Mengapa hanya karena lemah oleh uang, dia tak bisa mengelak dari pesonanya. Lebih-lebih, setelah terbiasa menghangatkan ranjang sang suami tua, Mayumi mengakui kehidupan cintanya tak seberuntung itu. Karenanya, sejak sang suami meninggal, dia masih mencoba untuk bersinar sebagai wanita karir. Kesana kemari mencoba berderma. Terus menciptakan image baik. Lantas jatuh hati pada remaja yang tak seharusnya.
"Sudah masuk, ayo pergi..." kata Renji ke Veer waktu itu. Mayumi sungguh ingat kesan pertamanya kala baru melihat Renji. Dulu, dia masih ranum, tampan, dan tampak segar dengan seragam sekolah Junior-nya. Maka meski ragu dengan desir baru di dadanya, Mayumi tetap ingin cari tahu. Dia pun mendekat kepada mereka, lantas menjadi parasit halus dengan menawari pekerjaan.
"Aku Mayumi Ayumu," kata Mayumi. "Boleh aku duduk di sebelahmu?"
Bagi Renji mungkin tidak berkesan. Tapi momen dia diam dulu, lalu menggeser duduk untuk Mayumi itu sungguh-sungguh berarti. Lebih-lebih kala Mayumi diizinkan Renji untuk bicara lebih jauh. "Jadi, kemarin aku sudah tanya-tanya sedikit kepada wali kelasmu, kata Mr. Han, kau memang sangat berbakat—"
Dan begitu seterusnya.
Mayumi sendiri tidak ingat bagaimana awalnya, yang pasti jantungnya pernah berdebar begitu kencang kala bangun di ranjang Renji untuk pertama kali. Pria itu bahkan memeluknya, satu selimut dengannya, lantas merokok santai begitu membuka mata. "Hmph, tidak buruk," komentarnya waktu itu. "Jadi aku tidur dengan tante-tante setelah lulus sarjana. Dan parahnya otakku tidak ingat apapun."
Percayalah, untuk Mayumi yang tidak pernah menyerahkan diri pada seorang pria perkasa, pengalaman itu jadi tertanam dalam di hatinya. Maka walau sempat bingung, dia tetap berusaha menerimanya. Lagipula, Renji waktu itu terlihat tidak terlalu mempermasalahkan. Malahan, dia tak peduli kala Mayumi memandangi otot-otot kencang di tubuhnya.
"Aku juga … tidak," kata Mayumi. "Tapi mungkin, ada sesuatu yang terjadi. Ha ha. Nak, percayalah aku tidak berniat begini." Dia mengeratkan selimut ke dada,
"Hn, lupakan saja soal itu. Terima kasih sudah datang menggantikan Bibi sebagai waliku," kata Renji. Dia mematikan ujung puntung rokoknya ke asbak. "Sedikit banyak kau memang membantu. Dan pesta perayaannya. Agak berlebihan, sepertinya. Tapi menurutku kau harus begitu juga kalau anak-anakmu wisuda."
"Bahkan jika nilai mereka tidak sebagus kau?" kata Mayumi.
"Ya."
"Tapi itu kurang pantas," kata Mayumi pelan. Dia kira, Renji akan menilainya agak kasar, namun pria itu hanya terkekeh sebelum menyeret kakinya ke kamar mandi. Mayumi pun berpikir, sia-sia tadi dia mencemaskan perasaan Renji. Faktanya, pria 22 tahun itu bahkan lebih santai dari apapun. Sebab meski sudah gonta-ganti teman tidur berusia muda, dia membiarkan Mayumi datang ke ranjangnya sesekali. Baginya, Mayumi pasti hanya seorang janda dengan hati butuh penghiburan. Jadi, meski usianya paling tua diantara siapapun yang pernah bercinta dengan Renji, Mayumi tetap diizinkan ada.
Pria itu hanya agak berubah sejak Mayumi ingin mendaftarkan namanya jadi anak, ahli waris utama, serta kekasih gelap yang bisa disimpan dengan cara itu. Mayumi tahu, dia memang agak kelewatan. Namun, dari lubuk hati yang terdalam, anak-anak yang bukan darahnya itu juga menyebalkan. Tak seperti Renji yang pintar menghasilkan uang untuk perusahaannya, mereka justru menjelma sebagai parasit. Suka menghamburkan uang, foya-foya dengan teman sebayanya, memunculkan kerusuhan di sekolah, dan membuatnya sering datang ke ruang guru karena ini dan itu.
Mayumi pikir, masa depan Perusahaan Mayumi Kurikawa takkan berhasil bila diwariskan pada salah satu dari mereka. Jadi, Renji memang paling tepat di matanya. Hanya saja, meski sadar suatu hari dia harus melepaskan Renji, pria itu kini sungguh menjauhkan diri. Bahkan ingin memutus apapun darinya. Mayumi jelas kurang menerima. Sebab, meski selama ini berita tentang pernikahan Renji tersebar beberapa kali, Mayumi tidak pernah kehilangan pria itu terlalu jauh.
Sebagai pecinta, ibu, dan kekasih yang tak dianggap sekali pun … Mayumi tetap berharap yang terbaik untuk Renji apapun itu. Maka kemarin, meski Renji kukuh mengepalkan tangan sebelum meninggalkannya, Mayumi tetap ingin melindungi pria itu dari bahaya.
"Ya tuhan… oh… ya tuhan…" keluh Mayumi.
Di sebelahnya, Editor Mai pun menepuk bahunya pelan. Gadis itu tetap menunggui, memanggil namanya begitu lembut, lantas mencari tisu kala mendengar tangisnya.
"Mayumi-sama, apa Anda baik-baik saja?" tanya Mai.
"Ha ha, ya…" tawa Mayumi. Dia memandang keluar jendela dengan tatapan yang nanar. "Aku baik. Hanya ingin cepat-cepat sampai."
"Oh, kalau begitu boleh kuminta sopir untuk mempercepat perjalanan?"
"Ya…"
"Baik."
Mayumi pun menutup mata daripada merasa makin lelah. Dia tersenyum, ingin menggila dengan alkohol keras, namun hanya mengingat wajah Renji dalam kepalanya.
"Aku takkan menjadi apapun yang kau harapkan…"
Dan kata-kata pria itu tetap terngiang bersama luka di dalam dadanya.
"…kau pun tak bisa mengatur aku. Maka ingat, aku hanya di sini hingga yang kucari sudah ada—"
Atau apapun yang diucapkannya setelah itu.
Ahh… Mayumi sungguh ingin melupakan segalanya. Bebas. Lalu kembali seperti biasa. Namun, apa semua akan semudah itu?
.
.
.
Tak seperti biasanya, kali ini Ginnan bangun lebih dulu kala roda mobil berhenti bergulir. Dia duduk, melihat ke sekitar sejenak, lalu mengerjap akan senyum cerah R di hadapan.
"Selamat sore, Tuan Ginnan," sapa E.
Ginnan mengangkat tangan Renji yang terkulai. Di sana, arloji menunjukkan pukul 5. Itu berarti, mereka sudah tidur seharian ini. Wajah Renji bahkan sampai berminyak penuh.
"Renji…" bisik Ginnan. Dia mengecup pucuk hidung Renji kala ingat keinginan pria itu. Coba cara lain—dan dia benar-benar bangun dengan mudah.
"Ada apa?"
"Kita sudah sampai, tahu. Ayo duduk."
"Hm."
Dua mata itu justru kembali terkatup.
"Oh, ayolah. Mustahil masih ngantuk, kan?"
Ginnan tidak yakin kenapa, tapi Renji benar-benar malas waktu itu. Begitu berhasil mendudukkan, dia bahkan merapikan penampilan Renji terlebih dahulu sebelum mengajak turun. "Tolong tunggu kami, ya," katanya kepada para bodyguard. "Aku antar dulu dia cuci muka."
R dan E mengangguk pelan. "Baik."
Ginnan pun mengenakan masker untuk mereka berdua sebelum masuk Tokyo Hall lewat belakang. Dia memeluk lengan kiri Renji seakan takut sang kekasih ambruk. Sesekali dia lirik kanan kiri untuk memastikan kedatangan mereka masih rahasia, lantas mendudukkan sang kekasih di tutup toilet.
"Kau kenapa, Ren? Mabuk kendaraan?" Ginnan segera mengusap wajah Renji dengan tisu basah kala melihatnya membuka mata. Sangat tampan, sungguh. Dia jadi berpikir, mengapa hatinya hanya bisa lemah kalau pria ini menunjukkan ketidakberdayaannya.
"Aku baik. Beri aku waktu beberapa menit."
"Apa?"
Renji memeluk pinggangnya dan bersandar di sana. "Kebanyakan tidur membuatku lama bangkit, ha ha," katanya. "Kau pikir aku tidak bisa begitu?"
"Oh… ya ampun. Kupikir tadi kenapa," Ginnan pun mengusap rambut Renji lembut. Dia lega, namun juga berharap, andai Renji mau sering-sering begini, itu akan sangat bagus. Maksud Ginnan, tanpa harus sakit atau kesusahan bangun tidur.