Tuan Vincent."

"Selamat malam juga, Tuan Ginnan."

Dalam hati mereka tidak luput dari harap agar keduanya semakin baik-baik saja.

.

.

.