Dito bukannya jawab pertanyaan Lisa hanya di tanggapi dengan senyum manisnya.
"Kalau misalkan ada dua orang laki-laki yang mau memperebutkan kamu gimana, Dek?" tanya Dito.
Lisa hanya mengangkat bahu. "Entahlah, Bang, yang sedang aku pikirkan sekarang bagaimana caranya biar Ayah enggak minta aku buat berhenti kerja di tempat Abang." Lisa suka sedih jika mengingat hal itu. Kenapa Ayahnya sebegitu ingin dirinya untuk pindah kerja.
"Jadi kamu akan menolak dua laki-laki ini, Dek? Seriusan mau di tolak?" Dito mencerca dengan pertanyaannya. Dan lagi-lagi jawaban Lisa hanya mengangkat bahu menandakan kalau dia enggak tahu harus menjawab apa.
"Aku enggak tahu, Bang." jawab Lisa bingung. Namun yang lebih dia bingungkan lagi kenapa Bang Dito mengajaknya ke tempat ini kalau hanya bertanya enggak jelas seperti ini.
"Sekalipun itu yang memperebutkan kamu salah satunya adalah Ali? Kamu tetap enggak mau, Dek?" tanya Dito lagi.
Uhuk... Uhuk... Uhuk.
Hanya karena pengandaian dari Abangnya, Lisa jadi tersedak saat menyeruput minuman. Tolong coba di bayangkan saja, mana mungkin seorang Ali memperebutkan perempuan seperti dirinya, hati ini bisa goyah jika itu terjadi.
"Udah deh, Bang enggak usah kebanyakan berkhayal. Nanti jatuhnya aku jadi berharap yang lebih loh." Lisa sebal.
Mungkin saat liburan nanti Lisa harus membawa Abangnya ke tempat rukqiyah, sepertinya kabel otak Abangnya ada yang putus.
***
Flashback
Dito sangat tahu bahwa Adiknya masih mengharapkan sosok laki-laki yang menjadi cinta pertamanya. Sebagai seorang Abang yang pertama, Dito hanya ingin yang terbaik buat Adik-adiknya.
Dito juga enggak ingin kalau sampai ada orang yang membuat Lisa sedih dan patah hati. Namun beda ceritanya kalau laki-laki itu mendatangi dirinya dan menjelaskan semua yang terjadi di masa lalu.
***
Ponsel Dito berdering saat dia sedang memeluk guling dengan begitu mesra seolah tidak ada lagi hari untuk memeluknya lagi.
Tring... Tring... Tring.
Dito meraba meja lalu mencari dimana keberadaan ponselnya dengan mata yang masih mengantuk. Ini jam berapa sih mengganggu tidurnya saja.
Dimas mengeryitkan dahi. Ini nomor ponsel siapa, kenapa enggak ada di kontak ponselnya.
Dito sempat berpikir untuk tidak mengangkat tetapi bagaimana kalau ini telefon penting. Ya sudahlah di angkat saja.
"Assalamualaikum, ini siapa ya?" tanya Dito malas.
"Waalaikumsalam, bener ini dengan Abang Dito? Abangnya Lisa?" tanya seseorang di seberang sana.
Dito jadi heran kenapa orang ini tahu namanya dan juga Adiknya. Maunya apa orang ini.
"Iya betul, ini siapa ya?" tanya Dito lagi.
Hening sejenak tidak ada jawaban dari orang yang menelepon Dito.
"Hai... masih ada orang di sana?"
"Eh... iya ada, Bang. Maaf tadi ada pesan masuk." elak si penelfon. "Ini saya, Ali, Bang teman dari Lisa."
Deg! Mau apa ini bocah nelfon dia setelah beberapa abad menyakiti Adiknya. Timbul perasaan marah dari sisinya sebagai seorang Abang.
Dulu, Lisa pernah memberikan nomor ponsel Ali sama orang satu rumah karena enggak tahan melihat Lisa di sakiti oleh orang yang bernama Ali. Namun sayang, Dito enggak mau menyimpan nomor laki-laki yang menyakiti Adiknya.
"Mau apa lagi kamu telefon saya? Mau menyakiti Adik saya lagi?" tanya Dito agak marah. Namun sebisa mungkin Dito meredam perasaannya.
Ali tertawa singkat. "Keep calm, Bang. Saya hanya ingin berbicara sama Abang secara baik-baik kok."
"Langsung saja kamu mau bicara apa?"
Dito sudah sangat malas basa basi dengan laki-laki ini.
"Bisa kita ketemu, Bang? Saya mau menjelaskan kejadian beberapa tahun yang lalu." pinta Ali.
Dito sangat heran kenapa laki-laki ini mau mengajaknya buat ketemu. Dia mau menjelaskan apa.
"Mau ketemu dimana?" jawab Dito singkat.
Ali menghela napas lega. "Kita ketemu di cafe dekat kantornya Abang Ali, gimana?" tawar Ali.
Ini orang nyalinya gede juga ya, mau ketemu dengan Abang dari perempuan yang telah dia sakiti. Dito sedkit salut dengan Ali karena menjadi laki-laki yang gentlemen.
"Oke, kita ketemu nanti saat jam makan siang di cafe dekat kantor saya." Dito setuju, lumayan enggak perlu mengeluarkan motor, bensin jadi aman.
Dito melihat Lisa sedang makan siang bersama temannya. Syukurlah jadi dia bisa pergi tanpa harus di tanya oleh Adiknya.
Dito harus merapikan penampilannya, bukan apa-apa ya hanya saja Dito enggak mau kalau Ali melihat penampilan dia yang kusut pasti laki-laki itu berpikiran "Untung enggak terima Lisa jadi pendamping, lihatlah penampilan Abangny aja kusut begini."
Memang sedikit agak berlebihan namun Dito ingin memperlihatkan kepada Ali kalau Lisa punya Abang yang ganteng dan sekeren dirinya.
Ting...!
Satu pesan masuk di ponselnya, Dito merogoh saku celana untuk melihat siapa pengirimnya.
Ali : "Bang, saya sudah sampai di tempat meja nomor 5."
Yaps! Pengirim pesannya adalah Ali. Dito engak membalas pesan tesebut hanya di baca saja.
Dito berjalan menuju tempat tunggu. Masih ada beberapa karyawan yang berkutat dengan komputernya masing-masing.
"Kalau sudah selesai jangan lupa pada makan siang ya." ucap Dito kepada karyawan yang ada di sana.
"Baik, Pak." jawab mereka serempak.
Dito selalu memperhatikan para karyawannya, dia enggak mau kalau misalkan ada salah satu karyawan yang terlalu serius dengan pekerjaan sehingga lupa makan nanti ada yang sakit pekerjaan jadi bertambah.
Dito keluar dari pintu kantor lalu melihat cafe yang di maksudkan oleh Ali.
Gila! Ini anak cuman makan siang ngajaknya di cafe mewah begini.
Memang di kantor Dito banyak sekali cafe sangat cocok untuk yang berkantong tipis, sedang dan tebal. Tinggal pilih saja mau makan di cafe yang berkantong apa.
Dito jadi berpikir kira-kira apa pekerjaan si Ali Baba itu, kenapa mengajak di tempat mahal seperti ini.
Dito celingukan mencari keberadaan Ali. Mohon untuk di maklumi karena sudah beberapa tahun enggak ketemu dengan yang namanya Ali.
Coba aja yang di hubungi oleh Ali itu Arman pasti enggak akan pernah mau untuk di ajak ketemu. Karena Arman sangat menyayangi Lisa. Bukan berarti Dito enggak sayang sama Lisa hanya saja Dito ingin Lisa mendapatkan apa yang dia inginkan.
Ali melambaikan tangan menandakan kalau dia ada di sana. Dito yang melihat itu langsung berjalan menghampiri Ali.
Ali bangkit berdiri. "Assalamualaikum, Bang." sapa Ali sambil berjabat tangan dengan Dito.
"Waalaikumsalam, Li. Maaf kalau telat ya." jawab Dito formal.
Ali menganggukkan kepala. "Iya nggak apa-apa kok, Bang." mana berani Ali marah hanya karena masalah sepele.