Chereads / MIMPI: Takdir Yang Hadir / Chapter 21 - BAB 1 Bagian 15

Chapter 21 - BAB 1 Bagian 15

"Tidak."

"Lalu?"

"Kau … mn, aku yakin pasti melakukannya meski Kuze tidak meminta hal ini," kata Ginnan. Lalu menatap lantai. "Tapi sejujurnya aku sungguh khawatir. Ren, apa menurutmu Haru baik-baik saja?"

"…"

"Maksudku, dia mendadak hilang dengan keluarganya," kata Ginnan. "Aku juga sempat menghubunginya berkali-kali, tapi aneh. Sungguh. Tidak ada satu pun yang berhasil tersambung. Pesan juga tertahan. Aku tidak mau membayangkan yang tidak-tidak meski selalu berpikir ke arah sana."

"Apapun itu…" kata Renji, lalu menepuk pucuk kepala Ginnan dari belakang. "Dia tidak selemah yang kau bayangkan."

DEG

"Eh?"

Mereka saling bertukar pandangan.

"Tenang saja. Aku sangat tahu dia seperti apa."

"Maksudmu? Sebermasalah apapun dia akan bertahan?"

"Dia sekarang bukan Haru yang dulu," kata Renji. "Karena yang kutahu, dia sudah menjadi sosok ayah yang sesungguhnya akhir-akhir ini."

Bukan jarak dekat yang membuat Ginnan merona tipis, Namun kata-kata Renji. Ginnan pun mengangguk pelan. "Baiklah kalau begitu."

"Kau harus lebih memikirkan dirimu sendiri."

"Uh, yeah…" Ginnan mendadak ingin menggoda Renji. "Tapi akhir-akhir ini aku jadi malas melakukannya."

"Hm?"

"Kan ada kau yang sudah sangat memikirkanku. Ha ha…" Ginnan malah tergelak sendiri. "Tidak-tidak. Aku barusan bercanda. Ngomong-ngomong aku boleh bertemu teman-temanku?"

"Siapa?"

"Yuka-chan, Hiro-kun, Madam Shin … orang-orang dari Rusun 45. Aku rasa, aku ingin sekali makan bareng lagi dengan mereka," kata Ginnan. "Bukankah kita sudah pergi satu bulan lebih? Itu kelamaan. Padahal rencana hanya 2 minggu."

"Ajak Furi dan Takano kalau hari itu tiba," kata Renji.

"Ah, kupikir aku akan dilarang."

"…"

"Atau mungkin disuruh bertemu dengan babysitter-ku. Pfft—"

"Dia masih kusuruh melakukan hal lain," kata Renji. "Untuk Haru. Aku ingin tahu beberapa informasi sebelum keluar mencari dia sendiri."

Ginnan pun tersenyum lebar. "Bagus, itu sangat-sangat bagus," katanya. "Kalau begitu aku mandi duluan, oke? Perjalanan tadi membuatku sedikit tertekan di dalam."

"Tertekan?"

"Hanya sedikit," kata Ginnan. Dia beranjak setelah meninggalkan kecupan di pipi Renji. "Dah."

.

.

.

"Maafkan aku, Ren. Kali ini aku tidak bisa jujur padamu."

Batin Ginnan komat-kamit begitu masuk kamar mandi. Dia membuka ponsel. Yang katanya tidak akan membuka sosial media, kini dia mengecek berpuluh-puluh laman yang muncul sekejap setelah dirinya terlihat. Tentu, ratusan bahkan ribuan komentar terus keluar setiap detiknya. Ginnan tidak bisa tahan. Tangannya berkeringat saat menekan tombol dial ke Yuka di rusun.

"Halo, Yuka-chan?"

"Oh astaga! Nan-kun!" Suara Yuka terdengar begitu senang. "Sungguhan ini dirimu? Aku harus beritahu Hiro dan yang lain dulu!"

"Tunggu, Yuka-chan, jangan—"

"Kenapa memang? Apa ada alasan khusus?"

Yuka kedengaran sedikit kecewa.

"Tidak—anu… mungkin hanya Hiro. Yang lain biarkan dulu."

"Baik. Lalu?"

Ginnan memantapkan hatinya. "Aku ingin meminta bantuan kalian berdua. Please?"

"Ada uang untuk kami?" tanya Yuka.

DEG

"S-Soal itu—" Ginnan menoleh ke pintu seolah ada Renji di sana. "—iya. Tentu. Nanti akan kuusahakan untuk bayarannya. Tapi, sungguh aku tidak bisa mempercayakan hal ini ke orang selain kalian berdua."

"Ha ha ha! Serius sekali sih?" tanya Yuka sembari tertawa. "Tidak perlu, Nan-kun. Aku hanya bercanda. Lagipula aku ada hutang budi denganmu. Ada apa? Akan kuusahakan yang terbaik selama bisa."

"Ahh… begitu," Ginnan tersenyum memandang keramik di bawah kakinya. "Iya, terima kasih, Yuka-chan. Aku butuh informasi tentang Haru. Apa kau sudah dengar kabar hilangnya manajer Renji itu?" tanyanya.

"Oh, tentu. Seluruh fans Renji-sensei pasti tahu soal itu," kata Yuka. Di seberang sana dia berhenti menyisir rambut yang baru dikeramasi. "Tapi kami pikir, mana mungkin sih menghilang begitu saja? Bukankah dia pergi dengan keluarga utuhnya? Lagipula, kalau Haru ganti nomor, bisa jadi dia baru bertengkar dengan Renji-sensei."

"Apa?"

"Jadi tidak? Hmm… atau mungkin hanya ingin tenang saja. Bagaimana pun ikhlas-nya dia karena kalian bersama, menurut pendapat kami, Haru tetap butuh waktu untuk diam menikmati hidupnya sendiri. Apalagi dia sudah memutuskan menetap dengan istrinya. Ya kan?"

"Ugh, i-itu…"

Yuka menghela nafas panjang. "Daripada itu, Nan-kun. Fokus saja ke hubunganmu dengan Renji-sensei. Sebagai fans-nya, kami tahu perjalanan hidupnya seperti apa. Dan sebagai wanita yang pernah tidur dengannya, aku mengerti kenapa dia memilihmu. Jadi, bukankah kau yang kekasihnya harus lebih memikirkan perasaannya?"

Suara Ginnan memelan. "Tapi aku khawatir sekali," katanya. "Aku tidak tahu kenapa aku segelisah ini, Yuka-chan. Aku tahu Haru baik. Aku paham dia adalah seseorang yang mampu melepaskan, tapi … aku yakin dia tak akan mengabaikan Renji seperti ini. Bagaimana bisa Renji bahkan tak mampu menghubunginya?"

"Bukankah semua orang bisa berubah?"

"Tidak—maksudku… kalau orang lain okelah. Tapi, Haru—"

"Ginnan."

DEG

"A-Apa?"

"Tenanglah, kau ini terlalu panik. Astaga."

Ginnan pun meremas ponselnya. "Maaf, tapi aku tidak tahan, Yuka-chan," katanya. "Aku kepikiran. Tapi aku juga tidak bisa memaksa Renji langsung mencari Haru. Dia… dia…"

"Memang Renji-sensei kenapa?"

Ginnan menggeleng pelan. "Aku tidak bisa jelaskan mendetail, tapi gara-gara sesuatu Renji sangat cemas dengan pernikahan kami. Dia ingin menyelesaikan semuanya denganku sebelum mencari Haru," dia meremas dadanya. "Hanya saja, jujur aku sulit menerima pernikahan semacam itu. Semakin hari, semakin dekat dengan kenyataan, aku juga berat sekali menatap Renji. Bagaimana bisa kita melanjutkan hubungan ke jenjang seserius ini dengan mengabaikan Haru? Bagaimana pun aku hanya lelaki baru."

"Jadi intinya kau merasa bersalah."

DEG

Telak!

Ginnan pun membuang mukanya ke sisi. "A-Aku… aku tidak tahu kalau alasannya benar-benar itu."

Yuka mendadak ingin Hiro mem-bully Ginnan seperti biasanya. "Nan-kun, dengar," katanya. "Kau tidak sedang mengabaikan Haru. Renji-sensei juga. Kalian kan sedang butuh waktu di situasi yang gila ini. Jadi, jangan merasa bersalah. Oke? Yang dibutuhkan Renji-sensei sekarang adalah dirimu. Bukan orang lain siapa pun itu."

Ginnan murung, dan Yuka bisa membayangkan bagaimana raut wajah lelaki itu saat ini. "Oke."

"Tapi akan tetap kucarikan informasi tentang Haru sebisaku," kata Yuka. Langsung membuat mata Ginnan berkilau sesaat. "Akan kuajak Hiro juga. Pasti. Aku yakin dia antusias membantumu setelah tak bertemu selama ini."

"Terima kasih, Yuka-chan!" bola mata Ginnan seketika berkaca-kaca.

"Jadi, informasi seperti apa yang kau inginkan?"

.

.

.

Ginnan baru mematikan ponselnya setelah itu. Dia menyembunyikan gawai mungil tersebut di dalam lemari handuk baru berani keluar. Dia memasang senyum termanis untuk bertemu Renji. Jika orang lain melihatnya, mereka pasti berpikir teddy di piamanya kalah menggemaskan. Hanya saja, dada Ginnan langsung ngilu melihat sebuah gulungan kasa terjatuh.

"Ren?" Renji tengah mengobati dirinya. Dan pria itu tampak menahan sakit setelah perban lamanya dilepas. "Tunggu—biar kubantu melakukannya!" seru Ginnan segera. Dia mendekati Renji yang tengah menyeka luka di punggung. Dia berlutut, dan Renji sedikit terpana kala guntingnya direbut. "Kamu masih belum pulih sungguhan kan? Lukanya masih sakit?"

Renji diam saja kala Ginnan duduk di sisinya untuk membubuh obat.