"Sepertinya ini cukup bagus untuk dimasukkan dalam perjanjian."
"Ini dan perjanjian apa yang kau maksud?" bingung Ginnan. Dia masih terebah lelah di sofa itu setelah Renji mencabut penisnya. Pria itu cukup menutup restleting kembali, duduk rapi, dan memandanginya yang berusaha mengatur nafas.
"Tentu saja perjanjian pra-nikah," kata Renji. "Aku bisa datangkan notaris kenalan untuk meresmikannya sekalian."
"Apa?"
"Kau tahu soal itu kan? Kertas yang mengatur harta, kepemilikan rahasia, wasiat, dan perjanjian diantara pasangan?"
"Oh, ya…"
Renji mengusap saliva di sudut bibir Ginnan agar lelaki itu tampak lumayan rapi. "Lalu, untuk perjanjiannya, kita akan berhubungan seks setiap kali bertengkar atau hubungan ini memburuk. Bagaimana menurutmu?"
Percayalah, meski hubungan ini baik-baik saja, Ginnan yang berantakan di depan Renji pun tak kuasa. Apalagi jika harus melakukannya saat sedang ingin jauh?
"Kau serius?"
"Kenapa tidak? Kau bilang takut terpisah denganku jika tidak ada anak?"
"Iya, tapi kan…."
"Jadi, kita harus membuat cara dan alasan sendiri agar tidak sampai berpisah. Bagaimana?"
Ginnan pun tak mampu menahan tawanya lagi. Baginya, ide Renji sungguh konyol. Tapi lebih konyol lagi saat dirinya menyetujui hal tersebut. Katanya, meski mereka benar-benar saling mencintai, seks memang berperan penting dalam hubungan ini sejak awal.
Mereka dekat karena seks, mereka jatuh cinta lewat seks, mereka melengkapi dengan seks, dan (semisal) mau berpisah pun harus ditahan seks. Sungguh luar biasa sekali. Namun, Ginnan rasa itu tidak buruk. Dia bahkan tak menolak digendong Renji saat keluar dari Mayumi Kurikawa Central meski masih bisa jalan. Dia hanya memeluk leher sang kekasih, melingkarkan kaki di pinggangnya, lalu menatap masa di sekitar sambil menahan merah.
Dia tak peduli akan ada kabar baru apa lagi di luar sana, yang pasti Renji sungguh miliknya seorang! Titik! Titik!
Tidakkah kalian semua sudah melihatnya? Ha?! Begitu teriakannya dalam hati. Namun, kegembiraan itu tak lagi sama saat R dan E mendadak menghentikan mobil Lamborghini Aventador mereka pada paruh perjalanan pulang. Tepatnya, mereka ada di jalur tol saat jam sudah menunjukkan pukul 11 malam.
"Ada apa, R?" Tanya Renji.
R pun menoleh segan ke belakang. "Maaf, Tuan. Tapi sepertinya ada yang tidak beres dengan mesin mobil Anda?"
"Eh? Kenapa?" tanya Ginnan. Dia menilik keluar jendela, lalu melihat mobil N, J, I, dan G ikut berhenti di belakang mereka.
E juga mengangguk untuk meyakinkan. "Bolehkah saya turun untuk memeriksa? Rasanya seperti ada aroma mesiu yang berantakan."
DEG
"A-Apa? Mesiu?"
"Anda tidak menciumnya?"
Ginnan pun menggeleng pelan. "Tidak, sungguh." Dia lantas menatap Renji. "Kalau kau, Ren?"
Renji Lalu mengibaskan tangannya. "Baik, periksalah," katanya, mulai lelah dengan ulah haters yang merusak mobil Porsche putihnya sebelum ini. Ginnan memang tidak tahu itu, tapi—
"Tuan, kumohon. Dengan segala hormat. Cepatlah keluar dari sana sekarang juga!"
…wajah E sungguh pucat saat ini. Dia menjerit layaknya orang gila, lalu membuka pintu hanya demi menarik Ginnan dari dalam sana.
"A-Apa? Kenapa?"
"Ada bom waktu di bawah mobil Anda, please!" jerit E sekali lagi. Dia menatap Renji histeris, apalagi waktu hitung mundur yang dilihatnya tinggal semenit dari sekarang.
"Apa?"
"Oh, astaga… REEEENN!" Ginnan menutup mulut dan makin ditarik E agar menjauh dari tempat itu. "Keluarlah sekarang. CEPAT! CEPAT!"
Raut pucat Ginnan adalah yang paling bisa dipercayai dan menggerakkannya. "Baik-baik, aku keluar sekarang—"
Namun, baru saja pria itu akan membuka pintu di sebelahnya, sebuah gagang pistol sudah terangkat naik ke pelipisnya. KACRAK!
"Berhenti bergerak, Tuan. Atau aku akan menembak Anda sekarang juga."
Renji sempat menahan nafas, tetapi dia tetap tenang kala menjawab ancaman R. "Aku tidak ingat pernah menyuruhmu mengarahkan benda itu kepadaku, R."
"Memang tidak, Tuan."
"Jadi, kenapa kau melakukan hal bodoh ini?"
"Maaf, Tuan. Tapi aku tidak bekerja di bawah Anda."
"AAAAAAAAKKKHHH!"
DEG
Di seberang sana, entah sejak kapan Ginnan pun sudah diberangus oleh lengan-lengan E sebelum N, J, I, dan G gugup keluar untuk menyelematkan kedua majikan mereka. Mulut lelaki itu dibekap, dibius, lalu pelipisnya ditodong pistol karena dirinya terancam.
"KALIAN MENDEKAT LAGI AKU AKAN MENEMBAKNYA!" bentak E dengan raut yang sudah berubah keras. Perlahan, dia pun menyeret lelaki itu mundur hingga bodyguard lain kontan mengejar dalam kepanikan.
Renji pun mendengus kasar karenanya. "Jadi, rekanmu itu juga berkhianat, huh?" katanya. "Akting yang sungguh bagus sekali. Tadinya kupikir bodyguard yang kusewa tolol semua karena tidak bisa mengamankan mobil ini."
"Ha ha. Maaf saja. Kami hanya pengawal sewaan, Tuan. Jadi, saat ada yang menawarkan uang lima kali lipat, tentu saja kesetiaan hanya sampah dalam sekejap."
"Ha ha, hanya lima kali? Kalau begitu lepaskan kami dan kau akan kuberikan lima puluh kali—"
KACRAK!
"AKU INI TIDAK SEDANG MAIN-MAIN!" bentar R geram. "Bukankah Anda ini sudah miskin? Atau setidaknya … apapun yang dimiliki sekarang hanyalah harta terakhir yang masih tersisa. Masih berani sekali menawarkan hal yang seperti itu."
Renji pun melirik ke empat bodyguard-nya yang masih setia. "Kalian, fokus selamatkan dia. Rebut dan jangan biarkan Ginnan disakiti sedikit pun!"
"BAIK!"
BRAKH!
Renji langsung menghantam pergelangan R dengan sikunya hingga pistol itu terjatuh. Pria itu menendang kursi depan sangat bar-bar meski nyaris tak pernah berkelahi seheboh itu dalam hidupnya. Dia membuat R terjengkang ke kursi, bahkan kepalanya menabrak kaca jendela hingga menimbulkan retak tipis. Padahal, percayalah. Lamborghini Aventador bukanlah jenis mobil rapuh yang bisa kau lukai dengan mudah bila tak mendapat hantaman serius.
R pun mendesis dan balas menendang pada perut Renji. Namun, pria itu lebih dulu menjambak kerahnya hingga kesulitan nafas. "Lalu siapa yang meracuni otakmu!" bentaknya jengkel.
R justru menyeringai lantas mengambil pisau mungil dalam sabuk untuk membuat kebocoran pada pinggang Renji. CRAK!
"Agh—"
"Bagaimana, sakit?"
Mereka berguling lagi di tempat yang sempit itu. Bagaimana pun, R merupakan pengawal bayaran terlatih. Dia merupakan veteran di daerah perbatasan sebelum keluar untuk membuka jasa sewa sendiri. Sayang bukan Renji namanya jika dia tak mengancam kembali. Dia cabut pisau itu seolah bukan apapun, lantas ditancapkannya pada dada R sebelum pria itu meninju.
BUAGH!
Darah dibalas dengan darah. Keduanya saling membanjiri dengan warna merah sebelum berguling lagi dan saling menghantam.
"Anda keras kepala, maka kita akan mati berdua di sini!"
"Ho, benarkah?"
"Aku tidak main-main! Tinggal lima belas detik sekarang!"
"Maka aku akan mencabut nyawamu dalam lima belas detik itu."
"—KHEUUUH!"
BRAKH!
R pun panik dan menendang pintu kemudi sekerasnya. Dia masih melawan kala Renji menduduki dan ingin mencekik brutal. Pria itu sepertinya tak peduli akan menjadi pembunuh agar amarahnya tersalurkan. Dia tidak bisa tenang lagi! Darahnya mendidih sejak Ginnan dibuat tak sadarkan diri seperti itu. Mereka masih bertarung di detik-detik terakhir, sementara Renji tidak membiarkan R pergi meski keluar dari mobil terlebih dahulu.
Tit… tit… tit…
Detikan bom baru terdengar sebelum tepat sebelum meledak—BOOOOOMM! Dan Renji pun terlempar ke udara karena api sementara R dilahapnya.
Pengawal malang itu sempat tersandung langkahnya sendiri dan terbakar dalam sekejap. Dari tubuh, amukan sang merah itu meraup kepala hingga lengan dan ujung jemarinya. Renji sendiri terbatuk-batuk, nyaris lega, namun tidak lagi saat melihat moncong pistol E diarahkan padanya dari kejauhan.
"Aku tak punya pilihan lagi," katanya, yang kini berdiri di tengah-tengah keempat bodyguard lain dan sudah terbunuh dengan kebocoran peluru di tempat yang berbeda-beda.
Entah pertarungan macam apa yang dia alami sebelum ini, yang pasti tubuhnya pun babak belur setelah melawan dalam kondisi kalah jumlah, sementara Ginnan kini berbaring di tepi jalan begitu saja.
Lelaki itu masih putih bersih. Cantik. Lembut. Tak tersentuh sedikit pun meski bajunya lusuh ikut bekas pertarungan. Namun, sulit bagi Renji untuk menyeret kaki setelah lukanya makin terbuka lebar. Darah pun tumpah-tumpah dari dalam pinggangnya, sementara E terlihat tak menyerah samasekali.
"Apa yang dijanjikan majikanmu yang baru selain uang?"
"Itu bukan urusan Anda." Dia pun mengangkat pistol itu lebih tinggi.
"Lalu apa yang dia mau dari kami, hah?"
"Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu," kata E. "Berhentilah mendekat, Tuan. Bisa-bisa aku menghabisimu meski itu tak termasuk dari misiku. Paham?"
"Ha ha. Bukankah aku sudah sekarat?" balas Renji sembari menekan lukanya dengan tangan. "Cukup berikan lelaki itu padaku. Aku takkan melaporkanmu jika masih bisa kau lakukan—"
"Justru dia yang akan kubawa pergi, Tolol," kata E. Intonasinya-nya bahkan lebih kasar daripada Renji saat memaki seperti itu. Dan dia benar-benar meletuskan tembakan bahkan sebelum Renji sanggup melangkah lebih jauh. "Maaf, Tuan. Tapi, hidupmu sampai di sini saja."
DOR!
DOR!
DOR!
.
.
.
.
☺️ Gimana? Apakah alurnya mengejutkan?
Btw, ilustrasi Renji meninggoy ada di IG-ku sejak setahun lalu ya (@er_himmel) Bahkan waktu buku 1 masih belum rampung, adegan dia ditembak itu udah terencana sejak lama. Jadi, jangan protes ✊😌
So, see you next chapter!!