Ibu hanya bisa menggelengkan kepala, ada aja kelakuhan setiap anak-anaknya.
Petang! Tanpa ada penerangan di luar rumah. Iya... iyalah namanya juga di luar rumah, yang ada cuman lampu penerangan jalan bukan kasur berjalan.
Semua keluarga sudah berkumpul, waktu yang sangat pas untuk mendengarkan cerita tentang kegiatan sehari-hari.
Lisa menyendiri di kesendirian dinginnya malam bersama dengan bantal dan guling. Dia jadi memikirkan ucapan Ayah sama Ibunya, katanya Ayah mau bicara serius dengan dia. Kira-kira hal penting apa yang akan Ayah bicarakan.
Terakhir kali, Ayah minta waktu Lisa itu seminggu yang lalu yang meminta dirinya untuk pindah tempat kerja. Apakah ini juga sama, Ayah akan minta, Lisa bukan sekedar pindah kerja melainkan juga menikah.
Come on guys, Lisa ini enggak tua banget masa harus di suruh nikah, lagian kedua Abangnya juga belum ada yang nikah. Lisa juga paling benci sama orang yang bilang "Langkah kaki laki-laki panjang dalam artian mau nikah umur berapa pun juga bisa kasih keturunan tetapi kalau perempuan langkahnya pendek."
Lisa juga pengin kok segera menikah menyusul Aisyah yang kini, sedang di taarufi sama seseorang. Namun apalah daya, sampai saat ini belum ada laki-laki yang punya niat seperti itu sama dirinya.
Seseorang kalau jodohnya cepat alhamdulillah namun kalau seperti Lisa mau gimana lagi, harus sabar menunggu. Iya kali, dia ketemu laki-laki di jalan terus bawa ke rumah minta buat halalin dirinya, nanti yang ada di sangka Lisa kurang waras alias gila.
Memang ada laki-laki yang datang di kehidupan Lisa, tetapi kenapa harus masa lalunya. Ali juga sih masalahnya harus datang kembali seperti mas poci.
Di sisi lain, Lisa juga enggak bisa menyalahkan laki-laki di luar sana. Siapa suruh yang minta dia untuk masih stay di masa lalu.
Lisa jadi berpikir kembali, memang sudah saatnya dia untuk membuka hati untuk laki-laki baru dan melupakan Ali untuk selamanya. Ali memang datang di kehidupannya Lisa lagi namun dia juga enggak tahu Ali mau mengklarifikasi masa lalu yang bagian mana.
Lisa juga enggak menampik kalau dia masih mengharapkan Ali, namun sebisa mungkin Lisa akan melupakan masa lalunya.
***
Lisa sangat bingung dengan keadaan hatinya saat ini. Kenapa juga dia harus memikirkan ucapan Ali yang tidak di jamin kebenarannya.
Lisa benci harapan dan saat ini dia sedang berharap bahwa Ali akan benar-benar ke rumah. Menemuinya, kedua Abangnya dan orang tuanya.
Stop! Lisa enggak boleh berharap terlalu banyak sama Ali.
Tok... Tok... Tok.
"Dek, ini Ibu, mau masuk." Ibu memegang knop pintu. Ibu enggak bisa langsung masuk karena pintu kamar Lisa di kunci.
"Iya sebentar Bu," Lisa bangkit lalu membuka pintu dengan cepat.
Lisa memeluk Ibu yang masih mengenakan mukena. Kalau seperti ini, kecantikan Ibu lebih bersinar dua puluh kali lipat.
"Adek, lagi apa?" tanya Ibu basa basi.
Ya, percakapan pada umumnya Ibu harus membuat lawan bicaranya nyaman biar terasa nyaman untuk di ajak bicara.
"Lagi tidur aja, Bu." Lisa lagi malas ngapai-ngapain. Ya mohon di maklumi karena habis ketemu seseorang di masa lalu.
Ibu membelai rambut Lisa. "Dek, tadi Ayah pesan sama Ibu katanya habis salat isya' nanti Ayah mau bicara sama Adek."
Lisa terlonjak kaget. "H-hah, emang mau bicara soal apa, Bu?"
Lisa heran kenapa sih Ayahnya tiba-tiba seperti ini. Jadi benar pembicaraan yang tidak sengaja Lisa dengar tadi.
"Emang, Ayah mau bicara soal apa, Bu?" tanya Lisa pura-pura enggak tahu.
Ibu mengangkat bahu. "Entahlah, Dek, kita tunggu nanti aja."
Huft... Sudah Lisa duga pasti Ibunya enggak tahu apa yang nanti Ayah bahas.
"Iya udah, Bu." jawab Lisa singkat.
"Ibu, ke kamar dulu ya, Dek mau ngaji dulu. Assalamualaikum." pamit Ibu lalu menutup pintu kamar Lisa.
"Waalaikumsalam, Bu."
***
Lisa tahu kalau Ayahnya pasti akan berada di masjid sampai selesai salat isya'. Ya kalau Ayah lagi enggak sibuk pasti akan sekalian salat di sana tanpa pulang ke rumah dulu.
Alhamdulillah jarak antara rumah dengan masjid tidak terlalu jauh. Ayah benar-benar pintar dalam mencari rumah.
Tok... Tok... Tok.
Seseorang mengetuk pintu kamar Lisa. Dia jadi heran kenapa orang yang mengetuk pintu itu tidak mengucapkan salam atau apa.
"Siapa?" tanya Lisa memastikan. "Ini Ayah, Dek, boleh Ayah masuk ke dalam?"
Lisa merapikan tempat tidur yang sedikit agak berantakan.
"Iya, masuk aja, Yah, pintunya enggak di kunci kok," teriak Lisa.
"Lagi apa, Dek? Ayah ganggu kamu apa enggak?"
"Enggak kok, Yah, cuman lagi baca novel aja. Kenapa, Yah?" Lisa menunjukkan novel kesukaannya. "Ada yang mau, Ayah bicarakan sama kamu." jeda Ayah. "Ibu, sudah bilang 'kan sama kamu,Dek?" tanya Ayah.
Lisa mengangguk. "Iya tadi, Ibu sudah bilang kok sama Adek, Yah."
"Ya udah, yuk kita keluar kumpul sama Ibu dan Abang." ajak Ayah menggenggam tangan Lisa.
Sebagai seorang anak yang baik Lisa ikut apa kata sang Ayah.
***
Di sana sudah ada Ibu, Dito, Arman yang kumpul dengan bersendau gurau. Lisa memilih duduk di samping Ibunya, kalau dia duduk di samping kedua Abangnya sudah dipastikan dia akan menjadi bulian dari kedua Abangnya.
"Duduknya di sebelah, Kakak, aja sih, Dek." ucap Arman cemberut.
"Enggak mau, nanti di buli sama kalian." Lisa menjulurkan lidah.
Dito tertawa terbahak-bahak melihat Arman yang gagal membujuk Lisa untuk duduk bertiga. Sedangkan Arman yang di tolak sama Adiknya memasang muka yang cemberut.
Lisa sudah bisa menebak isi pikiran Arman, makanya dia tolak mentah-mentah tanpa ada basa basi.
"Udah... udah... udah. Jangan bahas itu dulu, ada yang mau Ayah bahas ini sangat penting." Ayah memandang Lisa. "Dan sangat penting banget untuk Lisa."
Lisa jadi semakin penasaran kira-kira apa yang akan Ayahnya bicarakan kali ini. Apa mungkin Ayahnya akan berpikir ulang tentang pemindahan kerja.
"Mau bicara soal apa, Yah?" tanya Dito penasaran.
"Sebentar, Yah, sebelum kita bahas masalah yang serius, Kakak, mau ambil camilan dulu."
Arman berlarian menuju dapur untuk mengambil beberapa camilan.
Abang kedua dari Lisa alias Arman selalu bisa merubah suasana yang serius menjadi sedikit keep calm. Ada aja tingkahnya yang buat orang rumah menggelengkan kepala.
Lisa sudah mengeluarkan keringat dingin sekujur tubuhnya. Dia takut kalau Ayahnya semakin menekan dirinya untuk segera keluar dari tempat kerja Dito.