"Cihhhhh....kau harus siap menerima konsekuensi untuk kegagalanmu"
Rahangnya mengeras menahan luapan emosinya
"Saya mohon maafkan saya tuan,orang itu tiba tiba datang entah darimana"
"Apa kau anggap aku bodoh,dia pasti juga mata mata sepertimu"
"Berikan saya satu kesempatan lagi tuan muda"
Jika saja ben tidak sedang menemani ayah ke kansas, mungkin pria ini sudah tak bernyawa saat ini, kali ini pasti mereka jauh lebih berhati hati setelah serangan itu,terlebih lagi pria bernama Akira itu bukan orang sembarangan
"Saya mohon beri saya satu kesempatan lagi tuan"
"Apa yang kau tawarkan untuk kali ini"
"Saya akan membuatnya tak berdaya lalu menyeretnya kehadapan anda"
"Kau yakin dengan ucapanmu,kau terlalu meremehkan mereka"
"Saya pantang menarik ucapan saya lagi tuan Darren"
"Baiklah putrimu taruhannya"
Kepalan tangannya menguat tampak urat urat yang menonjol di sepanjang lengannya,dia menunduk menahan amarah saat putrinya di sebut
"Buktikan ucapanmu"
Pria yang sudah memasuki masa paruh baya itu bergegas pergi meninggalkan ruangan,dengan tubuh tegap dan sorot mata penuh ancaman pikirannya sudah di penuhi rencana keji untuk seseorang.
Di sisi lain seorang pria dengan masalalu kelam duduk tenang menghadap sebuah kanvas yang sudah penuh coretan berwarna,wajahnya ber aura teduh dan tak banyak bicara,dia seperti manusia tanpa hasrat duniawi,benar benar tenang hanya tangannya saja yang bergerak lihai memainkan warna,dering ponsel di sakunya mengusik diamnya,ia segera meraih benda pipih itu,kemudian ia tampak berbicara mengenai hal yang terdengar serius.
Saat panggilan berakhir ia bangkit dengan malas,melepas apronnya dan membiarkan sisa sisa catnya bercecer tanpa di rapihkan.
"Apa ada tugas baru"
"Aaa...seperinya kali ini cukup serius"
"Dia benar benar mempercayaimu ya"
Ujar seorang gadis dengan surai hitam lurus menutupi punggungnya ia masih duduk bersandar di kursi goyangnya,ia tengah membaca beberapa tabloid yang sejak tadi tak kunjung usai di bolak balikan oleh jemarinya.
"Aku harus menemuinya"
"Tentu...sampaikan salamku padanya"
"Jika aku tidak rela bagaimana"
"Kau tak perlu menyampaikannya"
Senyum gadis itu mengembang halus,membuat si pria merasakan kehangatan saat memandangnya.
"Jika aku tak kembali dalam waktu satu minggu,carilah pria lain"
"Apa tugas ini sangat berbahaya"
"kurasa begitu"
"Aku tidak suka mendengar permintaanmu,jadi kembalilah dengan selamat Jeaha"
"Akan ku usahakan,lawanku bukan orang sembarangan,jika sesuatu terasa mengancam nyawamu pergilah ke tempat rahasia kita,tunggu saja aku disana"
"Wakarimashitta"
Pria itu mendekati wanitanya mengecup wajah dan pucuk kepalanya,seperti sedang berusaha meninggalkan jejak yang manis jika ia tak bisa kembali dengan selamat.
penampilan sederhana seorang seniman mendadak berubah menjadi serba gelap dan tampak kejam rambutnya yang melampaui bahunya menyatu dengan baik di balik lehernya,dia biasa berpenampilan begitu dengan rambut yang di ikat agar tak mengganggu pergerakannya,tubuh semampai nya sudah bersembunyi di balik mantel tebal berwarna navy,itu mantel kebanggaannya ada beberapa senjata rahasia di dalamnya,setelan celana hitam dan kemeja biru mudanya di padukan dengan mantel berwarna navy yang seperti menenggelamkan tubuhnya itu membuat orang yang melihatnya akan menduga ia hanya seorang pria parlente dari kalangan atas bukan seorang kriminal yang sedang berkamuflase.
Jeaha melajukan porsache hitam miliknya tanpa peduli jalanan masih sedikit licin.
Tatapan matanya sayu tapi penuh kebencian,dia melaju ketempat yang sudah di tentukan,dalam lubuk hatinya ia ingin lepas dari ikatan dunia kelam itu,ia ingin menjalani hidup sederhana di tempat terpencil dan tersembunyi,tak di kenal orang rasanya itu lebih baik,hidup dengan caranya sendiri,tanpa harus terikat oleh aturan orang lain meski kadang aturan itu tidak di buat dengan sengaja tapi secara naluri dia masih seorang manusia yang mengerti balas budi,yaa...kali ini Jeaha bukan menjalankan perintah karena tekanan seseorang tapi karena naluri manusianya,ia ingin membalas budi kepada seseorang.
Ia sudah berpindah dari kursi kemudi menjadi di sebuah restoran ala tradisional jepang.
"Konichiwa Jeaha san,Genkidesuka"
Sapaan yang sudah lama tak ia dengar dari orang di hadapannya, disusul senyuman khas yang tampak di buat buat
"Seperti yang kau lihat,aku masih hidup dengan baik lalu bagaimana kau? "
"tentu saja seperti yang kau lihat"
kedua pria muda itu terkekeh bersamaan
"Kukira kau akan tampak tua setelah kita lama tak bertemu, tapi kurasa dugaanku salah kau masih menawan"
"ohh.. terimakasih untuk basa basi nya"
" Baiklah,coba kau lihat ini apa kau mengenalnya"
ia menyodorkan selembar polaroid pada Jeaha untuk diamati, Jeaha tersengih
"Ya tuhan bocah ini apa dia membuat masalah"
" menurutmu bagaimana? "
"Dia suka melakukannya"
"Apa kau bisa mengurusnya"
Jeaha tampak berpikir, wajah di dalam polaroid itu ia mengenalnya bahkan sangat kenal
"Hai... hai.. meski ini tak cukup sulit tapi aku takkan meremehkannya"
"Aku percaya padamu kau selalu begitu,selalu bisa ku andalkan"
"Aku meminta bayaran tinggi untuk tugas ini"
"Aku sudah menduganya,kau tak perlu membunuhnya"
"soo desu, aku pun tak ingin mengotori tanganku dengan darahnya"
"Baiklah kurasa aku harus pergi"
Pria itu segera bangkit dari duduknya,berlalu meninggalkan Jeaha yang masih menatap polaroid di tangannya
Di satu sisi di ruang rawat pasien seorang pria terkapar dengan beberapa selang yang menempel di tubuhnya nafasnya sangat lemah ia masih memejam dengan perban yang melingkari sebelah pundaknya hingga ke dada.
Akira bergegas masuk setelah mendapat izin, ia benar benar di penuhi rasa penasaran akan identitas pria itu ia melangkah mendekati ranjang pasien mencoba menerka wajah siapa yang akan ia lihat.
Matanya membulat saat pandangannya menangkap wajah pria malang itu
"Akio Ojisan"
Gumamnya lirih dan tertekan, sekali lagi ia amati wajah itu jantungnya berdegup tak beraturan,namun ada yang mengganjal di pikirannya
"Tidak,wajahnya terlalu muda"
perasaan dan pikirannya berkecamuk, pria itu sangat mirip dengan pamannya tapi jika itu memang pamannya seharusnya pria itu jauh lebih tua darinya, bagaimana mungkin pamannya malah terlihat seusia dengannya, tapi garis wajah pria itu benar benar mirip dengan pamannya.
"Apa dia benar benar paman Akio atau orang lain"
Akira terduduk di sofa di ruang pasien,bagaimana mungkin itu pamannya sementara wajahnya begitu muda,akankah dia menghubungi kakeknya untuk memastikan,tapi batinnya menolak ia tak ingin membuat keributan di rumah dengan pembicaraan pamannya yang sudah dianggap mati, rasa penasarannya membuat ia ingin segera membangunkan tubuh tak berdaya itu hanya untuk memastikan apakah itu pamannya atau bukan,tapi tentu saja ia takkan melakukan hal semengerikan itu, ia bertekad menunggu si pria malang itu hingga ia siuman hanya untuk memuaskan rasa penasarannya.