Di luar sana terdengar sayup-sayup suara Richard dan Aleysha yang berdebat pelan. Mereka mencoba menenangkan Sheila yang baru bangun dan menangis, namun juga tak mampu tenang sendiri. Anak itu sudah terkena trauma lebih parah daripada Sherly yang sudah ditangani psikiater. Jiwanya koyak, jantungnya bergolak, dan matanya langsung berderai basah karena mengingat mengenai ranjang penuh seks, basah peluh serta cairan, dan dirinya yang diikat adalah bagian dari mereka juga.
Sheila tidak lagi melihat kelembutan seorang ayah dari Richard, atau kasih cinta Ibu di mata Aleysha. Ketika mereka mendekat dengan gelas air dan bubur hangat, langkah-langkah itu justru terdengar seperti monster buas.
Aura hewaniah mengambang di udara dan dia ingin muntah ketika menghirup aroma mereka. Dia berteriak, berteriak, mencakar, membuat Aleysha panik dan Richard tak tahan untuk menggamparnya agar diam. PLARR!
"RICHARD, PLEASE! DON'T!"
Suara jeritan Sheila makin keras.
PLARR! PLARR!
"FUCK YOU, DAMMIT!"
Lalu jeritan itu berhenti seketika.
Haru tak bisa membayangkan betapa keras kehidupan Sheila selama gadis itu di Teheran. Selain seks, mungkin dia terbiasa dengan luka-luka tubuh juga. Tentu itu membekas sangat dalam, hanya saja Haru tak pernah tahu karena senyumlah yang ada di wajahnya ketika mereka bertemu.
"Sheila… Sheila… Sheila…"
Dengan air mata hangat yang mengalir, Haru merapal nama itu bagai mantra-mantra. Andaikan dirinya tidak menanggung peluru dan pukulan-pukulan barusan, mungkin saja kini sudah berlari ke sana untuk menggendong gadis itu pergi.
"Sheila… Sheila… Sheila…"
Tak boleh ada penyesalan.
Haru membawa Sheila dan Sherly adalah karena pilihan sendiri. Dia tahu, kekacauan ini tidak sederhana. Apapun bisa terjadi bila ada tiga orang sakit di sekitarmu, dan kau hanya bisa melayangkan permohonan kecil untuk tetap bertahan dalam diam.
"Rose, bisa kau lakukan satu hal saja untukku?" tanya Haru.
"Apa."
Yang tidak pernah Haru sangka adalah raut wajah wanita itu samasekali tak berubah. Mungkin karena suara-suara gamparan barusan adalah hal biasa, dan ada lebih banyak wajah hitam lain di belakang topeng dinginnya.
"Tolong biarkan Sheila tidur di sampingku," kata Haru. Ah, Rose pasti melihat kerapuhan yang sangat menjengkelkan pada matanya saat ini. "Jangan biarkan dia kedinginan—ah… Ambil selimut, taruh bubur dan airnya di sini, dan biar aku saja yang menyuapinya jika nanti sudah bangun."
Rose tampak berpikir sejenak sebelum mengangguk. "Ya," katanya. Lalu langsung berbalik dengan kursi rodanya. "Kau tidak perlu khawatir soal itu."
"Terima kasih."
"Tidur saja. Istirahat, Haru," kata Rose. Haru bisa melihat punggung kecil istrinya tak bergetar sedikit pun karena percakapan barusan. "Jangan biarkan luka-luka di tubuhmu semakin parah." Haru pun menghembuskan nafas panas. Dia merasa ringan dalam sekejap, lalu menutup kelopak matanya begitu saja.
"Ya."
.
.
.
Pagi, Ginnan entah kenapa tidak panik saat melihat Nana dan Ryouta mendadak duduk berhadapan di ruang makan. Entah sejak kapan mereka pulang dari perjalanan panjang. Yang pasti, Ginnan cukup percaya diri mengulas senyum kepada mereka berdua meskipun masih dengan muka bangun tidur dan rambut yang berantakan.
"Cleo… Gee… Len…" Ginnan membawa sereal ketiga anak anjing itu. Dia menunduk untuk memberikan mereka asupan pagi seperti hari-hari sebelumnya. Mereka langsung bangun dari tidur dan berlari ke arah mangkuk-mangkuknya. Sangat lucu. Ujung moncong hidung mereka menyuruk susu dengan jilatan-jilatan cepat, lalu memandang Ginnan sesekali dengan dongakan kepala penuh bulu itu.
Renji sendiri baru bangun kala hampir pukul tujuh. Bedanya pria itu sudah lebih rapi dari Ginnan sekali pun belum mandi. Dia sudah cuci muka, lalu menyusul keluar dengan raut tanpa dosa.
"Pagi, Ayah. Bu…" sapa Renji. Pria itu bergabung dengan Ginnan untuk menonton kelucuan ketiga bola bulu di sana dengan menyandarkan sisi tubuhnya di dinding.
"Pagi," hanya Nana yang menjawab dengan senyuman termanis pagi itu. "Dan selamat natal, Sayang."
"Hmm…"
Ginnan menoleh ke Nana dengan raut ceria tak bisa disembunyikan. "Marry christmass, Mama," katanya. Lalu membalas tatapan Ryouta dengan senyuman tipis. "Ayah juga."
Ryouta menikmati pai susu dengan bubur hangat. Seperti Renji, dia hanya menjawab dengan gumaman, namun anehnya tak terlihat terganggu dengan sweater rajut warna merah yang dikenakannya—astaga… padahal benda itu memiliki motif pisang dan pita agak menggelikan—tapi Ginnan yakin itu buatan Nana sendiri sehingga sang suami tak terlalu memikirkannya.
"Kalian berdua pulang lebih cepat?" Renji adalah yang pertama kali tak sungkan memulai topik tersebut. Nana sendiri hanya memerah tipis dengan isi pikirannya. Mendadak dia menarik mundur satu kursi untuk dia bergabung duduk.
"Iya, Sayang. Kan kami ingin merayakan Natal tahun ini bersama kalian berdua."
Ryouta langsung menimpali. "Atau kau sebenarnya kecewa tidak jadi berdua dengan lelakimu."
Renji hanya melirik sambil menyesap susu sterilnya dari tepian gelas. Bukannya tidak tahu, dia sebenarnya melihat sekilas bayangan di ambang pintu saat menindih tubuh Ginnan di sofa panjang kapan hari. Bila Nana, sosok itu tak mungkin terbeku terlalu lama, jadi pasti sang ayah lah korban yang menangkap basahnya. Sayang, bukan Renji namanya bila dia tak bisa memasang topeng muka datar setiap saat meski bicarakan hal tak senonoh sekali pun.
"Ah, sayang, jangan terlalu keras ke mereka," Nana menepuk bahu Ryouta pelan. "Ini kan hari Natal. Kau harus lebih lega memberikan kelonggaran mulai sekarang. Hahaha. Lagipula Ginnan akan menjadi keluarga."
Mendengar percakapan itu, Ginnan diam-diam berkamuflase jadi batu. Dia mematung di tempat, hanya mengelus pucuk-pucuk kepala mungil di depannya, namun tak terpungkiri telinganya makin lama makin merah saja.
"Ya, ya…" kata Ryouta. Langsung mengganti topik pembicaraan. "Hei, Nak. Aku kemarin melihat sesuatu yang cukup menarik di luar. Kalau kau suka, anggap saja sebagai hadiah natal Ayah untuk kalian berdua. Ada di ruang tamu sekarang. Kau ambillah dan lihat apa isinya."
Renji memandang Ryouta dari seberang meja. "Terima kasih, Ayah," katanya. Langsung melipir pergi begitu saja. Ah, sial. Ginnan mendadak merasa terjebak sendirian di sana.
"Nak?"
Bahu-bahu Ginnan refleks berjengit sebelum menoleh. "Ya, Ma?"
"Sini, Mama punya hadiah buat kamu," kata Nana.
Ryouta mengawasi mereka berdua dari ekor matanya. Ginnan tahu, tapi pura-pura tak melihat saja. Langkahnya kacau. Dia sangat terlihat salah tingkah namun Nana hanya geleng-geleng kepala. Wanita itu meraih tangan kiri Ginnan—yang mengejutkan ukuran kecilnya hampir sama—baru mengambil sesuatu dari saku.
"Aku sempat mampir di Florence kemarin," kata Nana. "Di sana ada kosan lamaku. Memang sudah ditempati orang lain sih, tapi untungnya aku masih boleh mengambil barang-barang lama."
"Cincin?"
Ginnan memandangi cincin mungil gaya kuno yang dipasang Nana di jari tengahnya.
"Iya, ini dari Ayah waktu kami masih pacaran," Nana melirik, Ryouta pura-pura tak mendengar.