Chereads / MIMPI: Takdir Yang Hadir / Chapter 9 - BAB 1 Bagian 3

Chapter 9 - BAB 1 Bagian 3

Aleysha menjambak lengan itu ke arahnya. "Dengar, aku paling tidak suka manusia lemah sepertimu," katanya. "Tapi Rose adalah seseorang yang aku hormati karena suatu hal. Jadi, jika dia menghendakimu mati, aku pun tak akan repot-repot kemari."

"Haha… Bukankah kau sudah menikmati tubuh istri dan anakku?" kata Haru. "Hal macam apa yang membuatmu masih menghormati pelacur sepertinya?" Dia tersungkur hanya dengan satu gamparan keras. Kepalanya diinjak dengan sepatu bot padahal sudah tak bergerak.

"Suamiku, Rose, dan anak-anak kami adalah bukan urusanmu," kata Aleysha. "Jika kau masih bicara macam-macam, maka aku juga tak peduli—"

"Setan…" sela Haru dengan tertawa.

Aleysha pun mengepalkan tangan di sisi-sisi tubuhnya. Dia memejamkan mata, menggilas kepala Haru lebih keras ke tanah itu, baru benar-benar murka. Dia menyeret Haru hingga jejak hitam berlendir membekas di belakang langkah-langkahnya. Seperti onggokan daging busuk, Haru hanya membiarkan dunia di sekitarnya yang terasa tak lagi waras. Ya ampun, padahal ada tetangga yang melihat hal ini di sekitar. Namun mereka hanya diam saja dan membiarkan Haru dibawa ke dalam rumah lewat pintu belakang.

"Siapa yang menyuruhmu untuk melukai anakku!" jerit Rose.

Di ruang tengah, Haru melihat wanita itu duduk di kursi roda dengan wajah pucatnya. Dia lemah, namun anehnya masih sanggup menodongkan sebuah pistol kepada Richard yang masih terengah karena pinggangnya kini sudah bocor. Pria itu tampak kesakitan meski lukanya tidak fatal. Dia meringis-ringis dan menatap Haru benci, namun justru tampak sedih saat Rose menjerit padanya lagi.

Siapa yang memperbolehkanmu membiusnya selama ini?!" kata Rose. Wanita itu menunjuk Sheila yang masih terbaring di sofa panjang. "Aku hanya ingin Haruki tidak mengganggu saja. Tapi ini keterlaluan, Richard. Lihat apa yang sudah kau lakukan kepadanya?"

Selongsong mendadak diangkat lebih tinggi.

"Oke… oke… aku minta maaf soal itu," kata Richard. Luar biasanya, dengan luka itu dia masih bisa merobek kemejanya sendiri, mengikat lukanya, lalu berjalan ke arah kursi roda Rose untuk mengambil pistolnya. "Sekarang berikan ini dulu padaku. Jangan ceroboh. Bilang kau mau apa akan aku lakukan segera. Bagaimana?" Richard mengusap air mata Rose, dan wanita itu menampiknya sebelum menoleh ke Haru.

"Kau menghormatiku, maka aku menghormati dia," kata Rose. Dia juga menatap Aleysha dengan tajam. "Kau juga, Aleysha… kenapa masih diam saja? Richard sudah melukai suamiku. Cepat keluarkan semua pelurunya sekarang!"

Haru tidak tahu bagaimana benarnya pola hubungan mereka bertiga. Namun, fakta Rose bisa mengendalikan Richard dan Aleysha memang benar adanya. Aneh, mengejutkan, mereka berdua bahkan langsung bertandang kepadanya meskipun masih menghembuskan nafas kasar.

Richard mengernyit jijik padanya sebelum menggendong. Aleysha juga ribut menata ranjang hangat baru menyusul ke kamar mandi untuk menyemprot seluruh tubuh Haru. Air keran hangat tak lagi bisa dinikmati. Richard merobek seluruh pakaian Haru daripada lama-lama melepasi. Dan begitu tubuh polosnya sudah bersih, pria itu mengangkat Haru lagi ke ranjang. Aleysha cekatan mengambil peralatan dari laci untuk mengeluarkan peluru-pelurunya.

Haru menatap Rose yang masih mengawasi tiap prosesi itu dengan marah.

Dia tidak peduli lagi akan diapakan, dan besok masih hidup atau tidak. Haru bahkan membuang muka saat semuanya sudah selesai dan Rose yang berkursi roda mendekat padanya.

"Haru, bisa kita bicara sekarang?" pintanya.

"Untuk apa? Mau membahas soal semua pengkhianatanmu?"

"Aku—pertama aku minta maaf soal itu," kata Rose. "Aku tidak berniat begitu, tapi—"

"Aku tidak melarangmu tidur dengan mereka berdua," kata Haru terang-terangan. Richard dan Aleysha pun segera menyingkir dari dalam kamar daripada mengganggu suasana. "Tapi, tolong… Tolong sekali, Rose. Sheila adalah gadis kecil. Bagaimana bisa kau merusaknya seperti itu dan tetap bilang menyayanginya di depanku?"

Rose pun diam. Saat melakukannya, nafsu boleh membuat bola mata dan sekujur tubuh Rose gelap. Namun, jika seseorang semurni Haru mengadili, dia harus apa selain berpikir keras?

"Sekarang bilang, apa kalian bertiga memang melakukannya bersamaan kepada Anakku?"

Anakku. Haru mengatakannya dengan bola mata yang bergulir nyalang. Dia menatap Rose seolah menusuk. Dia sudah tahu apa jawabannya, namun bila wanita ini mengatakannya secara langsung…

"Y-Ya…" jawab Rose terbata-bata.

Haru pun ingin menenggelamkannya ke dasar bumi. "Sejauh apa memangnya?" tanyanya. "Jangan bilang pria brengsek itu juga melakukannya…"

Rose pun diam dan mulai menjatuhkan air mata.

"Benar-benar tidak berotak," kata Haru. Lalu meremas selimut dan membuang muka lagi. "Setelah ini, kumohon… Berikan saja mereka berdua padaku. Kau, pria itu, ah… Kalian bertiga. Bisa buat anak lagi sebanyak apapun. Tapi takkan kubiarkan Sheila atau Sherly mengalaminya lagi di masa depan."

"Maaf, Haru. Kalau itu tidak bisa…" kata Rose. Lalu segera memperbaiki ucapannya. "Kau… Kau tahu kan, aku tidak bisa lagi mengandung dengan aman? Rahimku rusak. Dan aku benar-benar butuh pengobatan untuk bertahan hidup. Sementara Aleysha—kau lihat dia sangat patuh padaku? Itu karena dia senang memiliki Sheila dan Sherly."

Haru diam.

"Haru, please… jauh sebelum aku begini, dia sudah tidak mampu hamil sekali pun hidupnya." Suara Haru dipenuhi tekanan batin.

"—dia memang tidak pantas menanggung tanggung jawab ibu—"

DEG

"Haru, dia pernah mengalami kecelakaan fatal dalam perang—"

"Haha… Haha… kau pikir aku akan peduli soal itu?" tawa Haru, terlepas begitu saja. "Lagipula, terlalu senang bisa dijadikan sebagai alasan meniduri, ya. Aku baru tahu soal itu. Haha… haha… Tolong jangan bercanda denganku, Rose."

"Haru, kau yang kumohon jangan salah paham."

"STOP!"

Rongga dada Haru tetap begitu sesak meski baru berteriak. Dia mengepal, dia memaki, namun semua itu tak cukup membuat Rose mengalah.

"Haru awalnya kami tidak ingin melibatkan dia, tapi—ah… Dia sendiri yang melihat kami," kata Rose dengan panik. "Dia menjerit, Haru. Dia bisa membuat tetangga mendengar. Menurutmu, kalau kami juga tidak menyeretnya, mungkin dia tidak akan pernah paham rasa malu dan membuat kami semua dalam bahaya."

Kepalan Haru makin erat dalam selimutnya. "Sudah cukup," katanya. "Aku bisa muntah kalau kau melanjutkannya."

"Ah…" desah Rose pelan.

Memang ada banyak kesalahan diantara mereka sejak awal. Malam pesta gila itu, pertemuan mereka, takdir aneh yang tak bisa dihindari, dan banyak hal lainnya. Rose tahu, cepat atau lambat hari ini akan datang juga pada akahirnya.

"Lalu apa rencanamu setelah ini?" tanya Rose memecah keheningan.

Haru diam.

"Apa begitu pulih kau akan langsung pergi?" tanya Rose lagi. Suaranya lebih hati-hati kali ini.

Haru baru menyahut pelan. "Ya, tentu," katanya mulai serak. "Aku akan membawa nama kalian bertiga ke pengadilan, lalu mengambil hak asuh Sheila dan Sherly. Puas?"

"Kau…" Rose mencoba menahan kepalan tangannya. "Tapi kau tak bisa melakukan itu."

"Karena kau ibunya dan aku bukan ayahnya? Hmph… Coba saja kau menggungatku cerai dengan alasan-alasan yang konyol…" kata Haru. Dia samasekali tak mau berpaling kepada Rose sedetik pun. "Maka aku akan menunjukkan semua kebusukan kalian bertiga jika tetap saja keras kepala."