Chereads / MIMPI: Takdir Yang Hadir / Chapter 16 - BAB 1 Bagian 10

Chapter 16 - BAB 1 Bagian 10

"A-Apa yang bagaimana bisa?" tanya Ginnan. Bingung.

Renji mengguncang kedua bahu lelaki itu karena sudah tak sabar lagi. "Kau, brengsek, bedebah, keparat, tolol—" maki pria itu hingga telapak tangan Ginnan mendingin takut. Sebab, semarah-marahnya Renji, baru kali ini Ginnan melihatnya mengatakan serapah sebertubi-tubi apalagi kepadanya. "—kenapa tidak bilang punya riwayat malaria akut? HAH?!"

Malaria?

Oh …

Iya, Ginnan memang punya. Namun itu sudah sangat lama. Waktu dia umur enam atau tujuh, nyamuk membuat dirinya terbaring di rumah sakit hampir sebulan. Nyaris mati. Bunda sampai pingsan berkali-kali karena dia sempat meregang nyawa.

Renji mengguncang bahu Ginnan lagi. "Sial…" desisnya pelan, lalu justru mendekap lebih erat. Ginnan merasakan ketakutan Renji. Gemetar sakit yang masih tersisa di tubuhnya tidak bisa dibandingkan dengan milik pria itu. Nafasnya panas, dan Ginnan rasa minta maaf saja tidak cukup untuk menenangkannya saat ini.

"Aku, lupa," kata Ginnan. "Dan itu sudah lama, aku pikir tidak akan datang lagi—umn, lain kali tidak akan kuulangi."

Renji memaki lagi dalam bahasa ibunya. Terus begitu. Hingga Ginnan terkejut merasakan remasan pria itu makin menguat di bahu-bahunya.

"Umn, R-Ren?"

"Hal sepele seperti itu…" bisik Renji, Ginnan bisa merasakan bibir Renji mengecup lehernya seperti ingin menerkam. "—kau bisa membunuhku juga kalau sampai mengambil nyawamu."

DEG

"A-Apa?" Tremor di tubuh Ginnan meningkat. "A-Aku… minta maaf. Tapi tolong jangan bicara sembarangan, Ren. Itu kan cuma—"

"Kau tergigit di suatu tempat, banyak, dan tidak kau rasa sendiri," kata Renji. "Harusnya kau tahu, kalau sudah pernah kena, akan lebih mudah terjangkit lagi. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai—"

Kata-kata selanjutnya tidak ingin Ginnan dengar. Dia meneteskan air mata tanpa sadar. Dia menepuk-nepuk bahu Renji dan berbisik pelan padanya. "Ssshh… shh…" dia mencoba tersenyum lembut. "Sudah, tapi aku tidak apa-apa sekarang. Aku baik-baik saja. Bukankah itu yang paling penting?"

Renji menciumnya lagi. Pria itu menggigit, melumat, membuat Ginnan tersedak—namun tak berhenti begitu saja. Dia dorong Ginnan mundur kembali ke ranjang. Suara batuk-batuk Ginnan dia abaikan, dan Renji terus membuat tanda merah dengan giginya. Pria itu masih meracau dalam silabel yang tidak mampu Ginnan pahami. Namun sesekali, dia masih berbisik dalam bahasa Jepang, yang kurang lebih artinya tak jauh dari kata 'hanya aku—' dan 'siapa pun tidak boleh melakukan ini' atau 'apapun—'

… Ginnan seketika menyadari sesuatu.

"…Mengerti?"

Bahwa Renji Isamu, pria di hadapannya ini, seutuhnya, telah menaruh hati dan dunia padanya.

"I-Iya, aku mengerti…" Ginnan merona hebat kala dikecup sekali lagi. Dia berdebar, panas dingin bukan lagi karena demam, dan mengusap-usap leher Renji lembut. "Selain ini, aku tidak punya riwayat penyakit lain kok. Jangan khawatir. Lagipula… sekarang kau yang harus mengaku padaku."

Sumpah demi tuhan baru kali ini Renji tampak ingin menangis.

"...apa?" tanya pria itu serak. Padahal sebelumnya Renji tidak pernah menampilkan kerapuhan satu kali pun. Ralat. Dia memang pernah mengalirkan air mata, namun seingat Ginnan hal memalukan itu hanya disembunyikan di bahunya selama ini. Takut-takut, Ginnan pun meraih pipi Renji dan mengusap tetes-tetes air mata yang mulai jatuh. "…p-punggungmu? Kenapa ada luka sebesar itu?" tanya Ginnan. "Apa karena aku? Apa yang sudah terjadi selama kutinggal sakit." Ginnan jadi ketar-ketir dengan tangisan Nana beberapa saat lalu.

"Itu tidak—"

"Jangan bilang tidak penting," sela Ginnan dengan alis bertaut. Suaranya kecil, tapi tegas dan membuat Renji diam. "Aku sudah hafal sifatmu, dengar? Dan apa menurutmu adil kalau hanya aku yang—"

Ginnan membisu kala Renji mengecup punggung tangannya kasar. Seolah-olah Ginnan baru saja hilang. Seolah-olah dia baru saja bangun dari kematian. Atau bahkan baru saja terlahir kembali di depan Renji.

Aneh.

Ginnan pun tak sanggup bertanya lagi dan hanya balas memeluk pria itu. Dia menatap langit-langit kamar. Matanya ikut memanas entah kenapa, dan dia lega setelah menyanyikan lagu tidur untuk Renji hingga pria itu semakin tenang. Tiga hari setelahnya, Renji samasekali tak ingin diajak bicara. Dia hanya menjawab ketika ditanya, bahkan tak keluar kamar saat Veer pulang dengan Fei Long yang bertamu. Dia juga tak mengantarkan kepergian mereka berdua yang entah akan kemana lagi, sampai-sampai Ginnan mendekati Ryouta karena sudah bingung sekali.

"Ayah," kata Ginnan.

Sebab Renji sudah tak bisa ditanyai, apalagi Nana yang terjebak dalam emosionalnya sendiri.

"Apa?"

Ryouta sedang menguleni adonan roti di dapur saat itu. Dia melirik sekilas, dan Ginnan yang masih menggunakan piama pun mendekat perlahan.

Buang rasa segan, Ginnan harus tahu semuanya meski harus mengganggu calon ayah mertuanya.

"Ayah, maaf soal natal dan tahun baru," kata Ginnan. Dia mulai bicara setelah duduk di depan Ryouta.

"Hm, tak apa. Lagipula kau kan sedang sakit."

Ginnan memainkan kukunya tanpa sadar.

"Maaf juga tidak bisa bantu-bantu lagi," kata Ginnan. "Renji—umn… dia sangat keras melarangku. Dia marah, dan…"

"Ayah tahu, Ibu tahu, tidak apa-apa," kata Ryouta. Dia melepaskan cooking gloves yang dipakai dan kali ini fokus menatap Ginnan. "…kami orangtua dia. Jadi jangan khawatir. Kami lebih dulu tahu sifatnya memang seperti itu kalau sangat mencintai seseorang."

DEG

"Ahh…" Ginnan salah tingkah seketika. "A-Anu, aku tidak tahu akan jadi begitu—"

"Nak, Renji tetap puteraku meski kami pernah terpisah lama," kata Ryouta. Kali ini dengan menepuki bahu-bahu Ginnan. "Dan karena aku sudah yakin, biar kuberitahu satu hal padamu."

"Eh?"

Rona di pipi Ginnan entah kenapa menyebar cepat.

"Ini rahasia, dan sebetulnya tidak ingin kuakui kepada siapa pun bahkan diri sendiri," kata Ryouta. "Tapi, Renji punya bulimia itu karena aku."

DEG

Bola mata Ginnan pun melebar seketika. "B-Bulimia—tunggu… Ayah—kenapa bisa?"

Ryouta menggeleng pelan dan kini tersenyum bingung. Dia melanjutkan ulenan adonannya dengan bahan-bahan yang lain sembari mengungkapkan segalanya. "Percaya atau tidak, waktu kecil Renji itu lebih dekat padaku daripada ibunya," katanya. "Dia jadi anak yang baik, mengikuti semua arahanku, memenuhi harapanku dengan prestasi sekolah, dan kemana-mana ikut seperti anjing kecil."

Ginnan sungguh tak menyangka akan seperti itu. "Anjing kecil…" gumamnya lalu meneguk ludah. "Apa karena itu Ayah memelihara anak anjing sejak Renji pergi?" tebaknya.

"Yeah? Cleo, Gee, dan Len. Mereka semua mengingatkanku dengan Renji yang dulu," kata Ryouta. "Dan—seperti yang kau tahu—hubungan kami merenggang sejak Renji pacaran dengan sepupunya," jeda sebentar yang membuat tenggorokan sakit. "Hm. Waktu itu aku belum benar-benar dewasa. Dan, Renji juga masih sangat awal sebagai remaja. Seharusnya aku tidak perlu semarah itu padanya. Tapi, ya sudahlah. Semua terlanjur terjadi hingga dia pergi."

Ginnan merasakan sakit yang teramat dalam dari pria ini. "Aku masih tidak paham soal ucapan Ayah tadi…" katanya jujur.