Chapter 11 - Seperti awan

Kulihat didepan sana Mas Rian masih belum pergi. Ia baru akan menjalankan mobilnya namun sudah kugedor pintunya minta dibuka.

Ia pun buka kunci pintu mobilnya dan buka pintunya, membiarkanku masuk.

Ia tampak kaget melihatku berderai air mata seperti itu, bahkan kedua tanganku sibuk menyeka air mata yang berjatuhan.

"Loh? Mbak... Mbak kenapa balik lagi?" tanyanya.

"Nyalain mobilnya Mas, bawa aku pergi kemanapun asal jangan disini. Aku enggak mau liat rumah ini lagi sama yang ada didalamnya. Aku benci." ucapku seraya terisak.

"Kenapa emang Mbak? Emang ada siapa didalam? Mas Indra? Emang Mas Indra enggak kerja? Apa yang Mas Indra laku--" belum selesai bicara aku sudah mengelaknya.

"Plis bawa aku pergi aja!" ucapku. Mas Rian pun segera menjalankan mobilnya, pergi dari sana.

Beberapa saat kemudian kami pun duduk didepan danau, air mataku yang tadi sempat mengalir deras pun kini menyusut.

Mas Rian terus berada disampingku sejak tadi, ia sangat setia menemaniku. Padahal ia memiliki banyak jadwal sepertinya, tapi ia seakan melupakan itu semua dan tidak ingin meninggalkanku sendiri.

"Maaf Mas. Kamu jadi nungguin aku." ucapku.

"Enggak, enggak apa-apa.. Mbak udah mendingan?" tanyanya.

Aku mengangguk dan tersenyum. Aku merasa sangat berhutang budi pada Mas Rian.

"Rasanya saya benar-benar kecewa sama Mas Indra. Kalau seandainya Mbak tadi cerita, saya bakal hajar Mas Indra saat itu juga. Sayangnya Mbak malah menyuruh saya pergi duluan." ucapnya seperti menyesali sesuatu.

Aku tersenyum. "Udahlah, lagian dia kan kakak kamu. Mbak enggak suka ribut-ribut. Mending Mbak nyelesaiin semua masalah ini dipengadilan aja. Mungkin memang ini jalan terbaik." ucapku. Mas Rian menatapku prihatin.

Ia mengusap punggungku lembut. "Yang sabar ya Mbak." ucapnya.

Aku tersenyum.

Kami saling memandang air danau yang tenang didepan sana, pemandangan yang sangat sejuk dan menawan karena disana tersuguhkan juga langit biru yang luas dan beberapa awan putih seperti roti. Sangat... menenangkan.

Entahlah, aku hanya merasa jika... Mas Rian adalah pelipur laraku belakangan ini.

"Perasaan orang itu kayak awan ya Mbak? Berupa gumpalan yang mudah berubah, yang kita tidak tahu apa isi didalamnya kecuali kita memasukinya." ucapnya.

Aku tersenyum melihatnya setengah tertawa. "Dasar kopas. Perkataan Mbak itu waktu dulu." ucapku.

Mas Rian tertawa. Aku menambahkan.

"Hmm, sekalinya kita masuk ke dalam awan juga kadang suka enggak nemuin apapun. Seringnya dia berubah bentuk membuat orang bingung apa yang sebenarnya berada dibaliknya. Untuk bisa menyentuhnya juga membutuhkan kekuatan, untuk bisa menembusnya juga membutuhkan media. Dia tinggi dan kebanyakan orang enggak bisa mencapainya. Makanya orang awam kadang suka bertanya, apa sebenarnya yang berdiri dibalik gumpalan awan itu. Seakan ada dinding yang membentang kita untuk tidak tahu apa yang ada dibaliknya." ucapku.

Mas Rian tertawa seraya melihat awan. 

"Aneh ya, dulu bahkan saya selalu mengira ada sebuah kerajaan dibalik awan. Mirip di film kartun doraemon." tawanya. Aku mengangguk setuju.

"Bener, Mbak juga sering menganggap seperti itu. Dan nyatanya itu semua cuma khayalan." ucapku terkekeh.

"Tapi jujur loh, entah kenapa ya, kok perkataan Mbak selalu tersimpan di pikiran saya meskipun udah lama juga. Perkataan Mbak itu kayak nempel gitu di dinding-dinding pikiran saya." ucapnya.

Aku terkekeh hingga meninju bahunya pelan.

"Bisa aja kamu, habis ini pasti minta traktir." ucapku.

"Enggak lah, masa direktur minta ditraktir sih." ucapnya seraya membanggakan diri berniat menggodaku, aku gemas hingga mencubit pinggangnya. Ia merintih.

"Duh, Mbak nih. Emang saya anak kecil apa, saya menggemaskan banget apa Mbak?" tanyanya.

"Iya, saking menggemaskannya sampai mau ngarungin." ucapku.

"Beras kali ah." tawanya.

"Bukan, tapi singkong." ucapku ikut tertawa.

"Enggak tahu kenapa ya, tiap ngobrol sama Mbak selalu bikin saya merasa nyaman dan ceria. Serasa memang saya menemukan orang yang sefrekuensi dengan saya, jujur dengan Fika saya enggak gini. Enggak tahu kenapa. Mungkin memang nyari orang yang satu frekuensi itu susah." ucapnya.

Aku tertawa kecil. "Kamu pasti udah nganggep Mbak sebagai kakak perempuanmu kan? Hayo ngaku... hayo... hayo mau jadi adik-adikan Mbak kamu?" tanyaku. Ia menatapku seraya tersenyum.

"Lebih dari kakak perempuan, bisa?" tanyanya.

Deg.

Saat itu aku merasa perasaan tulusnya seperti tembus ke dalam. Entah kenapa... aku merasa seakan ada getaran didalam dada. Aneh sekali, aku merasa hal ganjal atas perkataannya itu termasuk getaran didalam dadaku ini.

Aneh...

Kenapa begini?

Enggak seharusnya begini...

Tak lama setelahnya, mobil pun menepi di garasi rumah Mas Rian. Aku tidak yakin apakah aku harus keluar dari mobil sekarang. Aku masih tidak enak kalau harus menumpang di rumah Mas Rian.

"Kenapa Mbak?" tanyanya yang heran melihatku terus terdiam.

"Mas, emang enggak apa-apa Mbak tinggal di rumah kamu? Kalo enggak Mbak sehari aja deh disini. Besok pagi Mbak langsung pergi ke villa teman Mbak lagi di puncak." ucapku.

"Enggak Mbak, enggak usah. Mbak tinggal disini selamanya juga enggak masalah." ucapnya.

"Hah? Enggak lah Mas, ini kan rumah kamu dan Fika nantinya." ucapku.

"Terserah Mbak aja sih." ucapnya.

Kami pun segera keluar dari pintu mobil dan masuk ke dalam rumah yang mewah itu. Disana kami sudah disambut oleh seorang pembantu, namanya Bi Inah.

Dirinya langsung mengambil beberapa bungkus bolu dari tangan Mas Rian, termasuk tasnya juga.

"Ini siapa Den?" tanya Bi Inah langsung tersenyum seraya mengangguk padaku, menyapa.

"Ini Mbak Lisa, istri kakak saya." ucapnya.

"Oh gitu. Mau dibuatin apa Mbak? Air putih, air hitam, air tajin, air keran.. eh kok jadi nyambung kesana hehe. Pokoknya Bibi bakal bikinin air yang enak-enak kecuali air susu Ibu. Ayo sok tinggal pilih." ucapnya memberiku penawaran konyol, aku hanya tertawa saat itu.

"Apa ya, air teh aja kali ya?" ucapku seraya duduk di sofa.

"Oh yaudah, Bibi mau terbang dulu ke dapur. Tring." ucapnya seraya kabur ke dapur. Aku hanya menggeleng melihat kepergiannya seraya terkekeh.

Mas Rian ikut duduk di sofa depanku.

"Gimana Mbak? Capek?" Mas Rian terkekeh, aku ikut tertawa kecil.

"Lumayan pegal sih hehe." ucapku. "Kalo enggak, Mbak istirahat aja dulu ke kamar. Kamar Mbak di lantai dua ya? Di paling pojok sebelah kanan." ucapnya.

"Oh gitu, enggak kok. Mbak masih mau duduk disini dulu." ucapku terkekeh, Mas Rian mengangguk.

"Tapi Mas, kalo Fika tahu aku tinggal disini dia enggak bakal marah kan ya? Takutnya dia mikir Mas aneh-aneh." ucapku.

"Enggak lah, dia enggak akan cemburu kok Mbak. Tenang aja, kan nanti saya jelasin." ucapnya tersenyum, aku balik tersenyum. Lega.

"Tapi saya enggak ngerepotin kamu kan ya? Bibi kamu nanti sampai repot-repot buatin aku sarapan tiap pagi?" tanyaku lagi.

"Enggak Mbak, lagian itu udah tugas Bibi. Ya Bibi juga enggak enak kalo pagi-pagi cuma bengong enggak ada kerjaan. Bibi justru mungkin senang bisa masakin Mbak, yang biasanya di rumah ini sepi juga sekarang jadi ada teman ngobrol." ucapnya, aku tersenyum.

Bisa aja dia bicaranya. Kenapa dia jadi sweet begini sih?