"Bagaimana? Apa kau sudah menemukannya?" Tanya Glacia dgn raut wajah penuh harap.
Riven menunduk dan menggeleng. "A-aku... sudah memeriksa semua orang dan tempat-tempat disekitar istana, kalungmu tidak ada dimanapun." Jawabnya kaku.
"Ada apa denganmu? Kau sakit?" Glacia langsung memegang dahi pria berwibawa itu untuk mengecek suhu tubuhnya.
"Putri, aku baik-baik saja." Pria itu mundur beberapa langkah. "Ada sesuatu... yg ingin aku tanyakan..." Ucapnya ragu.
Glacia hanya memutar bola matanya dan duduk diatas kasur dgn tangan yg disilangkan. "Katakan." Jawabnya singkat.
"Tapi aku ingin kau menjawabnya dengan jujur." Sambung Riven.
Glacia agak sedikit cemas dan tegang saat laki-laki itu menatapnya tajam seolah pertanyaannya benar-benar serius. "Ba-baiklah..."
Riven mendekat dan duduk disebelahnya, mengambil nafas dalam dan mulai membuka mulut. "Apa benar.. liontion dari kalungmu yg hilang itu.. berisi giok dari tubuh pangeran Nadish?"
Seketika mata Glacia melotot dan ia berdiri. "Bukan! Tentu saja bukan..!" Jawab Glacia spontan.
Riven menatapnya dgn mata kekecewaan. "Putri Glacia, kau pembohong yg buruk."
"Ka-kau tidak punya bukti, jangan menuduh orang sembarangan!" Protes gadis itu.
"Aku memang tidak punya bukti, tapi seseorang membuktikannya padaku." Jawab Riven.
"Omong kosong! Memangnya siapa yg memberitaumu soal ini? Dia pasti hanya salah satu rakyat yg tidak suka dgnku, kau tau sendirikan.. mereka semua membenciku." Ketus Glacia.
"Tidak heran mereka membencimu! Kau terus berbohong, kau membohongi rakyatmu, Yg mulia Raja, kakakmu Alecta, dan calon suamimu dari negeri seberang. Sampai kapan kau ingin terus menjadi pendusta, Glacia?!" Protes Riven.
Glacia terbelalak dgn ucapan pria itu. Bagaimana tidak? Riven yg biasanya bicara sopan dan lembut padanya tiba-tiba bicara kasar dan membentak. Gadis itu terdiam dengan kalimat yg tertinggal dimulutnya.
Riven yg menyadari bahwa dia sudah meninggikan suaranya langsung menunduk. "Maaf... maafkan aku, Putri Glacia." Ucap pria itu.
Glacia terkekeh palsu dengan senyum yg tak mencapai mata. Air mata perlahan keluar dari pelupuk matanya dan ia terduduk lemas.
"Putri Glacia, maaf atas kelancanganku. Amarah berhasil menguasaiku, jika kau ingin menghukumku maka aku pantas menerimanya." Ucap Riven sekali lagi, dia memang marah tapi saat melihat Tuan putri kesayangannya meneteskan air mata, hatinya luluh dan dia tidak bisa melihatnya.
Glacia menggeleng dan menghela nafas. "Apa kau juga membenciku, Riven?" Tanyanya sembari mengelap air mata dipipinya.
"Aku hanya ingin menuntunmu ke jalan yg benar, putri. Aku sudah berjanji pada mendiang ayahku dan baginda Raja untuk selalu menjagamu, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu..." Jawab Riven.
"Apa kau membenciku?" Tekan Glacia sekali lagi.
Riven terdiam sejenak dan menghela nafas. Ia memegang kedua tangan putri Glacia dan menatapnya dgn lembut. "Aku... sama sekali tidak membencimu. Putri."
Glacia membuang muka dan melepaskan tangannya. Ia berdecih singkat, "Ck. Lalu apa yg akan kau lakukan jika aku mengatakan semua kebenarannya?"
Pria itu tampak berpikir, yg dikatakan Glacia benar, dia sendiri bahkan tidak tau apa yg harus dia lakukan jika Glacia mengatakan yg sebenarnya. Dia menaruh hati pada putri cantik itu dan tidak mungkin mengadukan semuanya kepada ayahnya yg sedang sekarat.
"Aku tidak tau. Tapi aku akan berusaha membantumu, jadi jangan khawatir." Jawab Riven.
"Benar. Kalung yg hilang itu berisi giok tubuhnya Nadish, dan apa kau tau siapa pembunuhnya? Akulah orangnya." Tegas Glacia.
Seketika mata Riven melotot, ia mundur beberapa langkah dgn raut wajah tak percaya. "Tapi.. bukankah pangeran Nadish terkena panah beracun dan putri Alecta juga kena jarum beracun dari salah satu pastor sakti?"
Glacia tertawa, namun masih dgn air mata yg menetes. "Kalian bodoh. Aku yg membayar Pastor itu untuk membunuh Nadish, tadinya aku hanya berencana utk menyiksa kakakku dgn kelumpuhan saja, siapa yg mengira dia malah bunuh diri bersama kekasih tercintanya."
"Ta-tapi kenapa...? Kenapa kau sangat membenci kakakmu sendiri dan pangeran Nadish?" Ucap Riven.
"Karna tidak ada yg memperhatikanku saat kakak masih hidup! Kalian semua hanya peduli padanya, sedangkan aku.. saat aku membuat sedikit saja kesalahan... kalian selalu menghujaniku dengan protes dan hinaan. Kalian selalu membanding-bandingkan aku dengan kak Alecta!"
"Itu tidak benar, putri. Mereka hanya menasihatimu agar kau menjadi orang yg lebih baik lagi, mereka tidak bermaksud untuk membeda-bedakanmu dgn putri Alecta. Aku memperhatikanmu, bahkan saat aku tidak bisa berada di istana lagi.. aku masih berusaha masuk ke dalam istana untuk mengecek kondisimu..." Ucap Riven tulus.
"Sudahlah, aku sudah muak mendengar omong kosong itu...!"
Riven menggeleng, berusaha mengatakan sesuatu tapi ucapannya dipotong oleh Glacia. "Ada saat dimana aku merasa nyaman dan tenang, yaitu saat Nadish menatapku dan melontarkan kata-kata manis padaku..."
"Ka-kau.. kau menyukai pangeran Nadish?"
"Dia orang pertama yg menyadari penderitaanku. Tentu saja aku jatuh hati padanya. Awalnya kukira aku bisa melewati hari-hariku yg buruk dengan kehadirannya, tapi sekali lagi... cahayaku direnggut. Nadish mencintai Alecta."
Riven menundukkan kepalanya. Dia baru tau bahwa ternyata putri Glacia sangat menyukai Nadish.
"Aku tidak tahan lagi. Melihat kemesraan mereka dan banyaknya dukungan dari semua orang untuk kak Alecta, aku merasa dikucilkan.. aku merasa dicampakkan. Saat itulah aku mulai berpikir.. Jika aku tidak bisa memiliki Nadish, maka siapapun juga tidak akan bisa. Aku merencakan banyak hal untuk menjatuhkan kak Alecta dan menghabisi Nadish... dan ya.. aku berhasil." Ucap Glacia dgn senyum yg disunggingkan.
"Tapi, ternyata semesta juga tidak berpihak padaku. Seseorang mengungkap kebenaran tentang sifat asliku di depan rakyat, memberitau semua orang bahwa selama ini aku hanya memfitnah kakakku sendiri hingga menyebabkan dia terbunuh. Sampai sekarang, aku tidak tau siapa orang itu." Lanjut Glacia menunduk.
Riven mengelus tengkuknya dan tampak berpikir panjang. Dia benar-benar tidak tau apa yg harus dia lakukan, dia juga mengerti kenapa Glacia sampai membenci kakaknya.. kala itu, kehidupan Glacia memang kurang beruntung. Dari kecil, ibu dan ayahnya selalu memaksa Glacia untuk melakukan hal-hal yg tidak ia sukai dan selalu membandingkan Alecta dengannya. Riven pernah melihatnya sendiri, tapi dia tidak pernah mengira bahwa rasa bencinya sebesar ini, terutama utk cinta pertamanya, Nadish.
"Kau sudah mendengar semua kebenarannya. Apa kau akan mengatakan ini kepada ayahku dan para menteri, mengumumkan hal ini di depan semua rakyat dan mengasingkanku ke sebuah pulau sebagai hukuman... atau.. memberiku hukuman mati?" Kekeh Glacia.
"Apa yg kau katakan? Tentu saja tidak, putri. Tapi, aku pasti akan memberitau hal ini... setidaknya dengan ayahmu, disaat yg tepat."
"Disaat yg tepat? Ck, mau besok atau sekarang hasilnya tetap sama saja, aku pasti akan diberi hukuman." Ucap Glacia.
"Putri Glacia, aku tidak akan memberitau hal ini pada siapapun kecuali ayahmu. Aku akan berusaha utk melindungimu asalkan..." Pria itu tersentak dan menunduk.
"Asalkan apa? Apa aku harus menuruti perintahmu, kapten? Atau.. tidur denganmu, iya?" Ketus Glacia.
Riven menurunkan alisnya. "Asalkan kau melupakan kalung itu dan berhenti berbohong lagi. Kalungmu sudah ada ditangan kaisar raja laut, ditempat asalnya, jadi mustahil kau bisa mengambilnya lagi, kecuali jika kau ingin perang terjadi. Aku tidak menyuruhmu untuk mematuhi perintahku, tapi aku ingin kau mendengarkanku.. percayalah bahwa aku tidak akan menjerumuskanmu, putri."
Mata Glacia melotot. "Apa katamu? Si-siapa... siapa yg mengembalikannya ke laut'? Kau tau darimana? Apa mereka tau kalau aku yg menyimpannya?"
Riven menggeleng. "Seorang teman, dia yg memberitauku."
"Te-teman.. katamu? Cih, aku tidak tau apakah kau sedang berbohong atau tidak, bisa saja kaulah yg mencuri kalungku dan-"
"Putri Glacia! Temanku adalah seorang naga laut. Kami tidak sengaja bertemu dipantai saat aku sedang mencari kalungmu. Dia sudah berbaik hati dgn tidak memberitau pemimpin mereka bahwa kaulah yg menyimpan tubuh pangeran mereka selama ini." Jawab tegas dari Riven.
"Na-naga laut..." Glacia kembali terduduk lemas. Ia memijat dahinya dan berusaha mengatur nafasnya. "Jadi mereka masih menetap disini walaupun sudah diusir."
"Ini negeri kelahiran mereka, sama halnya dgnmu, mereka tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Walaupun mereka tidak pergi tapi mereka sudah berusaha memindahkan istana mereka ke tempat yg lebih jauh dari sebelumnya, melihat kondisi Nocturnus yg semakin melemah, mereka bahkan memilih utk tidak memanfaatkan situasi ini dan balas dendam. Apa kau tau kenapa?"
Glacia hanya membuang muka dengan mata yg masih berkaca-kaca dan hidung yg memerah. Riven menghela nafas dan mengeluarkan sebuah kalung emas, kalung itu memiliki mainan berbentuk ikan dengan sirip indah dan berkilauan. Pria itu langsung memakaikannya dileher jenjang Glacia, membuat gadis itu tersentak. "A-apa ini..?" Ucapnya.
"Karna mereka ingin memberimu kesempatan. Sebagai ganti kalung lamamu, simpanlah kalung ini sebagai pengingat.. bahwa masih ada yg peduli padamu." Ucap Riven.
Glacia tersentak dan menatap wajah Riven yg sangat dekat dgnnya. Mata mereka saling bertemu dan saling memandangi selama beberapa detik, mata Glacia mulai turun menatap bibir pria itu. Menyadari hal yg akan terjadi jika dia terus seperti itu, Riven menarik diri dan menunduk.
"Ba-baiklah.. hapus air matamu dan jangan lupakan hal yg ku katakan tadi. Kau hanya harus percaya padaku, putri. Aku akan selalu melindungimu." Ucap Riven diakhir kalimat. Pria itu pamit dan keluar dari kamar Glacia, menutup pintunya dgn pelan.
Sedangkan gadis itu masih terdiam diatas kasurnya sembari menyentuh kalung pemberiannya. Tatapan lembut dan ucapan hangat dari Riven berhasil membuat pipinya panas dan memerah. "A-apa.. yg kupikirkan..." Geleng Glacia.
***
"Maaf, Alecta. Aku tidak tau kalo kakek akan mengetahuinya secepat itu." Ucap Nicholas.
Gadis kecil itu hanya menunduk. "Apa aku tidak boleh bermain ke bawah laut lagi?" Ucapnya.
Nicholas tersenyum rengkuh. "Te-tentu saja tidak..! Aku akan.. aku..."
Alecta menghela nafas. "Sudahlah. Aku tidak ingin memaksamu. Kau tidak perlu mencuri ramuan kakekmu lagi atau mencari cara lainnya. Kita bisa bermain seperti biasa." Jawab Alecta.
"Sekali lagi maafkan aku, kau jadi disuruh kakek pulang sekarang... padahal masih ada beberapa menit lagi."
Alecta tersenyum. "Tidak apa. Yg penting aku sudah pernah ke tempatmu dan aku tidak akan pernah melupakan hal itu."
"Ah, begini saja... Aku dan Maui akan kembali ke danau Prospera. Kami akan coba menyingkirkan batu besar yg ditutup oleh ayahku. Kalau kita bertemu dipantai terus, bukankah kau akan kesulitan? Jaraknya dari istana lumayan jauh soalnya." Jelas Nicholas.
"Apa bisa? Takutnya ibumu akan tau, dan kalian akan dihukum utk tidak keluar ke permukaan lagi." Ucap Alecta.
"Jangan khawatir, kami akan berusaha utk tidak ketauan. Nanti akan kukabari jika kami berhasil menyingkirkannya."
"Baiklah. Tapi ingat, aku tidak suka jika kau memaksakan diri. Kalau tidak bisa, tidak apa. Jangan mengambil resiko." Ketus Alecta.
Nicholas hanya terkekeh dan mengangguk. Namun setelah itu senyumnya memudar.. "Aku... teringat dengan kak Riven."
"Oh kapten istana? Jangan khawatir, dia pria yg baik." Ucap Alecta.
"Aku harap begitu, aku percaya padanya. Aku harap dia tidak mengatakan apapun kepada putri Glacia dan membahayakan kami."
"Tentu saja tidak. Kak Riven selalu memegang janjinya. Selain itu, putri Glacia akhir-akhir ini selalu mendengarkannya. Aku juga yakin kalo kak Riven bisa membantu putri Glacia untuk menyadari kesalahannya dan meminta maaf kepada bangsa naga laut."
"Be-benarkah? Tapi kenapa kau seyakin itu..? Ucap Nicholas cemas.
"Ibu bilang, saat seseorang mencintai dgn tulus, kau bisa merasakannya. Saat aku melihat tatapan kak Riven pada putri Glacia, aku benar-benar bisa merasakan sesuatu yg berbeda dari matanya... begitu pula putri Glacia."
"Maksudmu.. Mereka berdua saling menyukai?"
"Entahlah.. Saat putri Glacia melakukan kesalahan, kak Riven berani membuka mulut dan menasihatinya, cara dia bicara dan tatapannya penuh dgn ketulusan. Dan kak Glacia bahkan tidak bisa terlalu marah padanya, aku yakin dia hanya belum menyadari bahwa dia juga menyukai kak Riven."
"Memangnya kau tau apa soal cinta? Hahaha! Jangan asal menebak. Kau pasti kebanyakan membaca buku dongeng." Kekeh Nicholas.
"Hey aku serius! Aku tau hal ini dari ibuku, selain itu aku benar-benar merasakan sesuatu yg berbeda. Apa kau mengerti? Entah kenapa aku sangat sensitif dengan-"
"Ya ya ya.. apapun itu. Aku harap kau benar. Tapi sekarang sudah sore, aku harus segera kembali sebelum ibuku curiga dan keluar mencariku. Kau juga, kembalilah ke istana dan hati-hati dijalan yah."
Alecta mengangguk. "Baiklah. Sampai ketemu besok." Lambainya.
Mereka berdua berpamitan utk pergi. Kaki Alecta sudah kering dan berubah menjadi kaki manusia, ia segera menenteng tasnya dan berlari ke arah menuju istana.