8-
Manik mata Raefal terus memperhatikan Cyra yang saat ini sedang sibuk mengajar di sebuah aula sederhana dengan banyak retakan di dindingnya. Dia terlihat manis dengan wajah datarnya saat mengajar. Banyak anak-anak yang memprotes Cyra, menyuruhnya untuk sesekali tersenyum. Namun, lagi-lagi Cyra yang sangat canggung dan tidak biasa hanya menunjukkan senyum tipisnya.
Ekhem!
Suara deheman berhasil membuat Raefal terkejut bukan main. Pria tampan dengan rambut coklat terangnya mengerjap, melihat Cyra yang sudah berdiri di depannya.
"Eh? Sudah selesai?" tanya Raefal.
Cyra hanya mengangguk tanpa ekspresi. Perempuan itu tampak cantik sambil menggandeng Teressa di sampingnya. Raefal jadi membayangkan bagaimana jika perempuan manis di depannya ini menjadi istrinya dan sedang menggandeng putri kandung mereka. Pasti, kebahagiaan Raefal akan berkali lipat.
"Om Efal! Tessa pokoknya mau belajar ngaji sama Tante Cyra terus!" kata Teressa, membuat perhatian Raefal yang tadinya hanya mengarah pada Cyra kini teralihkan.
"Siap! Nanti Om antarkan Tessa untuk belajar mengaji." Jawab Raefal.
Dia merasa sangat senang saat ini. Bagaimana tidak? Ini merupakan sebuah kesempatan emas untuk Raefal. Dia bisa bertemu dengan Cyra lebih sering lagi. Tak hanya itu, Cyra juga tidak akan bisa menolak kedatangannya. Raefal jadi lebih leluasa untuk mengenal perempuan itu lebih baik lagi, mencoba merebut hatinya dan setelah itu meminang Cyra.
Andaikan Cyra semudah itu untuk jatuh hati, sudah pasti Raefal akan meminangnya detik ini juga. Meminta perempuan itu dari kedua orang tuanya.
"Om tidak mau belajar mengaji juga? Om 'kan tidak pernah mengaji." Tanya Tessa dengan polosnya, membuat Raefal merasa sangat malu. Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu di depan Cyra? Jatuh sudah harga diri Raefal di depan Cyra.
"Tessa!" sentak Raefal dengan mata melotot tajam.
Teressa tidak takut. Dia hanya tertawa kecil, kemudian dengan santainya kembali menjatuhkan harga diri Raefal. "Oh iya, bagaimana Om Efal akan mengaji jika Om Efal saja tidak bisa mengaji…" katanya, membuat Raefal menghela nafas panjang.
Dia berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan keponakannya. "Sudah cukup mempermalukan Om. Oke? Atau Om tidak akan membelikan Tessa mainan lagi."
"Ih Om Efal gak seru. Masa ke anak kecil aja pakai ngancem segala? Dasar Om Efal cupu…" ledek Teressa.
Saat Raefal hendak membalas ucapan Teressa, suara dering ponsel tiba-tiba saja terdengar. Merasa ponselnya berdering, Cyra segera meraihnya di dalam tas, kemudian sedikit menepi untuk menjawab panggilan telepon tersebut.
"Ifrey?" gumam Cyra sewaktu melihat nama sahabatnya di layar persegi panjang tersebut.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Cyra langsung menjawab panggilan tersebut. "Assalamualaikum…" ujar Cyra.
"Waalaikumsalam Ra…" balas Ifrey di seberang sana.
"Ada apa?" tanya Cyra.
Sayup-sayup, Cyra mendengar suara musik dari balik panggilan. Perempuan cantik bermata tajam tersebut kini menyadari bahwa sahabatnya sedang berada di luar rumah.
"Kemarilah, aku sedang ada di café. Temani aku mengontrol café sebentar saja… sudah lama kita tidak bertemu." Kata Ifrey.
Cyra berpikir sejenak. Dia melirik jam tangannya, menyadari bahwa masih ada dua jam lagi sebelum waktu sholat dzuhur tiba. Mungkin, dia bisa mengobrol sejenak dengan Ifrey. Lagipula, benar kata sahabatnya. Sudah lama mereka tidak mengobrol.
"Aku akan ke sana. Kalau begitu, teleponnya kumatikan. Assalamualaikum…" Cyra kini beralih pada Raefal dan Tessa, berniat untuk meminta izin.
"Aku pulang sendiri—"
"Kenapa? Tidak bisa, Ra! Aku yang sudah mengantarmu artinya aku juga yang harus membawamu pulang. Apa yang akan kukatakan pada kedua orang tuamu jika—"
"Aku sudah meminta izin Mommy, kalau begitu assalamualaikum…" gadis itu berlalu begitu saja, meninggalkan Raefal yang langsung mengumpat kesal. "Sialan!"
***
***
Café mewah yang terletak di pinggiran kota kini ada di depan seorang perempuan cantik yang baru saja turun dari sebuah taxi.
Gamis panjang yang menutupi tubuhnya kini terbang bersama dengan angin siang di tengah awan yang mendung. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Dan Cyra kini bergegas untuk memasuki café.
Café milik sahabatnya yang sudah berdiri kurang lebih satu setengah tahun setelah perceraiannya dengan sang mantan suami yang membuatnya memilih untuk pindah kota dan mendirikan bisnisnya di sini.
"Ra!" teriakan seseorang berhasil membuat perhatian Cyra teralihkan pada seorang perempuan manis berambut gelap yang kini sedang melambaikan tangannya.
Mata Cyra yang tadinya tajam kini berbinar sewaktu melihat satu orang lagi di sana. Seorang perempuan dengan manik mata hijaunya dan rambut coklat gelapnya.
"Assalamualaikum!" salam Cyra sembari duduk di kursi dekat kedua sahabatnya.
"Waalaikumsalam Cyra.." balas kedua sahabatnya tersebut.
Tak hanya Ifrey— si rambut hitam di sana. Tetapi juga ada Joe—si rambut coklat yang sangat cantik.
"Akhirnya kita bisa berkumpul bersama setelah sekian lama!" teriak Joe dengan raut wajahnya yang terlihat sangat bahagia.
Joe adalah seorang dokter muda yang cukup cantik. Gadis itu bertemu dengan Cyra dan Ifrey sekitar empat tahun yang lalu. Pertemuan mereka terbilang cukup unik. Saat itu, Cyra sedang naik kereta bawah tanah dan Joe duduk di sampingnya.
Joe yang memang memang sangat ramah mengajak Cyra mengobrol banyak hal. Dari situlah keduanya menjadi dekat, membuat Cyra segera memperkenalkan Joe kepada Ifrey.
"Salahkan Cyra yang sangat sibuk mencari jodoh." Sindir Ifrey pada Cyra yang kini hanya mendengus kesal.
"Salahkan Joe yang terlalu sibuk merawat pasien." Balas Cyra.
Keduanya tertawa bersama, kemudian melirik Ifrey yang masih belum disalahkan oleh mereka. "Sepertinya di sini yang bersalah adalah si janda satu ini… dia terlalu sibuk mencoba melupakan mantan suaminya, SI Pengusaha tampan yang… damn! So hot!" kata Joe dengan nada bicaranya yang sangat ceria.
"Kamu menyebalkan, Joe…" kesal Ifrey, membuat Joe dan Cyra tertawa bersama. Seolah belum puas, Joe kembali melanjutkan. "Siapa itu nama mantan suaminya? Rafael?"
"Raefal Joe." Sahut Cyra membenarkan.