Chereads / Mengejar Cinta Janda Perawan / Chapter 3 - Rencana Menikah

Chapter 3 - Rencana Menikah

Rasanya Bianka yang mendengar balasan dari ayahnya itu dadanya terasa sesak dan bersedih, bagaimana tidak? Karena terdengar Seperti kedua orang tuanya terpaksa mengiyakannya gara-gara rengekannya, tapi Bianka bisa apa, dia sungguh sangat mencintai Betran dan ingin menikah dengannya, itu adalah keinginannya sejak dulu, karena sudah sejak lama dia telah menyukai Betran, hanya saja Betran sudah milik orang lain jadi Bianka mencoba melupakan Betran waktu itu, tapi tiba-tiba Betran datang dan menyatakan cinta kepadanya, dengan begitu Bianka kembali mencintai Betran lagi, karena rasa itu masih ada sampai kapanpun, jadilah berlanjut sampai sekarang, mungkin itu semua yang dinamakan takdir, makanya Bianka tak bisa menolak ucapan Betran tentang menikahinya yang diidamkan olehnya itu, hanya saja caranya yang kurang srek karena LDR-an seperti itu.

Aslinya boleh saja oleh kedua orang tua Bianka menikah dengan Betran, secara kedua orang tua Bianka mengenal betul keluarga Betran, hanya saja kedua orang tua Bianka tidak mau saja anaknya menderita karena LDR yang belum tentu jelas nantinya, tapi kalau anaknya sudah mengotot seperti itu, jadi mereka mencoba menerima dan mengikhlaskannya saja, meskipun di dalam hati yang paling terdalam sebetulnya mereka masih sedikit tak terima. Seharusnya nanti saja kalau Betran sudah pulang, tapi kepulangannya ke Indonesia saja belum jelas, keburu menjadi perawan tua anaknya itu.

Dan dengan cepat Bianka langsung mendekat ke arah ayahnya, memeluknya erat, menangis tersedu-sedu dalam pelukannya itu sambil berceloteh dengan suara sumbangnya. "Terimakasih, Ayah, terimakasiiiih, Ayah sungguh selalu pengertian kepadaku, Bianka sungguh mencintai, Ayah, pokoknya Bianka akan menanggung semua resiko yang ada, yang penting, Ayah selalu ada didekatku saja, itu sudah cukup bagiku, dengan dukungan Ayah aku bisa bernafas lega, hiks, hiks."

Awalnya Burhan yang masih menata hatinya hanya mengangguk-angguk saja, tanpa membalas pelukan Bianka, tapi ketika istrinya terus menatapinya dengan mengedipkan matanya pelan juga ikut memeluknya, akhirnya Burhan luluh dan memeluk istri dan anaknya dengan erat, seperti menyalurkan kesedihan dan kekuatan untuk mereka. Ibu Bihana juga ikut merasakan sesak di dadanya, beliau juga menitikkan air matanya, karena putri si mata wayangnya ternyata sudah dewasa dan akan menikah, jadi bukan putri kecil lagi sekarang, tapi bagi mereka Bianka tetap putri kecilnya sampai kapanpun, karena Bianka adalah gadis polos dan selalu dilindungi oleh ayahnya sejak kecil.

"Sudah, sudah, kalau begitu ayo kita pulang! Kita berpelukan di rumah saja, kalau di luar seperti ini kalau ada yang melihatnya malu hehe," lerai ibu Bihana yang sudah melepaskan pelukannya duluan, setelah itu Bianka juga ikut melepaskan pelukan dari ayahnya.

Kini semuanya bangkit dari duduknya dan turun dari gazebo yang sederhana itu, berjalan ke arah rumah yang hanya beberapa langkah saja. Menelusuri jalanan sawah yang sempit itu, jadi perjalanan mereka saling berbaris di belakang, tanpa bisa bergandengan tangan. Kalau dulu ketika Bianka masih kecil, selalu digendong oleh ayahnya di belakang, jadi jarang jalan kaki seperti sekarang, kalau sekarang mana bisa digendong oleh ayahnya, bahkan Bianka saja sudah dewasa dan sudah bisa mengurus dirinya sendiri. Sampai-sampai sekarang Bianka tertawa sendiri ketika mengingatkan ayah dan ibunya di masa kecilnya. Ibu dan ayah hanya tersenyum dan sesekali menitikkan air matanya, terharu dengan masa lalu Bianka yang belum ada beban itu.

Ayah Burhan pun membatin sembari melihati punggung Bianka yang masih ada di depannya itu. 'Nak, semoga kamu bahagia, jangan sampai kamu bersedih, Ayah bersumpah kalau Betran macam-macam, akan Ayah cari hingga ke ujung dunia sekalipun, pokoknya Ayah tidak mau kamu menderita, dan Ayah akan terus melindungimu.'

Akhirnya mereka pun sampai di rumah yang nyaman dan sederhana itu. Kedua orang tua Bianka pun masuk ke dalam rumah karena ingin mandi dan menyiapkan apa-apa yang harus disiapkan, sementara Bianka langsung meraih ponsel yang masih ditaruhnya di atas meja tadi. Berniat untuk menghubungi Betran, tapi ternyata tak diangkatnya juga. Jadinya Bianka mengurungkan niatnya, nanti saja dia akan menghubungi Betran lagi.

"Paling Betran lagi sibuk ngurus pekerjaannya, atau lainnya, ya sudah nanti saja lah, semoga Betran bisa membujuk kedua orang tuanya dan tak mengingkari janjinya," oceh Bianka yang terus menatapi teleponnya itu, dia pun berjalan ke arah kamarnya setelah selesai menbasuh tangan dan kakinya, membaringkan badannya itu dengan terus berdalih-dalih kecil karena dia sungguh sangat bahagia.

***

Di rumah keluarga Antonio

Betran sekarang sudah duduk bersanding dengan orang tuanya, mereka semua lagi asyik menonton televisi, sedari tadi Betran mengumpulkan niatnya untuk memberitahukan kepada kedua orangnya tentang keinginannya menikah itu, tapi rasanya ketakutan melanda duluan di benaknya, bahkan dia tak merespon telepon dari Bianka dan terus menggenggam teleponnya dalam bentuk silent, karena sekarang bukan saatnya untuk bermesraan, sekarang dia ada diambang keseriusan yang entah akan dilanjutkan olehnya atau tidak, yang jelas rencananya tidak boleh gagal saat ini.

Akhirnya Betran benar-benar yakin akan hal itu dan berdehem terlebih dahulu untuk mengeluarkan suaranya. "Pa, Ma, Betran ingin berbicara," ucap Betran dengan suara yang sedikit bergetar. Namun, sesekali dihembuskan nafasnya dengan kasar, supaya bisa melancarkan ucapannya.

Papa dan mama Betran pun menoleh dengan cepat karena terdengar suara putranya yang sungguh serius itu. Karena biasanya putranya tak pernah seserius itu, kalau hanya masalah pekerjaan selalu dia bisa menyelesaikan sendiri karena kepandaiannya.

"Ehhh ada apa, Nak? Kenapa mukamu tegang sekali dan terlihat serius? Apa kamu ada masalah?" tanya Papa Antonio dengan sesekali tersenyum, beliau benar-benar ramah jadi tak pernah memarahi anaknya sekalipun, lagian Betran anak yang baik, tak pernah membuat kesalahan, menjadi anak kebanggaan mereka.

"Iya, ada apa, Nak, katakan saja!" sahut mama Alexi dengan senyuman yang mengembang di pipinya. Sambil menunggu Betran menjawab, mama Alexi memainkan jari-jemarinya.

Betran ikut tersenyum, dia kini menunduk dan langsung membalasnya. "Betran mau menikah besok."

Kedua orang tua Betran yang mendengar itu langsung terjingjat, bahkan langsung terbatuk, tersedak oleh air liurnya sendiri, ucapan Betran bagi mereka, seperti candaan saja yang mau meminta uang langsung bisa dikasih kapanpun.

"Apa! Menikah? Apa Papa tak salah dengar? Heeey jangan bercanda, Putra kebanggaan, Papa," ucap Papa Antonio dengan suara sedikit kaget disertai nada ejekannya.

Bahkan mama Alexi juga melotot dan terus menatapi Betran, menunggu semua kejelasan yang ada. Dan saat Betran hanya diam, itu tandanya ucapannya benar-benar serius, kini mama Alexi lah yang bergantian bertanya kepadanya.

"Heeeey benarkah? Sama siapa? Lalu harus besok kah? Bukankah pernikahan perlu persiapan banyak, Nak? Mana bisa kalau besok, secara kita belum melakukan apapun, kamu jangan sembarangan kalau berbicara."

"Iya, Ma, Pa, aku serius, besok. Aku menikah dengan, Bi—Bianka."