Chereads / Mencintaimu Salahkah Aku / Chapter 8 - Teman Sejati

Chapter 8 - Teman Sejati

Matahari nampak bersinar dengan begitu sempurna. Lisa bersiap untuk melakukan aktifitas pagi dengan penuh semangat.

Berangkat kerja lalu pulang dengan perasaan bahagia selalu menjadi impian banyak orang, sebisa mungkin Lisa membuat setiap harinya penuh dengan kebahagian. Walaupun sekarang keadaan Lisa sedang tidak baik-baik saja. lisa masih kepikiran tentang perkataan yang di ucapkan oleh Ayahnya.

"Pagi, Ibu, Ayah, para Abang-abangku yang ganteng." sapa Lisa penuh semangat.

"Pagi juga Dek..." jawab mereka serempak.

Lisa menyapa dengan penuh rasa bahagia seolah semalam enggak terjadi apa-apa. 

Lisa sangat yakin kalau Ayahnya enggak akan memaksa kehendak anak-anaknya, mungkin semalam Ayahnya terlalu terbawa perasaan karena anak tetangga depan sudah menikah di usia yang masih muda yakni 21 tahun. Sedangkan Lisa yang sudah mulai berumur 24 tahun masih sendiri alias jomblo.

Lisa hanya bisa menertawakan hidupnya yang seperti ini. Teman satu angkatannya sudah ada yang menikah bahkan sudah ada yang mempunyai seorang anak. Apalah daya, Lisa, hanya bisa menunggu hilal jodohnya itu turun.

"Ouwh ya, Bu, Yah hari ini Mas pulangnya agak telat."

"Iya, Mas. Kok semalem enggak bilang kalau mau lembur tahu gitu tadi Ibu masaknya di lebihkan buat kamu." Ibu bangkit lalu mengambil tempat makan.

"Maklum, Bu, Mas kan sudah tua." ejek Lisa sambil mengambil piring.

"Kamu itu kalau mau lembur malamnya bilang sama Ibu biar nanti masakannya di lebihkan." sambung Dito.

Sudah menjadi suatu kebiasaan Arman kalau dirinya lembur pasti enggak bilang sama orang rumah, alasannya selalu karena "lupa" mana ada lupa saat lembur saja. pasti ada alasan lain yang buat Arman enggak mau bilang sama Ibu dan orang rumah.

"Iya sudah nggak apa-apa. Bu, anaknya jangan di marahin." bela Ayah.

Arman yang mulanya enggak di bela sama siapa-siapa begitu tahu Ayah membela dirinya sangat senang lalu menujukkan senyum lima jarinya.

"Lihat deh, Bu, Ayah aja nggak apa-apa kok. Iya 'kan, Yah."

Ayah yang merasa di ajak bicara hanya menjawab dengan anggukkan kepala.

Sarapan pagi berjalan dengan sedikit adanya drama. Arman sudah menenteng bekal yang di bawakan oleh Ibunya, sementara Lisa menunggu Dito mengeluarkan motor dari dalam bagasi. Berhubung Lisa kerja di tempat Abangnya, harus berangkat dan pulang bersama dengan Dito.

"Iya sudah kalau begitu, kami pergi kerja dulu ya, Yah, Bu." pamit Lisa sambil mencium telapak tangan Ibu dan Ayah secara bergantian.

"Iya, Nak, kalian berdua hati-hati di jalan ya dan buat Lisa jangan lupa harus mulai cari tempat kerja yang baru." pesan Ayah.

"Udah, Yah, jangan mulai lagi kasihan Adek nanti kerjanya jadi nggak maksimal." Ibu sampai sekarang masih curiga kenapa suaminya ingin sekali minta anak perempuan mereka untuk pindah kerja.

"Kami pergi dulu, Yah, Bu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." jawab mereka serempak.

***

Lisa melihat jalanan dengan pikiran kosong. Enggak biasanya Ayahnya ngotot minta dirinya pindah kerja. 

Dito melihat Lisa dengan raut wajah sedih lewat spoin motornya. Dito juga enggak bisa berbuat apa-apa kalau Ayahnya sudah berbicara, namun yang jelas Dito yakin kalau Ayahnya hanya ingin yang terbaik buat anak-anaknya.

"Sudah, Dek, jangan terlalu di pikirkan ucapan Ayah. Nanti Abang bantuin buat cari kerja yang baru." hibur Dito.

Lisa tahu pasti teman satu kubikelnya merasa kalau dirinya sedikit berbeda untuk hari ini, tetapi Lisa juga belum bisa cerita. Mungkin nanti kalau suasana hatinya sudah agak mendingan, dia akan bercerita sama teman-temannya.

Lisa bekerja dengan serius tetapi enggak bisa di pungkiri kalau saat ini hatinya sedang tidak ada di kantor melainkan di rumah. Edo dan teman-teman satu kubikelnya sudah tahu kalau saat ini temannya sedang ada masalah.

Anita sebagai teman yang bisa paling mengeri Lisa penasaran, kira-kira apa masalah yang sedang di hadapi oleh sahabatnya saat ini.

***

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul jam 12.00. Anita jadi enggak sabar ingin segera menanyakan masalah dari Lisa. Dito keluar dari ruangannya hendak mengintruksi pada karyawaannya kalau sekarang waktunya untuk istirahat.

"Hai guys.... yukk kita istirahat dulu, sudah waktunya jam makan siang." ucap Dito bersandar di kubikel Lisa.

"Baik, Pak." jawab mereka serempak.

Setelah memberikan intruksi Dito terlihat menatap wajah adiknya dengan serius, seperti memancarkan aura kesedihan. Dito sangat tahu apa yang di rasakan oleh saudara kandungnya karena adanya ikatan darah di antara keduanya.

"Yuk, Dek kita makan sang bersama yuk." ajak Dito.

Lisa menggelengka keepala. "Eum... maaf, Bang tapi kalau boleh aku mau makan siang sama Anita, saja." jelas Lisa.

Dito berpikir sejenak. Apa sebaiknya dia memberikan waktu untuk adiknya mencurahkan isi hati bersama sahabatnya, atau justru sebaliknya meminta adiknya untuk tetap ikut bersamanya.

Dito membungkukkan sedikit badanya. "Baiklah kalau gitu, Abang akan kasih Adek waktu untuk sendiri tetapi janji ya setelah pulang dari kantor kamu harus menceritakan semuanya." pinta Dito sambil berbisik.

Lisa mengangguk pelan. "Iya, Insya Allah, Bang. Terima kasih banyak ya, Bang." ucap Lisa tulus.

"Iya, Dek." jawab Dito singkat.

Lisa mengambil dompet dan ponselnya. "Baik kalau gitu, Adek pergi dulu ya, Bang. Assalamulaikum." pamit Lisa.

Dito menatap punggung Lisa, dia berharap semoga saja dengan adanya Lisa cerita sama Anita bisa membuat adiknya sedikit tenang. Enggak cuman itu, Dito juga berharap semoga saja Ayah mereka mau mengubah keputusannya.

Lisa bersama dengan Anita, Edo dan teman satu kubikelnya memilih rumah makan nasi padang. Pilihan makan siang yang tepat untuk para pegawai seperti Lisa dan teman-temannya. Bukan tanpa alasan menjadikan nasi padang makanan yang favorit, porsinya banyak dengan harga yang sangat murah di kantong.

Nasi padang ini letaknya sangat strategis dekat dengan kantor dan Mall. Pertama kali datang ke rumah makan ini, kita akan di sambut dengan pelayan yang sangat ramah, iya kalau pelayannya pasang muka cemberut engak bakal ada yang mau mampir.

Lisa dan teman-teman memilih tempat yang paling nyaman yaitu di dekat jendela. Pilihan yang menjadi semua orang, selain mendapatkan udara yang segar tetapi juga bisa menjernihkan pikiran.

"Ada masalah apa, Lis." tanya Anita to the point.

Lisa sangat beruntung punya teman-teman yang sangat peduli dengannya. Kepedulian temannya inilah yang membuat Lisa menjadi sangat sedih dan enggak sanggup harus pindah tempat kerja.

Air mata sudah mulai mengalir deras membasahi kedua pipinya. Teman-temannya pun sedikit bingung dengan keadaan Lisa hari ini.

"Hai... kamu kenapa, Lis?" tanya Anita mencoba merangkul sahabatnya. Tak. hanya satu orang yang memeluk, Lisa, teman yang ada di meja makan ini merangkul Lisa dengan erat, mengatakan kalau dia tak sendirian.