Chereads / MIMPI: Takdir Yang Hadir / Chapter 40 - BAB 2 Bagian 4

Chapter 40 - BAB 2 Bagian 4

Mereka bahkan berani mengangkat topik pernikahannya dengan Renji saat menyesap teh bersama. Meski tampak canggung, tentu saja. Namun mereka begitu berusaha untuk mencairkan suasana.

"Hm, iya. Agak kaget. Tapi kami senang waktu akan dipekerjakan Tuan Renji," kata salah seorang penjaga. "Apalagi waktu melihat Anda dibawa pulang. Kami rasa, seperti ada semangat baru untuk bertugas lebih serius. Soalnya rumah ini tidak akan kosong lagi. Seperti saya misalnya. Membuka dan menutup gerbang saja jadi tepat waktu. Biasanya telat dua atau lima menit. He he..."

"Begitu," gumam Ginnan. Dia bisa terkekeh meski menyimpan rasa tidak nyaman. "Kupikir aku hanya beban di sini."

"APA?" Penjaga ini langsung berdehem. "Ralat, Tuan. Maksud saya... Tidak kok. Tidak samasekali. Anda justru semangat kami. Tanpa Anda, kami merasa pekerjaan ini agak sia-sia."

"B-Benarkah?"

"Iya. Tuan. Hmm... seperti 'Apa serunya berpenampilan rapi untuk mengitari rumah kosong tiap hari?' Dan parahnya kami melakukannya hampir dua minggu hingga Anda datang."

Kali ini Ginnan menyembunyikan rona merahnya di balik cangkir. "Tapi aku minta maaf kalau bersikap keterlaluan di depan kalian," katanya pelan. "Umn—bukan aku saja. Mungkin Renji? Seperti tadi contohnya. Dia menggendongku berkeliling rumah. K-Kalian tahu? Dia susah sekali ditolak kalau menginginkan sesuatu."

Di luar dugaan, mereka pun memerah saat menyimak baik-baik perkataan Ginnnan. "..."

"Apapun—ugh... Terutama saat memanjakanku," Ginnan sampai menunduk dalam kali ini. Dia tak kuasa tapi harus memperjelas hal tersebut sebelum ada kekacauan atau semacamnya di masa depan. "Dia seperti ... apa ya? Bisa dikatakan terobsesi padaku? T-Tapi semoga itu semakin berkurang—maksudku, hubungan kami baru sebulan lebih. Ha ha. Bisa kalian maklum sementara waktu? Lama-lama dia pasti seperti pria berpasangan pada umumnya. A-Aku janji..."

Bukannya kesulitan menanggapi, mereka justru ikut malu melihat reaksi Ginnan sepanjang meminta pengertian. Lelaki cantik itu meremas bulu-bulu jaketnya tanpa sadar. Jemarinya yang putih nan lembut lebih menarik daripada butiran salju. Sementara cincin berkilau di sana juga amat memesona.

Sebagai lelaki, mereka rasa bisa paham kenapa Renji tergila-gila kepada Ginnan. Jadi, meski ingin berkata kasar untuk memuji, mereka tetap mengendalikan sikap agar tetap sopan kepada majikan.

"Tidak apa-apa, Tuan Ginnan," kata penjaga yang paling tenang. Dia tertawa kecil, mewakili rekan-rekannya, dan bicara sesantai mungkin. "Tentu saja kami maklum. Kami bukan anak kecil yang tidak pernah suka seseorang. Di luar tugas, kami juga punya orang-orang yang disayangi. Benar kan, teman-teman?"

"Ahaha... iya."

"Benar. Anda tenang saja. He he."

"Lagipula Anda kan memang satu-satunya 'keluarga' beliau," kata penjaga tadi lagi. "Soalnya kami dengar, bibi Tuan Renji yang bernama Deby pun sudah pindah ke New Delhi, sementara orangtua beliau masih menetap di Belanda. Selain mereka, tidak ada catatan hubungan darah lain karena beliau memang anak tunggal."

Ginnan pun mengangguk kecil. "Iya." Walau takjub dengan level kualitas pekerja di rumah ini, dia tetap tak tahu sedetail apa yang mereka pelajari sebelum setuju bertugas untuk dirinya dan Renji. "Kalau begitu terima kasih."

"Sama-sama."

Mendadak petugas lain menyahut. "Umn, kalau boleh tahu ... kami boleh ikut membantu pernikahan Anda berdua kan?" tanyanya. "Ehem—maksudku, kali saja Tuan Renji sudah menyewa wedding organizer untuk tugas dalam gedung. Tapi jujur, aku ingin ikut berpartisipasi."

"A-Aku juga..."

"Kurasa... Ehem... Para pelayan pasti merasakan hal yang sama. He he..." timpal penjaga lainnya.

Ginnan pun terperangah. Dia tak menyangka, di luar haters yang menyeruak karena hubungannya dan Renji, orang-orang ini masih sangat antusias. Mereka tidak peduli dengan latar belakangnya, ya? Tidak menganggap dia murahan? Atau lemah? Atau memalukan karena sering dimanjakan Renji?

"Ah... Soal itu..." desah Ginnan. Sudut bibirnya berkedut karena menahan diri agar tidak kelihatan jelas kesenangan. "Mungkin nanti bisa kubicarakan dengan Renji? Dia sendiri belum mengatakan apa-apa soal pernikahan kami."

"Benarkah, Tuan?"

Ginnan langsung mengiyakan. "Begitulah," katanya. "Kalian tahu kan? Dia sulit diajak bicara bila masih merencanakan sesuatu. Atau setidaknya... Belum siap menunjukkan segalanya padaku," tanpa sadar, dia pun tertunduk lagi karena perkataannya sendiri. "Karena itu, aku masih berusaha percaya dan menunggunya sekarang."

"Anda baik-baik saja, Tuan?" tanya seorang penjaga yang paling peka. "Ada sesuatu, ya? Apa kamu menyinggung perasaan Anda?"

"Eh? Tidak kok. He he..." cengir Ginnan. Dia segera mengusap pipinya, meski tak ada air mata yang turun. Dia bahkan tertawa karena terlalu khawatir kecemasannya makin jelas. "Aku baik. Hanya saja..."

Mendadak ada suara guliran roda yang terdengar di balik gerbang. Meski perlahan, dua penjaga yang bertugas pun segera lari ke sana. Mereka menyambut Renji, membuat jalan untuk sang majikan, dan tersenyum lebar waktu pria itu turun dari kendaraan berkilaunya.

"Selamat datang, Tuan," sambut para penjaga. Sekadarnya, mereka memelankan suara karena memang sudah larut malam. Namun, tak ada satu pun yang lupa berdiri waktu Renji menghampiri sang kekasih.

"Kau sedang apa di sini?" tanya Renji sembari meyerahkan kunci mobilnya ke seorang penjaga. Dia biarkan lelaki itu bertugas memarkir ke garasi, sementara dia sendiri menunduk untuk mengecup bibir lembut Ginnan.

"Kau sendiri kenapa lama?" tanya Ginnan. Dia tampak kesal, tapi Renji mana pernah lama-lama membiarkannya seperti itu. Bibir Ginnan pun dicium lagi, dilumat, kemudian dikecup di keningnya.

"Tadi diskusinya agak tidak lancar," kata Renji. "Jadi kurang sesuai perkiraan. Apa aku dimaafkan?"

"Tidak."

"Kau dingin..."

Meskipun begitu, Renji tetap tidak permisi saat membuka jaket Ginnan. Dia ambil dua lengan sang kekasih, dia gendong, dan biarkan Ginnan merengut di dadanya.

"Setidaknya aktifkan ponselmu," keluh Ginnan pelan. Dia meremas kemeja Renji dengan suara memberat karena emosi.

"Iya, iya. Sekarang kita masuk dulu."

"Setidaknya aku dikabari, Brengsek."

"Hm, lain kali akan kulakukan. Maaf tadi situasinya kurang terkendali—"

"Kau alasan. Aku benar-benar membencimu."

"Hm..."

"BAJINGAN! Sialan! FUCK—stop... jangan cium lagi!"

Ginnan terus memaki sepanjang jalan. Lelaki itu memang dibawa masuk. Tempat duduknya bahkan masih hangat, namun para penjaga benar-benar terperanjat melihat pola hubungan para majikannya seperti ini.

Mereka pikir—seorang Renji tidak akan pernah dibentaki oleh siapapun—

Ah, benar juga.

Hanya Ginnan yang memang paling pantas melakukannya. Mereka pun salah tingkah dengan cara masing-masing. Ada yang mengusap hidup, pipi, tengkuk ... Ada juga yang pura-pura tidak lihat dan langsung melipir pergi.

"Ahhh... Waktunya istirahat kan? Aku pergi dulu, ha."

"Ya."

"Hm."

"Okay lah."

Saat itu cuaca makin memburuk saja. Salju menebal, makin hening, dan tak ada tanda-tanda keramahan mentari untuk esok hari.

.

.

.

"Aku tidak mau membahas apapun, persetan," kata Ginnan. Dia langsung memunggungi begitu direbahkan ke ranjang untuk kedua kalinya malam ini. Dia menarik selimut. Menutupi seluruh badan, sepenuhnya mengabaikan Renji. Meskipun begitu, Renji tidak komentar apapun. Dia biarkan selimut tebal itu kembang kempis karena nafas sang kekasih, lalu beranjak untuk mematikan lampu utama kamar.