"Seratus persen aku mengerti, sungguh," batin Ginnan bergejolak. Antara ingin tertawa dan menahan hasrat, dia mengeluarkan senyum tipis pada akhirnya. Dia pun membimbing tangan Renji agar menyentuh perut dan dada di balik bajunya. Saat Renji sedikit berjengit karena khawatir, Ginnan sedikit menikmati imaji anjing mungil di atas kepalanya.
Selama mereka berciumbu, keinginan Ginnan untuk menggambar khayalan itu tetap berjalan. Dia lebih tahu tidak setiap saat hubungan seks dihiasi dengan suasana yang begitu meliputi keduanya. Ini hanya kebutuhan alamiah. Sentuh sana, sentuh sini. Puas, lalu semuanya selesai. Namun Ginnan bangga, sebab diantara sekian orang di dunia, hanya dia yang tahu bagaimana Renji yang sepenuhnya telah berubah. Pria itu seolah sudah menutup semua masa lalunya dengan sempurna. Lalu kala Ginnan memandang raut wajah tidurnya, pagi itu … dia jadi sangat semangat.
Ginnan merasa bangun lebih awal dari Renji adalah termasuk prestasi. Dia nyengir ketika melihat sang kekasih duduk dengan masih telanjang dada, wajah kusut, dan berkedip-kedip melihatnya menata barang ke dalam koper.
"Kau sedang apa?"
Ginnan segera mendekat untuk memberikan pelukan harum. Hal itu cukup membuatnya tinggi hati sejenak, dan dia sungguh ingin mengingat saat-saat Renji sepenuhnya nyaman dengan aroma tubuhnya.
"Kau mau kuajak pulang?" kata Ginnan. "Aku sudah bicara dengan Ayah dan Mama saat tadi sarapan. Mereka berdua bahkan tidak jadi berangkat kerja untuk mengantar kita berdua ke bandara. Senang?"
"…"
Ginnan mengacak rambut kusut Renji gemas. "Kita akan kembali ke Jepang, Ren. Aku sudah siap kali ini. Maaf dan terima kasih sudah sangat memikirkanku."
Renji masih tidak bereaksi banyak. Pria itu tampak sedikit terkejut. Bola matanya bergulir pelan. Dia menatap beberapa tanda merah di leher Ginnan sisa semalam. Ah, dia tidak sungkan mengenakan kaus biasa yang mengekspos semuanya. Apa Ginnan bicara dengan kedua orangtuanya juga dalam kondisi begini? Kekasihnya tak pernah berhenti memberikan kejutan.
"Kau sudah merapikan kopernya," Renji memandang benda yang tinggal ditutup restletingnya itu.
"Iya, tinggal menunggu kau mandi dan siap-siap. Mau kubantu melakukannya?"
Renji tampak seperti boneka robot yang kehabisan batrei, padahal dialah yang selalu mengatakan Ginnan akan menerimanya dengan percaya diri, Tapi lihat? Kedua mata emasnya seperti tidak pernah menyangka hal itu benar-benar terjadi kini.
"Pfft… kau sungguh-sungguh sesuatu," kata Ginnan, terkikik. Lalu menarik Renji agar segera turun dari ranjang. "Ayo, sudah. Mandi dulu sana. Mungkin kau akan lebih sadar kalau kena air dingin. Ha ha."
Betapa ringan suara tawa Ginnan di telinganya. Betapa mudah dia memberikan kata-kata menyenangkan. Dan betapa berharganya usapan tangan Nana ke ujung kepalanya saat sudah di bandara (padahal wanita itu sempat jadi sasaran kemarahannya).
"Aku pasti akan merindukan kalian," kata Nana. Di memandang Ryouta sebelum Renji dan Ginnan memasuki lorong bandara untuk naik pesawat mereka. Dia tahu, meski Ryouta tampak tenang, sebagai ayah yang baru berjumpa dengan puteranya, tatapan mata itu tampak ingin meraih Renji kembali agar ada di sisinya. Pada akhirnya, Nana hanya membalas lambaian tangan Ginnan dari kejauhan sana. Memang, siapa yang menyangka waktu sebulan lebih bisa berlalu begitu cepat? Perpisahan tidak pernah terasa semenyebalkan ini. "Ayah, kau pasti akan menyesal tidak bilang apa-apa ke Renji."
Celutukan Nana diabaikan Ryouta, tapi tidak mungkin pria itu bisa bertahan setelah sang istri menggodanya sepanjang perjalanan pulang Renji.
"Ayolah, Ayah. Kenapa tidak jujur kepadanya langsung? Kau pun sangat ingin mereka di sini kan?" Nana terkikik pelan. "Aku yakin setelah ini kau pasti memeluk Cleo, Gee, dan Len lebih sering di rumah nanti. Ha ha."
Ryouta tidak menjawab apapun. Dia hanya memandang keluar jendela taksi, dan terus merahasiakan sesuatu jauh di dalam dirinya sendiri. "Semoga kalian baik-baik saja di sana."
.
.
.
"Cuacanya masih sangat dingin," Semenit setelah pesawat lepas landas, Ginnan menggenggam tangan Renji dengan senyuman. "Dan perjalanan ini akan sangat lama. Ren, kau tidak ada niat untuk tidur lagi?"
Renji memandangnya tanpa berkedip.
"Atau kau mau sarapan sekarang?"
"…"
"Bagaimana dengan roti? Mau ya?"
Ck. Mungkin pria itu masih belum benar-benar sadar.
Ginnan pun menahan diri agar tidak senyum lebih lebar. Dia rasa, menyuapi pria ini tidak buruk juga. Secuil demi secuil roti isi kacang. Meski harusnya membosankan, setidaknya perjalanan tidak akan sunyi dengan kegiatan sederhana ini.
"Kau tetap memakai cincinnya," kata Renji tiba-tiba.
Ginnan pun memandang jarinya sekilas. "Iya? Kenapa? Sayang kan kalau benda seindah ini kusembunyikan?" cengirnya. "Lagipula kau pasti menyukainya. Bukankah kau memang ingin memamerkanku?"
Tatapan Renji perlahan semakin intens. "Maka jangan menyesal apapun yang terjadi setelah ini."
"Umn, tentu," Ginnan menanggapi itu dengan anggukan santai. Cengirannya bahkan masih ada saat mencicipi roti sisa gigitan Renji. "Walau kau pasti menyembunyikan aku terlebih dahulu. Maksudku, yeah … tidak mungkin kita tiba langsung menghadiri acara pers kan?"
"Itu hanya rencananya perusahaan," kata Renji. Langsung membuat Ginnan mengunyah.
"Maksudmu?"
"Aku ingin kita tidak menutupinya saat turun di bandara nanti," Renji membalas genggaman di tangan kirinya. "Kau keberatan jika langsung menghadapi ratusan kamera?"
"Ahhh—wow?"
Sudut bibir Renji tertarik perlahan. "Kau sepertinya memang sangat siap kali ini."
"Umn, ha ha … bagaimana ya," Ginnan menggaruk pipinya pelan. "Kupikir-pikir lebih waras, itu memang harus ditanggung. Bagaimana pun aku jadi kekasih seorang Renji Isamu?"
"Apa kau melepasnya kalau dilihat mereka?"
"Eh?"
Renji melirik tangan mereka yang saling genggam, dan Ginnan tersentak pelan. "Hm?"
"Tidak, tentu saja tidak. Asal kau jaga sopan santun saja—pfft…" Ginnan mendadak geli sendiri. "Artinya, aku tidak mau dicium di depan umum atau bagaimana ya. Kita harus tetap bermartabat atau kau kehilangan banyak hal dalam berkarir."
Senyuman Renji melebar di suapan roti berikutnya. Ginnan sampai bingung, Sebab pria itu sangat sulit mengendalikan ekspresinya kali ini. Dia tampak sangat terhibur. Entah apa yang dipikirkan, namun Ginnan cukup suka dengan jenis wajah langka itu.
"Kau menertawakan aku?"
"Hm…"
"Brengsek ini! Berani-beraninya kau—"
"Kau tidak lagi kesulitan bicara denganku."
DEG
Ahh … karena itu rupanya.
Ginnan mendadak merasa bodoh sekali. "Tunggu—iya juga ya. Aku sempat sering gagap saat mengobrol denganmu," bingungnya. Diam-diam Renji menikmati ekspresi lucu di wajah itu. "Sshh… tapi bukankah itu pertanda bagus?"
"Hm."
Perjalanan pun dihabiskan Renji dengan tidur, sementara Ginnan memainkan game perang-perangan di ponsel yang sudah blok sinyal. Dia sampai naik level ke 103 dan cukup puas saat sampai ke bandara tujuan. Sangat rileks. Rasanya menghadapi keramaian tidak lagi menakutkan seperti yang Ginnan bayangkan dulu.