DEG
"Serius?"
Cengiran Ginnan langsung terlihat.
"Hm."
"Tunggu—kau ingat oleh-oleh yang kuborong di Volendam kan? Semuanya mau kubagikan langsung, Ren," kata Ginnan. "Aku benar-benar ingin berkumpul dengan mereka lagi meski sebentar. Ha ha… semoga kau tidak kesal dengan anak-anak."
Renji mendadak beranjak dari pangkuan Ginnan.
"EH?!"
Secara cepat nan mengejutkan, Ginnan pun berpegangan ketika tubuhnya digendong ke udara. Dia memeluk leher Renji, bingung—takut merosot mendadak karena kaki-kakinya menggantung, namun Renji sudah membantingnya ke ranjang sebelum itu terjadi. Pria itu melumat lembut bibirnya. Antusias. Dia tidak puas hanya dengan beberapa kali, namun Ginnan tidak lagi bingung akan situasi ini. Terbiasa dicium tanpa jeda membuat dia mahir mencuri nafas di udara. Lidah mereka bergulat liar. Bibir mereka saling melahap cepat, saliva bertukar, dan Ginnan memberikan senyuman terbaik kala Renji menilik tatapan kedua matanya.
"Apa?" tanya Ginnan bingung. Pasalnya, meski dia sering dipandangi intens, namun kali ini Renji seperti berharap sesuatu yang khusus padanya. "Hm?"
"Mungkin kita butuh lima hari," kata Renji.
"Untuk?"
"Mengunjungi Hokkaido juga," kata Renji. "Pembangunan rumah kita sudah selesai di sana. Jadi—"
Mungkin karena Ginnan terlampau takjub, Renji pun tak menyelesaikan perkataannya. Pria itu berkedip kala Ginnan mengecupnya. Dia menerima tiap sapuan bibir lembut itu, kemudian pelukkannya yang penuh rasa syukur. Air mata Ginnan menetes-netes saat itu. Sejujurnya dia tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Dia pikir, masa depan tidak pantas lagi dia miliki. Apalagi tempat pulang. Saat seorang Renji Isamu menawarkan hal itu, dia bahkan masih berpikir segalanya hanya iming-iming untuk menariknya. Tapi jika sudah seperti ini …
Sial… ini mendadak sekali!
Ginnan pun tertawa sambil menyeka matanya. "Oh ya?" katanya. "Baiklah. Kalau begitu kita butuh tidur cepat. Bagaimana?"
"Hn."
Sangking senangnya, Ginnan pun mendekap Renji hingga terjembab padanya malam itu. Pagi, Furi dan Takano begitu disiplin seperti biasa. Namun sarapan roti isi yang mereka siapkan bisa begitu enak di lidahnya. Ginnan sampai habis tiga lapis sebelum mereka berangkat pergi. Entah kenapa, Madam Shin juga ikut-ikutan membumbui suasana. Wanita itu berlakon seperti Bundadari yang akan ditinggal puteranya pergi. Dia menyambut Ginnan dengan pelukan. Menariknya ke dalam rusun begitu cepat, dan meminta privasi dari para lacur didikannya.
Antara bingung, takjub, dan ngeri … teman-teman seangkatan Ginnan di Rusun 45 memberikan Renji jalan lewat. Mereka memilih menyingkir, takut tapi penasaran—bagaimana bisa pria itu akan menikahi Ginnan?
Berita yang sudah tidak asing.
Ginnan sendiri gugup sampai tanpa sadar tangannya begitu basah. Keringat mengucur deras dari sana sampai Renji menoleh padanya heran. Pria itu membuatnya keki. Membalasnya, Ginnan pun tersenyum kaku.
"Aku senang kau bisa datang kemari, Nan-kun," kata Madam Shin. Wanita itu memandu mereka masuk ke ruangan khusus miliknya. Percayalah, Ginnan saja sudah asing dengan tempat itu. Pertama kali dia ke sana adalah saat datang sebagai pemuda ingusan. Sekarang, dia akan pergi dengan seorang pria yang kini menggenggam tangannya. "Apa makan dan tidurmu baik? Aku cemas sekali saat kalian mendadak pergi."
"Baik, Madam," kata Ginnan. "Terima kasih sudah mengurungku bersamanya waktu itu. Ha ha…" tawanya. Sedikit gemas, Madam Shin memerah melihat ekspresi Ginnan. Dia pun melirik Renji sebelum mengeluarkan kontrak resmi pengalihan Ginnan dari loker meja.
"Syukurlah, senang aku mendengarnya," kata Madam Shin. "Yeah, walaupun ini sungguh mengejutkan. Nan-kun, percayalah kau adalah senior yang baik di tempatku. Begitu kau tandatangan hari ini, pasti hanya Hiro dan Yuka yang masih mau dengar curhatku."
"Madam, kau ini sangat berlebihan," Ginnan pun menerima kontrak kumal dari tangan berkutek Madam Shin. Dia membaca sekilas tulisan-tulisan di sana, nostalgia dengan coretan pulpen jeleknya 7 tahun lalu, lalu tersentak kala Renji mengulurkan pena hitam dari saku untuknya. "Hmn, terima kasih."
Mereka bertukar pandangan sebelum Ginnan sungguh-sungguh menerima perjanjian baru itu.
Oh, shit—Ginnan kaget dirinya bisa berdebar hebat melihat Madam Shin men-stempel kontraknya di atas materai. Apalagi saat Renji menerima kertas kumal yang ditaruh dalam amplop resmi itu. Ini sinting! Ya tuhan! Tapi, Ginnan sadar di tak bisa mundur lagi dari titik ini.
"Boleh aku bertemu dengan Hiro dan Yuka?" tanya Ginnan setelah mereka pamit dari Rusun 45.
Di mobil, Renji memperbaiki syal super tebal yang membebat leher hingga separuh wajahnya. "Hm," gumamnya. "Kemana?"
"Di gedung rusun milik kami," kata Ginnan. "Maksudku, yang ini kan tempat para junior. Tidak masalah lokasinya cukup jauh?"
"Kau punya barang yang masih tertinggal?"
"Eh? Tidak?" Ginnan pun berpikir ulang. "Hmm, mungkin iya. Tapi hanya beberapa."
"Semuanya bisa diangkut sekaligus di mobil?"
Ginnan pun tertawa mendengarnya. "Astaga—ha ha.. Kau pikir aku mau ambil barang apa?" tanyanya. "Tinggal pasukan celengan imutku dan cincin dari lemari kok. Pasti bisa dibawa semua."
Alis Renji naik sebelah. "Cincin?"
Ginnan refleks berdehem pelan. "Cincin—ehem… anu… dulu aku kan hampir melamar Yuki-chan," katanya, merona dan langsung menghadap ke depan. "Mungkin karena kusimpan dengan kunci khusus, jadi Madam Shin tidak tahu waktu beres-beres barangku."
"Oh."
Begitu mobil melaju, Ginnan melirik takut-takut ke wajah Renji. "Kau cemburu? Ha ha… jangan bilang kau sungguhan antipati pada mantanku."
"Berapa kilo jarak dari sini?" tanya Renji mendadak. Pria itu menarik tuas mobilnya, lalu menyebrangi lampu lalu lintas yang hijau. Ginnan pun berkedip-kedip dengan seringai usil.
"Oh my god, Ren. Bisa kau berhenti memikirkannya? Lagipula satu orang itu jumlah yang sedikit," kata Ginnan. "Maksudku, kalau dibandingkan dengan partnermu selama ini."
"Aku belum dapat jawabannya."
Ginnan pun terkikik kecil. "Baik, baik. Ada 5 kilo dari sini. Oh! Yang di depan itu belok kanan!"
Renji pun bermanuver ke arah yang Ginnan tunjuk. Pria itu menyalakan musik klasik, tampak rileks, namun Ginnan yakin tebakannya tidak salah soal perilaku Renji soal Yuki. Dia pun membuang muka ke jendela bersalju, berdehem, lalu bercelutuk pelan. "Tahu tidak, cincin yang kubeli waktu itu tidak mahal, Ren," katanya. "Sudah jelek, yang punya ragu-ragu memberi, dan payahnya lagi tidak pernah sampai ke orangnya. Tapi aku bersyukur kok, mungkin Yuki-chan malah menertawaiku kalau benda itu kugunakan untuk mengajaknya menikah."
"Aku tidak peduli cincin itu mau kau apakan."
"Hmp, oh ya?" tanya Ginnan dengan seringaian usil. "Bagaimana bila kupakai saja? Kasihan kan, hanya dibeli dan disimpan bertahun-tahun."
"…terserah," kata Renji. Namun raut pria itu benar-benar keras di mata Ginnan. "Asal jangan pakai di depanku saja."
"Ha ha ha…" Ginnan pun tertawa lepas. Dia kelihatan sungguh puas. Meski jengkel, diam-diam Renji menikmati raut wajah lelaki itu.