Tangan Ginnan jadi beku seketika. "T-Tapi... Tunggu-tunggu—Ren? Kenapa sangat mendadak sekali?" dia pucat, dia syok, namun Renji terlihat sungguh menyesal sekarang.
"Hm, tadinya ingin kuberitahu kau besok pagi," kata Renji. "Karena aku memang pulang larut dan tidak seharusnya membahas ini."
"A-Aku..."
Ginnan mulai gemetar hebat sekarang.
"Siap atau tidak siap. Memang ini momen yang terbaik," kata Renji. "Aku sudah mendiskusikannya dengan wanita itu. Jadi kita harus menghadapinya, oke?"
"Dan kau tidak mendiskusikannya denganku, Ren," kata Ginnan. Menatap Renji, dia langsung berkaca-kaca lagi dalam sekejap. "Ya, aku tahu, aku jarang menolakmu. Tapi itu bukan berarti kau bisa seperti ini..."
"Baik, aku minta maaf. Aku sangat minta maaf," pinta Renji. Dia menggenggam kedua telapak Ginnan, meremasnya, lalu mengecup keduanya seperti tengah menyembah dewa. "Ini jadi yang terakhir. Pasti. Bisa lakukan untukku? Aku sungguh butuh bantuanmu sekarang."
Ha ha.
Ha ha ha...
Tidak masuk akal, memang.
Saat Ginnan sungguh melihat Renji memohon seperti yang dia mau, hati nuraninya malah berkobar saat ini. Luka di dalamnya diam-diam makin robek. Makin parah. Dadanya bahkan sesak hingga dia kesulitan nafas sekarang.
"Hh... Hhh... Hkss... Hhh..."
Ada apa, Ginnan?
Ginnan bertanya pada dirinya sendiri. Namun meski berkali-kali dia memikirkannya, tetap tidak mendapat jawaban. Sebaliknya, air matanya makin berjatuhan. Leleh. Panas. Ginnan bahkan tak bisa memaafkan Renji meski ingin sekali mengangguk mau.
Dia sakit, sungguh. Perih sekali di dalam sana. Dia tidak tahu sejak kapan hubungan mereka seperti ini, yang pasti Ginnan yakin Renji telah berubah dari terakhir yang dia tahu.
Renji seperti kembali ke sosok sebelum Ginnan mengenalnya. Dia penuh rahasia, membingungkan, dan menyimpan segala hal yang ingin dibongkarnya menggunakan amarah. Dia tahu, pria ini tidak keliru sefatal itu. Dia sangat-sangat paham. Namun, sisi Renji yang seperti ini...
"Janji ini yang terakhir?" tanya Ginnan. Sedikit banyak, dia berterima kasih pada cincin di jari mereka yang masih berkilau bersama. Bila keduanya tak terlihat, Ginnan tidak tahu lagi akan menjawab Renji bagaimana malam ini.
"Hm, yang terakhir," kata Renji. Pria itu bahkan tak melepaskan punggung tangan Ginnan dari keningnya. "Setelah besok dilalui dengan baik. Keadaannya pasti mulai berubah."
"...ugh..." keluh Ginnan dengan nafas yang terputus-putus. "Baiklah. Tidak apa-apa. Tapi setelah itu cerita padaku semuanya, oke?"
"Ya, kita bahkan bisa menjemput Haru."
DEG
"B-Benar?" kaget Ginnan. Bola matanya sampai membulat penuh.
"Benar—"
BRUGH!
"Akh—Ren?"
Renji malah mempererat pelukannya. Pria itu meremas punggungnya, pinggangnya, pantatnya, semuanya. Dia mungkin bisa membuat Ginnan remuk di antara lengan-lengannya bila terus begitu.
"Aku benar-benar membutuhkanmu. Sangat."
Hal seperti inilah yang membuat Ginnan begitu lelah. Dia benci menjadi luluh, namun Renji yang ini terasa nyata. Maka meski ragu, dia tetap balas mengelus punggung sang kekasih dan mengesun pipinya sayang.
"Oke, hm... Kita kan sudah sepakat," kata Ginnan. "Aku minta maaf sudah menekanmu. Atau apapun. Salahku banyak kali ini. Ha ha..."
Malam itu, Renji tampak lega karena berhasil mengendalikan situasi seperti yang dia mau. Tidurnya begitu nyenyak seperti pangeran. Ginnan bahkan jadi korban suasana hatinya. Pria itu mendekapnya bagai guling, merengkuhnya, dan tak melepaskannya sedetik pun.
"Ren?"
Pagi itu, alarm bangun saja diabaikan. Hanya saja, alasannya bukan untuk tidur lagi. Bukan pula seks morning. Melainkan Ginnan harus menahan diri karena Renji sudah memeloroti celananya kala dua matanya terbuka.
"Ahh... nnggh..." desah Ginnan. Dia meremas selimut begitu erat. Pasalnya, sang kekasih kini sibuk memijat pinggul dan pantatnya hampir sejam lebih. Ginnan nyaris mati megap bila Renji tak menyudahinya setelah nyaman. "N-Nh... Sudah... Sudah... Hiks..."
"Oke cukup."
Ginnan berkedip kala Renji mengecup bibirnya.
"K-Kau... Kau sengaja kan?" kata Ginnan dengan pipi yang terbakar. "Aku sudah cukup tahu. Otak mesummu itu memang sudah tak tertolong, Ren!"
Renji hanya terkekeh dan puas melihatnya bisa jalan. Pria itu benar-benar menyebalkan. Memang ulah siapa dirinya jadi seperti ini? Ginnan jadi emosi di pagi hari.
"Aku tidak akan menunggumu! Titik!" kata Ginnan lalu melipir ke kamar mandi. Dia menguncinya dari dalam, bahkan begitu keluar tidak mau berpakaian. Terlalu kesal membuatnya pergi ke ruang makan meski hanya dengan bathrobe mandi. Dia pikir, pelayan akan langsung gugup memberinya sarapan pagi. Tapi tidak. Hanya seorang gadis saja yang menyajikan Ginnan susu putih hangat.
"Tuan Ginnan sedang bertengkar dengan beliau?" tanya pelayan sambil tersenyum.
"Apaan? Tidak," kata Ginnan. Dia menyesap pinggiran gelas itu dengan gigit-gigit gemas. "Tolol sekali aku mengurusi pria mesum macam dia. Hmph."
"Kalau begitu, baguslah. Anda bisa menunggu dengan santai," kata si pelayan. Dia tetap menemani Ginnan sementara yang lain tak jadi keluar dari lorong-lorong.
Kening Ginnan pun mengerut karena menyadarinya. "Apa maksudmu barusan?"
"Hm, apa Anda tak diberitahu? Tuan Renji bilang aturannya kalian sarapan bersama setiap hari. Jadi kami akan menunggu beliau kalau Anda—"
"Sumpah?" sela Ginnan tak habis pikir. Dia langsung tak selera menikmati susu segar itu lagi.
"Iya, Tuan?" jelas si pelayan. "Tapi beliau membebaskan makan siang atau makan malam. Karena bisa jadi pada waktu itu Tuan Renji masih kerja di luar. Hanya saja, untuk sarapan—"
"My God. Dia benar-benar menjajahku," bisik Ginnan jengkel. Dia pun kembali ke kamar dengan langkah yang menghentak. Dari kepalan tangannya, lelaki itu pasti ingin menghajar Renji. Hanya saja, di belakang para pelayan justru terkikik karena merasa hal tersebut sangat menghibur.
"Renji! Renji!" bentak Ginnan. Sang kekasih bahkan baru mengancingkan kemejanya waktu dia masuk. Beda dengannya, pria tersebut sudah wangi parfum. Kini rapi. Tinggal menerima pengadilan darinya saja.
"Hm? Sudah mau berpakaian?"
"Shit! Aku benci aturanmu!"
Renji justru berbalik ke lemari dan mencarikan baju untuknya. "Soal apa? Sarapan?"
"Iya! Pokoknya aku sangat benci! Suruh pelayanmu merubahnya. Bagaimana kalau aku lapar sebelum kau?"
"Berarti kau harus menungguku," kata Renji sembari mengepaskan sebuah baju hangat berbulu. Benda itu mewah, sangat mahal, branded, dan dulu diberikan oleh Deby untuk Ginnan waktu berada di toko parfum.
"Maksudku memang itu! Aku tidak mau menunggumu, paham? Bagaimana kalau aku sakit perut saat—"
"Bisa angkat lenganmu sedikit?"
"Apa?"
Renji melepaskan bathrobe sang kekasih begitu saja. Dia tampak puas karena baju tersebut pantas dipaskan, sementara Ginnan merona ditelanjangi seperti itu.
"Bawa sebentar? Kucarikan yang hangat untuk lapisan dalamnya."
Ginnan membawanya meski tetap masih protes. "Kau tidak mendengarkan aku?"
"Dengar, dengar," Renji tetap sabar memakaikan celana dalam sang kekasih sambil meladeni amarahnya. "Tapi kau bilang benci aku tertarik pada yang lain di luar."
"Iya, memang apa hubungannya?" tanya Ginnan dengan ubun yang mengebul.