"Tidak."
"Aku bau."
"Aku juga belum mandi."
"Sana pergi. Apa kerjaanmu dengan Ayah sudah selesai?"
"Tentu saja, dan berhentilah beralasan tidak mau kusentuh."
Ginnan pun diam setelahnya. Dia menghela nafas panjang. Sembari menahan pusing kepala, dia menahan diri untuk tak memaki saat Renji menggigit-gigit pelan telinganya.Demi apa sih? Ginnan kan sedang mengelap piring! "Ugghh… bisa kau tidak bertingkah ingin kawin tiap hari?" katanya, dengan nafas putus-putus. Lama-lama kedua matanya berkerlap basah karena sensasi geletar nikmat itu menyebar di dada dan perutnya. "Aku—piringnya bisa pecah kalau kau—"
Renji mengambil piring dan lap dari tangan Ginnan "Aku tidak akan membiarkanmu begini lagi kalau sudah pulang nanti," katanya. Menyela.
Ginnan terengah-engah dan menatap konter dapur ketika tangan nakal Renji masuk ke dalam apron dan kausnya. "Nngghh..." desahnya. Sembari menggigit bibir.
"Menurutmu bagaimana? Tiga juru masak cukup?" Renji mencubit-cubit putingnya di dalam sana. Lembut menuju gemas. Ginnan pun meremas tangan itu dari luar kausnya agar Renji berhenti.
"Umnn…"
"Kau tidak boleh kelelahan, atau apapun," kata Renji. Pria itu menariknya jauh dari wastafel. "...kecuali di ranjangku."
Ginnan memejamkan mata saja karena tak tahan lagi. Puting-puting mungilnya sudah mengeras. Dia mendongak dan mendesah bebas karena godaan lembut jari-jari ahli itu. "Ahh.... hh... jangan di sana--khh... ahh..."
"Sekarang lupakan kerjaan ini," Renji berbisik pelan. "Kita masuk, mandi, istirahat sebentar, dan baru keluar waktu makan malam."
DEG
"Ugh—tapi kan kita harus siap-siap untuk perayaan—"
"Ini baru pukul 4, lagipula bukankah Ibu bilang cuci piringnya nanti saja? Kau sendiri yang tak mau bersikap patuh."
Ginnan pun kalah. Dia pasrah saja diseret masuk kamar mereka. Tidak ada tawar menawar. Renji sungguhan mengurusnya mulai dari mandi, padahal dia bisa sendiri. Pria itu juga memakaikannya piama tertebal, syal, lalu memeluknya dalam selimut setelah semua selesai.
"Saljunya makin deras di luar," Ginnan mengintip jendela dari selimut yang nyaris menutupi wajahnya juga. Di belakang, Renji mendekapnya bagaikan guling. Pria itu ikut memperhatikan pemandangan di luar sana.
"Hm, natal memang selalu seperti ini," kata Renji. Dia melirik ekspresi Ginnan yang tampak tak berubah sedikit pun. Dingin, namun bisa langsung merah begitu dia kecup di pipi.
"Ren, jangan lagi, please..." pinta Ginnan. Entah kenapa dia benar-benar tidak mood bercinta sekarang. Badannya tak enak, segalanya terlihat kacau di mata, dan semakin Renji menyentuhnya, semakin Ginnan risih juga. "Tidak mau... tidak—"
Renji pun berhenti membuat tanda samar di leher itu. Dia mengusap air mata yang menitik di mata Ginnan, namun lelaki itu melengos pelan. Dia juga tak mau membalas tatapan Renji.
"Baik, ada yang tidak beres denganmu," kata Renji.
Ginnan makin menjauhi pria itu. "Sudah kubilang aku tidak kenapa-napa..." katanya. Sok kuat, tapi suaranya justru terdengar goyang.
"Baik, tetaplah keras kepala," kata Renji, terdengar tenang, tapi langsung membanting Ginnan dan menindih lelaki itu. BRUGH!
"Akh!"
"...sekarang pilih sesukamu. Mengaku saja atau kuperkosa?"
DEG
Ginnan pun menggulung diri. "Aku..." dia gemetar, mendadak takut, tapi kemudian mau bicara. "Menurutmu kapan kita akan pulang?" tanyanya. Mereka bersitatap begitu dalam.
"Aku? Kapan saja. Pekerjaanku bisa dilakukan di semua tempat asal jaringan internet ada," kata Renji. "Kenapa mendadak bertanya?"
"Aku…" Ginnan tampak ragu untuk sesaat. "Aku tidak mau cepat-cepat pulang," katanya pelan.
"Hm?"
"Kan, kalau kita sudah sampai di Tokyo, konferensi pers-mu otomatis akan segera dijadwalkan," kata Ginnan. Bola matanya berkaca-kaca dan seperti dipenuhi lilin-lilin lembut. "Jujur aku belum siap—umn… maksudku, kalau wajahku dilihat begitu banyak orang. Kau tahu kan? Popularitasmu itu mengerikkan. Aku jadi merasa, apa gunanya artis di luar sana kalau kau terjun ke dunia kerja selebrita. Ahaha… pasti langsung menyingkir dengan senang hati daripada kalah saing—"
Nada tawa Ginnan sangat sumbang. Renji tahu lelaki itu lebih cemas daripada yang pernah dia bayangkan. "Baik, kapan saja kau siap, bilang segera padaku," katanya. "Tapi tolong jangan lama-lama. Aku tidak bisa tenang kalau belum mengikatmu dalam pernikahan resmi."
DEG
Ginnan berdebar keras lagi—bahkan mungkin yang paling keras seharian ini. Dia mendongak dan menatap raut wajah Renji yang lebih cemas daripada dirinya. Padahal kedua mata pria itu terpejam. Namun bayang-bayang samar menekuk dalam di sana. Ketakutan yang alami. Renji seperti merasa... dia bisa kehilangan garis start untuk memiliki Ginnan bahkan saat lelaki itu sudah ada di dalam pelukannya.
"O-Oke," kata Ginnan. Dia mengecup bibir Renji pelan. "Aku pasti pikirkan baik-baik."
"Hmm."
Ginnan memaksakan senyum tipis. "Kalau begitu, kau harus senyum juga," pintanya. "Please? Aku minta maaf soal barusan."
Renji justru mendekap Ginnan seerat-eratnya.
Mengapa seperti itu? Mengapa rasanya sangat berlebihan?Ginnan jadi ingat sosok 'Bunda' saat wanita itu melarangnya untuk pergi merantau di Tokyo. Bunda melarangnya untuk pergi. Selalu. Wanita itu bahkan menangis sampai membuat Ginnan curiga kepadanya soal sesuatu.
"Bunda tidak pernah begitu pada bayi lain," batin Ginnan. "Mereka yang diadopsi, pasti dipersilahkan dan dipermudah—umn, apa jangan-jangan selama ini Bunda yang melarang siapa pun mengambilku jadi anak?"
Namun tentu saja pemikiran seperti itu terlalu jahat jika benar-benar dia percayai. Ginnan pun menenangkan wanita itu hampir seminggu sebelum benar-benar dilepas merantau Tokyo. Toh pada akhirnya Ginnan diizinkan pergi. Jadi, dia pun mencoba mengganti pikirannya dengan hal lain. Semisal … hm … mungkin wanita itu terlalu menyayanginya sebagai bayi 'pertama' yang ada di panti? Jadi dia sudah menganggap Ginnan seperti anak sendiri.
"Kalau ada apa-apa bilang Bunda, hm?" kata Bunda. Dia mengecup pipi Ginnan kanan kiri lalu ke keningnya. "Jangan jalani kesulitan sendirian. Karena kamu masih punya Bunda, dan…" wanita itu memandang mata Ginnan dengan penuh penyesalan. "…harusnya aku mengadopsimu sendiri waktu masih sangat kecil. Ugh… tidak seperti ini. Kau terlalu dewasa untuk kukendalikan, Ginnan. Tapi aku sangat-sangat mencintaimu."
Ginnan pun mengerti apapun yang dikatakan wanita itu adalah ketulusan. Sorot matanya, gemetar di tubuhnya, ketakutan yang disebabkan oleh entah apa. Hanya saja Ginnan sendiri tak mengerti, mengapa Bunda—bahkan Renji—menjadi orang yang sangat ingin memilikinya sampai begitu?
Ada apa dengan dirinya? Maksud Ginnan, selain dirinya memiliki wajah cantik, otak tak terlalu bodoh, dan sifat penurut meskipun sedikit keras… apa lagi yang mereka lihat? Ginnan kadang bercermin lama-lama karena hal itu. Namun, meski pernah melakukannya, rasanya sangat tolol sekali. Betapa tidak? Kenyataan memang beda jauh dari firasat buruknya selama ini. Faktanya Ginnan tetap hanyalah seorang gigolo miskin, komikus gagal debut, dan lulusan S1 yang untuk makan dan hidup saja perlu menawarkan kelamin ke perempuan. Sejak saat itu, Ginnan tak ingin bermimpi terlalu tinggi. Dia takut jika impian adalah hal yang terlalu mewah untuk dirinya tanggung. Sebab, di dunia ini tak semua manusia lahir untuk menikmati angkasa layaknya burung elang yang tangguh. Beberapa dari mereka justru hanya jadi bebek, ayam, atau bahkan ikan yang hanya bersembunyi di dalam lautan.