Chereads / HEY, YOU! / Chapter 13 - COFFE LAGI...

Chapter 13 - COFFE LAGI...

"Susah ya jadi Dokter, nggak bisa mengekspresikan perasaannya dengan bebas karena banyak yang ia semangati untuk sembuh."

Agnes menoleh ke arah pintu, pada lelaki yang mengucapkan kalimat itu. Ia mengerutkan keningnya bingung.

"Maksudnya?" tanya Agnes heran.

"Kamu dari mana?" tanya Richard mengalihkan pembicaraan sambil senyum-senyum sendiri.

"Baru dateng, lagi ngeliatin mata panda. Eh ...,"

"Kenapa?" tanya Richard menoleh.

"Iya itu kamu belum jawab aku nanya maksudnya?" ujar Agnes berjalan menghampiri Richard.

"Iya, kemarin kamu nangis ... tapi sekarang kamu tersenyum seakan nggak ada apa-apa."

Agnes tersenyum. "Bukannya sedih nggak boleh berlarut-larut!"

Lelaki itu mengangguk sambil tersenyum. "Iya, tapi sorot matamu nggak bisa bohong," ucap Lelaki itu.

Agnes hanya tersenyum sambil merogoh kantong snellinya. "Oh iya, ini sapu tanganmu udah aku cuci, thanks," ujar Agnes lalu menyerahkan sapu tangan lelaki yang tidak ia ketahui namanya.

"Sama-sama," ujar lelaki itu sambil mengangguk tersenyum..

****

Setelah mengoleskan serum di matanya agar mata panda itu cepat menghilang, Agnes melepaskan snelli, menggantungnya di stand kayu tempatnya biasa meletakkan tas, kunci mobil dan juga snellinya.

"Betapa banyaknya pekerjaan ini," ucap Agnes setelah melihat tumpukan berkas pasien yang tak pernah berkurang di ruangannya, belum lagi pekerjaan tentang rumah sakit yang ada di laptopnya.

Ceklek ....

Suara pintu terbuka bertepatan dengan Agnes yang baru membuka salah satu berkas pasien di hadapannya. Dari balik pintu muncul Anna bersama kantong plastik berwarna merah dengan senyuman di bibirnya.

"Kenapa?" tanya Agnes melihat Anna.

"Ini Dok, ada titipan dari cowok," -Anna tersenyum menggoda-"Namanya Reyhan."

"Reyhan?" ulang Agnes. "Apa itu?"

"Coffe starbucks kayanya," jawab Anna sambil meletakkan plastik di meja Agnes.

"Oh, coffe lagi..., makasih ya Na, kamu ketemu di mana?"

"Ketemu di lobby tadi," jawab Anna."Nggak sengaja papasan."

Agnes mengangguk lalu membuka bungkusan itu, ia menemukan dua cup coffe dan sepucuk note.

'Maaf untuk yang semalam, aku nggak bermaksud. Aku harap kamu nggak marah ya karena terlalu lama menunggu. Btw, ini aku belikan coffe untuk mengawali harimu, have a nice day, Sya.'

Setelah membaca pesan di note itu, Agnes mengambil satu cup coffe dan memberikannya pada Anna.

"Loh Dok, kok dikasih ke saya?"

"Kamu mau saya kena asam lambung gara-gara minum banyak coffe?" cetus Agnes menatap Anna lurus.

Anna nyengir. "Makasih ya, Dok."

Agnes mengangguk. "Ya udah, siap-siap kita visit pasien sebelum jadwal operasi jam 10."

"Oke, Dok." Anna pergi meninggalkan Agnes yang senyum-senyum sendiri setelah membaca note dari Reyhan.

Lihat? Betapa labilnya Agnes, baru semalam ia menangis dan tidak ingin membuat hatinya terus-menerus berharap pada Reyhan. Tapi, baru diberikan perhatian sedikit saja pipinya sudah seperti kepiting rebus.

"Jangan salahkan aku, kalau aku tidak bisa menghilangkan perasaan ini dan malah membuatnya semakin besar," gumam Agnes lalu menyeruput kopinya dengan acuh.

*****

Beberapa jam yang lalu, Agnes berada di ruang meeting bersama paman, ayah, dan beberapa orang kepercayaan di rumah sakit ini. Dan kini Agnes sedang berjalan menuju ruangannya setelah menyelesaikan meetingnya.

"Hem, ku kira gampang ternyata sulit juga nyari bukti-bukti ini," gumam Agnes. "Mungkin emang harus kordinasi sama komite rumah sakit, biar lebih cepat kerjanya."

Agnes menghela nafas berat. Baru saja ia menyelesaikan visit paginya, ia harus meeting bersama paman dan ayahnya bahkan ia belum sempat sarapan dan sudah hampir jam tiga sore tapi ia baru menyelesaikan meetingnya.

"Anna, pasien pertama saya," seru Agnes setelah beberapa saat, ia memulai pekerjaannya yang belum selesai. Satu persatu pasien bergantian mendapatkan tindakan dari Agnes atau sekedar berkosultasi untuk melakukan tindakan bedah.

Saat itu, Agnes sedang menuliskan beberapa resep untuk pasiennya, ia dipanggil oleh seorang perawat yang entah muncul dari belahan dunia mana tiba-tiba sudah berada di sampingnya.

"Dokter Agnes, maaf mengganggu. Ada pasien emergency dan harus segera dioperasi. Tapi, keluarga pasien tidak ada dan penanggung jawabnya pun tidak ada ... Tidak ada yang berani mengoperasi," ujar perawat itu tanpa jeda.

Agnes mengerutkan keningnya. "Kenapa bisa? Jelas-jelas pasien emergency," seru Agnes berjalan cepat menuju ruang Operasi.

"Dokter bedah umum hanya dokter Agnes yang ready, dokter Richard sedang operasi dan dokter spesialis tidak berani tanpa informed Consent."

Agnes menghela nafas! Dalam hati ia mengumpat pada dokter-dokter yang membiarkan pasien dalam keadaan emergency tanpa penanganan apapun.

Prosedur rumah sakit memang tidak memperbolehkan dilakukan tindakan apapun jika tidak ada persetujuan pasien. Oleh karena itu, tidak ada yang berani melakukan tindakan lebih jauh. Tapi, kali ini terlalu beresiko jika pasien dibiarkan tanpa penanganan lebih lanjut.

Agnes bergegas dengan persiapan operasinya. "Ada dokter coas di stase bedah nggak? Saya butuh as-op!!" pinta Agnes sembari memasang sarung tangan medisnya.

"Ada Dok, sebentar saya panggilkan."

Agnes mengangguk. Lalu beberapa saat kemudian seorang wanita berkacamata muncul di hadapan Agnes sambil menunduk.

"Saya Rina, Dok. Coas di stase bedah!"

"Iya, sekarang siap-siap saya tunggu di dalam. 5 menit," perintah Agnes lalu ia bergegas menuju ruang khusus di dalam OR.

"Lakukan pengecekan GCS, sekarang."

"Baik, Dok."

"Berapa tingkat kesadaran pasien?" tanya Agnes setelah ia mengecek keadaan luka tusuk dibagian perut pasien.

"Enam, Dok. Pasien sudah pingsan saat datang dan kehilangan banyak darah," papar perawat ruang operasi yang bertugas. "Pasien mengalami luka tembak di bagian perut kiri sebanyak dua kali."

Agnes mengangguk paham. "Oke, kita keluarkan dulu pelurunya, sementara suster Ema tolong ke bagian bank darah. Minta persediaan darah dengan golongan pasien," perintah Agnes cepat.

"Baik, Dok."

"Oke, kita mulai!" seru Agnes mulai berkutat dengan alat-alat operasi dihadapannya.

Saat semua hampir selesai, alat elektrokardigram panjang.

Tiiiittttttttt

"Dok, kita kehilangan pasien," ucap perawat yang bertugas mengontrol detak jantung pasien dari alat itu.

Agnes menoleh. "Siapkan defibrillator," perintah Agnes sambil mencoba memompa jantung pasien dengan menekan dadanya berkali-kali.

"Ini, Dok."

Agnes lalu meraih alat pacu jantung itu kemudian mengarahkannya ke dada pasien.

"I ... 2 ... 3, shock!"

Beberapa kali Agnes mencoba namun hasilnya nihil, ia memejamkan matanya sejenak kemudian beralih menatap teamnya yang kompak menggeleng, ini kegagalan pertamanya di ruang operasi.

"Waktu kematian hari Sabtu, pukul 08.35 A.M."

Agnes menghela nafas berat mendengar asisten perawat membacakan waktu kematian pasien. Agnes masih kaget, beberapa detik Agnes hanya menatap wajah pasiennya yang pucat.

Teamnya melepas semua alat yang terpasang di tubuh gadis itu sedangkan Agnes menjahit kembali bagian tubuh yang sudah sempat dipotongnya untuk mengambil peluru yang menancap di perut gadis itu.

Agnes keluar menuju ruang ganti dan melepas semua peralatan operasinya, masker serta sarung tangan yang tadi digunakan. Ia mencuci tangan sekaligus wajahnya, butuh beberapa menit untuk bisa menerima kenyataan bahwa ia gagal menyelamatkan nyawa seorang pasien.

***

Agnes menyusuri koridor rumah sakit menuju ruangannya dengan perasaan kacau. Kegagalan keduanya ini cukup membuatnya sedih, dan karena tidak fokus langkahnya terhenti saat secara tak sengaja dia menabrak seseorang.

"Maaf. Saya tidak sengaja, saya buru-buru," tutur Agnes sambil membungkukkan badan pertanda permohonan maafnya.

"Ia tidak apa-apa," balas lelaki itu memungut beberapa kertas yang terjatuh

Agnes membantunya mengambil beberapa obat yang terjatuh. "Ini," ucap Agnes memberikan obat yang tercecer.

"Agnes."

"Rey ... " gumam Agnes pelan sementara cowok yang dipanggil Rey itu hanya menatapnya kaget.

Agnes dan Rey terdiam cukup lama, mereka saling menatap penuh arti.

Rasanya Agnes masih sangat canggung karena Agnes belum terbiasa berlama-lama dengan Reyhan berduaan. Tapi, ia berusaha bersikap biasa saja.

"Kamu dari mana?" tanya Agnes basa-basi.

"Oh ini. Habis nebus obat buat mama. Kamu sendiri, kok mukanya nggak bersemangat gitu?"

"Aku habis ada operasi, mungkin capek aja," jawab Agnes seadanya.

Cukup lama mereka terdiam, nampak masing-masing hendak mengatakan sesuatu namun tertahan. Saat baru saja hendak memulai kembali perbincangan suara seseorang memanggil Agnes membuat mereka menoleh bersamaan.

"Dokter Agnes! Maaf, bisa tolong ke IGD ada pasien kecelakan tapi dokter IGD tidak ada yang standby, " lagi -lagi seorang perawat laki-laki mengangetkannya dengan tak berperasaan.

Agnes menutup mata, ia mencoba menetralkan perasaan kesalnya! Ingin rasanya ia memberontak dan mengomeli semua dokter yang ada karena sepagi ini tapi belum standby di ruangannya.

Agnes menghela nafas lalu mengangguk. "Baik, saya kesana.

Agnes menoleh pada Reyhan yang sedari tadi menatapnya. "Sekali lagi aku minta maaf, aku harus dinas dulu, Rey,"pamit Agnes lalu berjalan cepat.

Bisa dibayangkan bukan seberapa keras Agnes harus bertahan dengan pilihannya menjadi seorang dokter, pendidikan 10 tahun, pengabdian masyarakat, masa intership, program wajib kerja di daerah. Lalu sekarang, pekerjaan menguras emosi selalu menunggunya! Tidak perduli bagaimana perasaannya setelah gagal, ia harus tetap melayani dan memberikan yang terbaik pada pasien yang lainnya.

"Semangat, Sya," seru Reyhan pada Agnes yang sudah beranjak, entah masih bisa didengar atau tidak.

Rey mendesah berat. "Agnes ... apa cuma perasaan aku aja ya, kok Agnes kayanya berubah ya? Ngak kaya Agnes yang dulu," gumam Rey menatap nanar kepergian Agnes sampai wanita itu menghilang dari pandangan matanya, Agnes menghilang di ujung lorong.

***

_____

COAS : Dokter muda.

STASE : Bagian yang harus dilewati oleh seorang coas. Contohnya Stase bedah, Stase dalam, Stase gigi, Dll.

DEFIBRILLATOR : stimulator detak jantung yang menggunakan listrik dengan tegangan tinggi untuk memulihkan korban serangan jantung.

GCS (Glasglow Coma Scale) : pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai tingkat kesadaran pasien.

_______

CONTINUE ....

Thank you...