Meskipun begitu, sebagai seseorang yang sangat tahu tempramen Renji sejak kecil, Veer masih mencoba.
"Jadi, mau begitu saja seterusnya?" desak Veer. "Ini parah, Ren. Kau bahkan tidak bilang kalau dua mobilmu dirusak hater pada dia. Aku yang melihat foto kiriman Furi saja syok. Bagaimana bisa mereka masuk ke bagasimu dan memukuli semuanya? Berani taruhan. Kau pasti sudah menyingkirkan dua-duanya sekarang."
Renji justru terkekeh pelan. "Bukankah kau juga lihat mobil yang baru kubeli?" katanya. "Takano cukup bisa diandalkan saat mengatur kepulangan kami ke Tokyo."
"Iya, astaga—tapi bukan itu poinnya!" cerca Veer mendadak sebal. "Tolonglah, Ren. Jangan pura-pura tidak paham aku. Lagipula, kau pikir bagus dengan menyembunyikan hal-hal ini? Cepat atau lambat Ginnan pasti curiga padamu."
Menanggapi omelan-omelan Veer, Renji diam.
"Ren?"
Dan hanya ada gelombang sambung.
"Halo, Ren? Apa kau masih di sana?"
"Hm, aku mendengarmu dengan jelas," kata Renji tiba-tiba. "Terima kasih, Veer. Tapi aku akan menyelesaikannya dengan caraku."
Veer pun menenangkan dirinya sendiri, mengehela nafas, dan mengangguk kecil. "Baiklah, aku paham," katanya. "Situasimu memang tidak bagus. Ditambah lagi Ginnan itu emosian—ehem—maksudku, mood booster-nya sangat buruk kalau ada masalah mendekat. Mungkin begini memang lebih baik."
"Hm."
Suara Veer dipenuhi kekecewaan kali ini. "Kau tahu? Saat aku pergi ke New Delhi, kupikir kita bisa membicarakan bisnis masa depan diam-diam. Tapi, ya tuhan… Aku kaget sekali waktu tahu semuanya."
Renji hanya mendengus tersenyum. "Maaf tidak bisa menjadi mitra kerjamu, Veer," katanya. "Setidaknya dalam waktu dekat ini."
"Tak masalah," kata Veer. "Lagipula kalian akan menikah. Pasti biayanya besar dan persiapannya tidak sedikit."
"Semua sudah selesai kurancang," kata Renji. "Kau tak perlu cemaskan apapun. Daripada itu, kupikir kau takkan memenuhi undanganku."
"Jangan bercanda, Ren," kata Veer. "Walau—yeah… Tentu saja aku sempat marah. Tapi untuk apa sekarang keras kepala? Kau saudaraku yang sangat berharga. Aku jamin takkan telat datang ke acaramu."
"Terima kasih banyak."
Mendadak suara Veer terdengar goyang. "Oh iya, aku tahu kau benci bantuan. Tapi, sumpah, kalau ada apa-apa … Bilang saja padaku. Masalahmu, finansialmu, segalanya. Aku pasti membuka tangan untukmu. Mengerti? Aku benar-benar cemas kondisimu setelah kalian menikah."
"Siapa bilang aku kekurangan?"
DEG
Veer pun menggigit bibirnya. "Ha ha, iya. Aku mengerti maksudmu," katanya "Siapa bilang Renji Isamu jatuh miskin? Toh pria miskin mana yang baru mengantongi kunci Lamborghini Aventador…" katanya sangat-sangat kesal.
"Terima kasih sekali lagi, Veer," kata Renji. "Untuk sekarang aku sudah merasa cukup."
"Iya."
"Kau pun harus memberitahu jika kalian akan menikah."
DEG
Veer pun langsung tertawa gugup. "Sure, Ren. Aku takkan melewatkanmu," katanya, lalu menyusut ingus di seberang sana. "Ngomong-ngomong, aku sudah mengirim bantuan untuk Yuriko. Ada dua atau tiga orang. Entahlah, tinggal tunggu waktu tiba saja."
"Hm."
Mungkin, jika Renji sangat dekat, Veer akan memeluk sepupunya waktu itu. "Sampaikan salamku juga untuk Ginnan," katanya. "Bilang, jika dia tak bisa menjagamu, aku pasti datang menghajar dia sendiri nantinya. Ugf…"
"Tentu," kata Renji. "Dan aku akan menghajarmu balik kalau sampai terjadi," lanjutnya dengan nada bercanda. Mendengarnya, Veer pun tak bisa menahan tawa. Nostalgia, serius. Sebenarnya kapan terakhir mereka berdua begini?
"Ha ha… Boleh," kata Veer. "Baiklah, jaga saja kesehatanmu, oke? Fei Long sudah memanggilku."
"Hm."
"Dah."
Tuuuts…
Layar ponsel Renji langsung berkedip begitu telepon barusan berakhir. Sadar-sadar, senja kini telah berganti malam. Langit gelap, mentari sirna. Dan Renji hanya diam memandangi lampu-lampu jalan raya di bawah sana.
Pada ketinggian ini, penthouse memang unit apartemen yang paling sunyi diantara apapun. Kau takkan bisa melihat semut yang berbaris dengan saudaranya. Kau juga jarang melihat burung terbang kesana kemari. Hanya tenang. Di tempat itu, selama hampir 12 tahun Renji telah menetap hingga kini. Dia cukup terbiasa dengan suasana heningnya—atau jeritan nikmat partner-partner seks-nya yang berbeda.
Hanya saja, kini ada Ginnan. Lelaki itu sepertinya sulit tidur tenang malam ini. Sejak pulang sore tadi, dia tak melepaskan tangan Renji dari dekapannya. Bibir merahnya masih hangat. Renji bisa merasakan kehidupan dari sana tiap kali nafas Ginnan menghembus jarinya. Bahkan seperti sengaja, barusan dia menarik tangan itu makin dekat saja.
"Hmph," dengus Renji tanpa sadar. Senyumnya hadir, jiwanya hadir. Dia merengkuh lelaki itu pelan-pelan setelahnya.
.
.
.
6 Hari Lalu…
Teheran, Iran.
"Kalian sudah gila…" desah Rose. Wanita itu terbaring lemah di sebuah ranjang kecil. Dia memandang keluar jendela kamar dengan mata letihnya. Jika lebih dekat, mungkin kau bisa melihat amarah kental dari sana. Namun, semuanya tetap sia-sia. Rose tak mampu melakukan apapun setelah telepon itu terputus. Beberapa saat lalu Aleysha sengaja me-loud speaker percakapannya dengan Renji Isamu. Wanita itu menggunakan namanya, berbicara seenak hatinya, dan kini Rose yakin pria itu segera terlibat dalam masalah mereka.
"Rose, tidakkah kau merubah cara berpikirmu?" timpal Richard. Pria itu duduk di sebelahnya. "Situasi kita sedang terdesak sekarang. Haru bisa mengancam kita dengan hukum yang berat. Sementara jika situasi ini bisa dikendalikan, kenapa tidak? Toh si Renji itu tidak keberatan memberikan segalanya."
"Aku tidak ingat mengizinkannya," kata Rose dengan tangan terkepal. Suaranya serak, dan dia menatap pria itu dalam-dalam. "Apa kau setakut itu sampai-sampai memperlakukan Haru seperti hewan?"
"Rose…"
"RICHARD!"
Jika mereka berdua sudah berselisih, Aleysha adalah satu-satunya yang paling lelah. Wanita itu hanya mendesah kesal. Dia diam, mengantungi ponsel Rose ke dalam saku, lalu meninggalkan kamar tersebut.
"Bukankah ini demi kebaikanmu juga?" kata Richard. Pria itu menggertakkan gigi-gigi. "Kami ingin kau sembuh total. Tapi biaya rehabilitasi itu tak sedikit. Bisa bersabar sebentar? Toh suamimu tak lagi menentang kita."
Rose membuang muka mendengarnya. "Richard, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi."
Richard pun menghela nafas panjang. Dia pergi. Membiarkan Rose membayangkan gambaran Haru yang kini berada di kamar lain. Setelah Renji menjamin semuanya, Pria itu memang tak lagi disakiti. Dia dirawat baik. Dibiarkan bersama Sheila dan Sherly, namun leher, tangan, dan kakinya nya dirantai agar tidak mampu pergi.
Awal-awal rencana itu berjalan, Rose sungguh tak tahu apapun. Kesehatannya memburuk lagi, dia ambruk, dan naik rawat inap di rumah sakit setempat. Inginnya, dia tak menyalahkan Aleysha, Richard, atau siapa pun itu. Hanya saja, setelah Rose siuman, Aleysha sudah melakukan semua ide gilanya. Dia menghubungi Renji. Dia menawarkan kesepakatan sebagai Rose, lalu sekarang konfliknya terlanjur jauh.
"Aku memang meminta jaminan aset," kata Aleysha waktu itu.
"Aset apa maksudmu?" bingung Rose. Wajahnya pucat, dan dia masih berbaring di ranjang rumah sakit dengan tubuh penuh selang. Di sisi kiri, Richard duduk dengan wajah bekerut marah. Tangannya penuh luka gores. Namun Rose masih belum sadar semua itu berkat memukuli Haru yang hampir membobol kurungannya lagi.