Betran sungguh merasa senang karena mamanya itu mendukungnya. Meskipun papa Antonio tak menyetujuinya. Yang penting bagi dirinya itu adalah lebih dari cukup. Dia pasti akan mencoba menunjukkan sikap terbaiknya kepada papanya. Bukan mencoba merayu, tapi mencoba memperlihatkan sisi bahagianya agar papa Antonio ikut bahagia dan percaya kalau Betran bisa menjalankan kehidupannya dengan baik.
Ketika mama Alexi sudah pergi meninggalkannya. Betran pun tersenyum merekah, sembari merogoh ponsel yang sedari tadi berada di dalam kantongnya itu. Dia pun mengotak-atik ponselnya. Menekan nama yang tertera di sana. Nomor panggilan terakhir, yang juga khusus dan sering dia hubungi, siapa lagi kalau bukan kekasihnya. Bianka.
Dengan tombol hijau yang ditekannya. Betran pun menyahuti ketika terdengar nada bip di seberang sana. Tentu saja Bianka langsung mengangkatnya, karena memang dia sedari tadi menunggu kabar dari Betran yang tak mengangkat teleponnya. Namun, belum sampai Betran menyahuti. Bianka lebih dulu menyergahnya.
"Halo, Sayaaaaaang. Kamu ke mana saja sih? Aku sedari tadi meneleponmu tau? Aku khawatir dan ketakutan setengah mati. Takut kamu tak jadi menikahiku. Pokoknya pikiranku sungguh sangat banyak dan melayang-layang di udara."
Betran lalu membalas Bianka yang suaranya teramat panik itu dengan tawanya. Itu membuat Bianka terdiam, berpura-pura merajuk sembari memonyongkan bibirnya dengan sangat lancip. Betran tertawa ketika melihat itu, karena memang mereka saat ini melakukan panggilan video call bukan telepon biasa.
"Haha bibirmu, Sayaaaang. Jangan marah dong ... aku tadi saat kamu telepon, lagi berbicara kepada kedua orang tuaku, Sayaaaaang. Untuk membicarakan pernikahan kita itu. Jadi bukan karena sengaja."
Bianka yang mendengar ucapan Betran tentang semua itu, dia langsung bersemangat. Dan menatapi Betran kembali dengan senyuman dan mata yang berkedip genit. Lalu tangannya memangku dagunya dengan jari-jemarinya digerakkan. Bibirnya tidak dimonyongkan lagi dan malahan dia sekarang tersenyum dengan manis.
"Benarkah? Lalu bagaimana selanjutnya? Apa kedua orang tuamu memperbolehkan? Kamu tau, Sayang? Kedua orang tuaku juga sudah setuju, jadi aman deh. Kalau kedua orang tuamu setuju berarti sepaaaaket dan aman. Kita bisa melaksanakan besok dan sah menjadi pasangan suami istri," respon Bianka dengan sangat cepat, bahkan seperti melebihi gasing yang berputar kecepatannya.
Betran yang ingin mengerjai kekasihnya itu. Wajahnya langsung ditekuk dengan bersedih, matanya sayu dan satu tangannya langsung menutupi separuh wajahnya. Hanya mata yang terlihat dengan berkedip sesekali. Dia juga menggeleng. Namun, tak besuara apapun.
"Maksud dari expresimu apa, Sayang? Apa kedua orang tuamu tak menyetujui? Begitukah? Astagaaaa lalu gimana dong? Gak jadi kah pernikahan kita? Hmmm ya sudah kalau begitu, mungkin semua ini sudah takdir-Nya, aku bisa apa, yang aku bisa hanya pasrah, kalau begitu aku akan bilang kepada kedua orang tuaku, terimakasih atas kebaikanmu yang mencoba menghalalkanku. Kalau begitu aku tutup yaaa ..." Suara Bianka terdengar parau. Seperti sedang menahan air matanya. Betran yang tau itu langsung menyergah dengan cepat. Takut kalau kekasihnya itu buru-buru mematikan teleponnya.
"Hey, heeeeey. Tunggu, Sayaaaang. Tungguuuu! Jangan dimatikan lagi," seru Betran dengan kecepatan penuh. Sampai nafasnya terengah-engah. Dia merasa menyesal telah mengerjai Bianka. Karena sekarang dia mendengar Bianka sudah menangis tersedu-sedu. Hatinya hancur mendengar ucapan Betran yang sungguh menyesakkan dadanya itu. Bahkan dia sudah tak bisa berkata-kata sekarang.
"Maafkan aku, Sayang, aku salah, aku tak bermaksud seperti itu. Aku tau kalau aku benar-benar membuatmu sakit. Aku—aku hanya bercanda tadi. Semua yang aku ucapkan tadi tidak benar. Sebenarnya kedua orang tuaku sudah menyetujuinya tenang saja. Aku berniat agar kamu terkejut, ehhh malah terkejutmu sampai segitunya. Sekali lagi aku minta maaf."
Mendengar ucapan dari Betran itu. Bianka yang awalanya melengos dari ponselnya agar tak terlihat wajah sembabnya dan ia juga sedang menangis. Dia langsung mengusap air matanya dengan cepat. Lalu kembali menatapi layar ponselnya dengan melotot sebal. Penuh dengan tatapan membunuh tepat ke arah sang kekasihnya.
Dia berteriak ketika melihat Betran menahan tawanya. Menurut Betran pacarnya itu sungguh lucu sekarang. Terkena tipu darinya dan wajahnya tak beraturan. Jadi sungguh tontonan yang mengejutkan dan bikin tertawa. Padahal tadi Betran takut saat mendengar suara tangis Bianka. Tapi kini ketika melihat mukanya sudah beralih menjadi tawa.
"Apa! Jadi kamu membohongiku? Betraaaaaan. Asem kamu yaaaaa. Hais! Kalau besok kamu pulang akan aku kuliti kamu haaaa. Tunggu dan lihat saja nanti. Betraaaaan haiiiis." Tawa Betran semakin mengeras. Bahkan kedua jarunya sudah membentuk tanda V. Menunjukkan kalau dia meminta maaf kepada calon istrinya yang sungguh imut itu. Bianka hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan kasar. Lalu memanyunkan bibirnya, tanda kekesalannya.
"Haha iya deh, maafkan sekali lagi, Sayangku. Aku tidak akan seperti itu lagi. Pokoknya aku bahagia atas pernikahan kita besok. Kamu istirahat sana! Dan persiapkan semuanya, termasuk para saksi. Aku juga mau menyelesaikan semuanya. Kalau begitu aku sudahi yaaa. Bye. Sayaaaang. Love you always," ucap Betran menyudahi ucapannya. Tangannya melambai ke arah Bianka dengan memonyongkan bibirnya tanda menciumnya. Bahkan bibirnya itu sangat dekat dengan layar ponsel jadi seperti benar-benar nyata saja.
Rasanya Bianka sungguh geli dan malu. Namun, dia tersenyum senang atas ulah keromantisan calon suaminya itu. Dulu memang mereka hanya berpacaran singkat saja dan ketemu hanya sesekali. Karena memang tak berani bertemu selalu sering, karena di kampung itu sangat primitif, kadang kalau ada orang yang berdekatan saja gosipnya terlalu pedas dan terus menjadi bahan pembicaraan. Makanya kebanyakan di kampung itu hanya berpacaran sebentar dan langsung menikah muda saja. Bahkan ada yang tak usah pacaran, langsung menikah saja karena perjodohan.
Apalagi Bianka tak pernah berciuman sekalipun. Makanya Betran berbuat seperti itu. Rasanya Bianka sungguh malu. Sampai-sampai dia terkikik geli dan langsung mematikan teleponnya saja. Tanpa membalas ciuman Betran secara tidak langsung itu, dengan ciumannya pula.
Bianka sekarang memandangi ponselnya yang sudah usai dibuat video call dengan sang pujaan hatinya itu. Dia terus tersenyum dan mendekatkan ponselnya sekarang tepat di bibirnya. Membalas ciuman Betran dengan mata yang terpejam. Membayangkan ponselnya itu adalah Betran yang ada di hadapannya. Dia tadi malu, makanya sekarang mencium secara tidak langsung ketika telepon dimatikan.
"Aaaaa aku tidak sabar menunggu besok. Rasanya aku dag dig dug. Sayangnya tidak langsung bertemu dengannya. Aku kan ingin bercumbu rayu dengannya, haaaa. Hmmmm. Ya sudah yang penting menikah dulu. Semoga saja Betran segera pulang dan bisa berpacaran halal denganku. Aku ingin merasakan nikmat pacaran halal itu bagaimana. Haaaaaa." Bianka sesekali mengeluh dengan keadaan yang dia lalui. Meskipun dia bahagia, tapi kebahagiaannya tidak nyata karena semu belaka. Tidak seperti orang-orang yang menikahnya normal dan langsung bahagia. Intinya dia terus berdoa kepada Tuhan agar Betran segera bisa pulang seusai menikah.