Renji hanya menghela nafas panjang, pura-pura tak mendengar keluhannya. Padahal Ginnan yakin pria itu meliriknya sekilas saat dia mengharapkan komentar atau apapun. Nyatanya Renji tetap fokus padanya saja. Pria itu melepas piama atas Ginnan, lalu menggerakkan handuk itu sampai ke punggung-punggungnya. Usap, usap. Handuk basah diperas beberapa kali untuk mengusap lebih merata.
"Apa aku telfon lagi saja?" Ginnan akhirnya mencoba lagi. Dia sampai menggigit bibir bawah karena terlalu pusing menebak-nebak ada apa, ingin menangis, dan mengabaikan Renji yang memperlakukannya bagai bayi baru lahir. Pria itu pergi. Menyasar lemari, lalu mengganti piama atasnya dengan yang baru begitu kembali. Renji bahkan tak lupa memakaikan syal juga di lehernya, baru melepasi celana bawah untuk menyeka lagi.
Handuk berjalan kemana-mana. Pinggang, pinggul, paha luar, paha dalam, kemaluan—ehem… Ginnan sempat merintih 'kkh...' di sana sebelum terpekik gembira karena Yuki mengangkat telfonnya!!
"Yuki-chan!"
"Halo, Nan-kun?"
Suara lembut gadis itu terdengar dalam.
"I-Iya?"
Ginnan berusaha fokus ke Yuki saja saat Renji mengangkat kedua kakinya untuk menyeka pantat.
Ah, Renji...
Pria itu tak melewatkan satu jengkal pun dari kulitnya untuk dibersihkan. Lutut dan ujung-ujung jari kaki saja ikut diseka.
"Maaf, apa tadi aku mengganggumu?" tanya Yuki.
Ginnan melirik sekilas ke telapak kakinya yang sudah ditinggalkan handuk, lalu membuang muka ke samping waktu Renji memakaikan celana dalamnya.
"Tidak kok."
"Bohong, suaramu kenapa terdengar serak?" tanya Yuki. "Kau sakit?"
Kini celana piamanya ikut dipasang satu per satu. Semuanya bertahap. Dan Ginnan sungguh kesal mengapa bisa selemas ini hanya karena seharian dipaksa masak Nana kemarin.
"Mn, aku sakit—tapi tidak apa-apa kok," kata Ginnan cepat-cepat. Dadanya hangat karena Renji memakaikan kaus kaki juga di bawah sana. "Tadi kenapa? Apa semua baik-baik saja?"
Nafas Yuki terdengar berat. "Tidak baik, Nan-kun. Dan maaf aku harus bilang hal-hal seperti ini padamu," jeda sejenak yang meresahkan. "Yeah.. soalnya kupikir memang hanya dirimu yang bisa sekarang…" katanya.
Kepala Ginnan pun penuh tanda tanya. Dia memejamkan mata sejenak sewaktu Renji mengusap wajahnya dengan handuk baru, lalu merasakan tarikan di ulu hati setelah pria itu pergi keluar kamar dengan baskom-baskom kotornya.
"Ahhh, maaf, Ren. Kau pasti tidak pernah diperlakukan begini," batin Ginnan. "Tapi, besok pasti kuperhatikan lagi. Tolong jangan marah dulu sekarang."
"Iya, apa?" tanya Ginnan. "Katakan saja kalau memang penting."
"Kau yakin?"
"Mn, selama bisa pasti kubantu," kata Ginnan. "Tapi aku memang sakit, jadi kalau urusannya mendadak, tentu tidak bisa langsung datang padamu."
Suara Yuki berubah menjadi berat. Suara itu adalah milik seorang lelaki. "Halo?"
DEG
Kedua mata Ginnan pun terbuka lebar-lebar. "H-Halo?" jawabnya ragu. "Siapa, ya?" tanyanya.
"Aku Kuze Hamada," kata Kuze. Nama itu jelas tak asing lagi di telinga Ginnan. Renji pernah mengonfirmasi identitas Kuze sebagai dokter pribadi. "Benar ini Ginnan Takahashi?" Meski bingung—campur pusing—Ginnan tetap mengangguk pelan. "Iya, aku Ginnan," kata Ginnan. "Kau pasti sepupu angkat Yuki-chan."
"Iya, dan aku minta tolong padamu," kata Kuze. Entah kenapa suara lelaki itu kadang jadi sangat serak. "Soal Renji-sensei, bisa kau suruh dia membuka ponsel pribadi? Aku rasa Sensei mulai jarang memakai benda itu sejak kalian pergi ke Milan."
DEG
"Eh? Ponsel?"
"Iya, yang berwarna putih dan ada gantungan wajah Sanji One Piece," kata Kuze sejelas-jelasnya. Lelaki itu berdehem sebelum melanjutkan. "Oke, aku paham kalian berdua sedang butuh waktu privasi sekarang. Apalagi dengan keluarga. Jadi, Renji-sensei pasti hanya mengurusi ponsel bisnis saat ini."
Ginnan pun mengingat-ingat, dan sepertinya itu memang benar. "Iya, nanti akan kusampaikan," katanya. "Tapi sebenarnya ada apa?"
Suara Kuze berubah jadi sangat pelan. "Soal Haruki-san—" lalu terputus-putus oleh sinyal bangsat—
"Apa?" tanya Ginnan. Keningnya berkerut karena mendadak merasa tuli. "Haru-san? Kenapa dia? Bisa kau ulang lagi kalimat yang tadi?"
Badai salju di luar menderas. Alam seperti tengah menyatu untuk mendukung emosi Renji kepada Ginnan. Namun Ginnan tak menyerah mendengarkan keluhan Kuze dan Yuki sampai akhir. Tentang Haru yang hilang. Tentang kedua anaknya yang tak jelas di mana. Dan tentang Rose yang tak bisa dilacak setelah meninggalkan apartemen berantakan. Ginnan mengangguk, paham, pusing lagi, dan harus menekan-nekan pelipisnya sendiri hingga Renji kembali.
"Ugh… apa yang sebenarnya terjadi," rintih Ginnan dengan mengusap matanya yang basah. Dalam hitungan detik piamanya sudah kacau dan lengannya kini penuh air mata.
Renji pun langsung merebut ponselnya setelah meletakkan susu hangat di meja. "Apa yang dia katakan padamu?" tanya pria itu menginterogasi. "Ada masalah? Aku harus tahu semuanya."
Ginnan rasa, demamnya semakin naik saja sekarang. Demi apapun, Kuze yang tak pernah bicara atau bertemu langsung padanya itu, tadi memohon-mohon agar dirinya mau mendorong Renji pergi mencari Haru segera. Sebab Kuze sendiri tak bisa mencari. Keluarganya masih dirundung pilu kehilangan salah satu orang paling berharga. Mereka berkumpul dalam duka, dan tak bisa seenaknya keluar dari sana meski dia ingin pergi kemana pun manajer Renji itu hilang. Ini benar-benar tak beres. Sungguh. Apalagi setelah beberapa orang penerbitan mencari Haru. Bahkan polisi setempat sudah dikeraahkan untuk mencari jejaknya. Ah, apa mereka hanya sedang pergi berlibur? Tidak mungkin. Sebab Kuze bilang kondisi apartemen itu cukup berantakan dan nomor lama Haru sudah tak aktif lagi.
"Ummh… p-panas… panas…" keluh Ginnan begitu menjelang petang. Terlalu kesakitan, air matanya pun terus mengalir deras. Dia sungguh tak bisa menghentikannya bahkan terus meracau juga. Renji pun menyeka pipi itu berkali-kali. Dia juga buru-buru mengecek ulang suhu Ginnan dengan termometer dari laci. Angka 39 derajat celcius pun muncul di layar datarnya. Mengejutkan. Dan meski Ginnan ingin mengutarakan maksudnya tentang obrolan barusan, tangan, kaki, dan seluruh tubuhnya justru menggigil seolah dia tengah diselubungi tumpukan salju di luar sana.
"Sakit? Dingin?"
"Iya… dingin—panas…" keluh Ginnan bergantian.
Renji pun mengatur ulang panas perapian di seberang ranjang mereka. Seharusnya suhu makin hangat, namun Ginnan justru menggelung dirinya dalam selimut. Lelaki itu merintih-rintih di sana, dan Renji tak tahan lagi melihat pemandangan itu.
"Ck, benar-benar merepotkan," decih Renji. Lalu melepasi pakaiannya sendiri dan masuk ke dalam selimut Ginnan. Pria itu mendekap dengan sangat erat. Tubuhnya yang bersuhu normal mulai menyerap panas kurang wajar dari kulit lelaki kecil itu. "Diam di sana. Nanti pasti semakin membaik."
"Ugh... ugh... sakit... sakit, Ren," keluh Ginnan. Dia mengernyit dan mencakar bahu Renji kasar.
"Bagus, tutup matamu dan segera tidur. Istirahat, istirahat... mengerti?"
Ginnan pun mengangguk dan menurut saja. Dia tahu, Renji benar-benar sudah berusaha yang terbaik saat ini. Pria itu pasti menghirup aroma tubuhnya yang masih dihiasi sisa keringat. Sungguh memalukan. Ginnan bingung harus apa, namun semua sakit yang dia rasakan tidak mengizinkan jaga harga diri lagi. Ginnan terus menangis. Tanpa terkendali. Badannya mulai tersentak-sentak ketika suhunya semakin tinggi.