Malam hari pun menjelang. Tapi aku tidak bisa tidur, aku memang seperti ini kalau di rumah orang.
Awal tinggal di villa puncak juga aku tidak bisa tidur di hari-hari pertama. Yah, belum terbiasa sepertinya.
Aku yakin Mas Rian sudah terlelap tidur sekarang termasuk Bi Inah juga. Ah, aku merasa sendiri.
Aku membekap kepalaku dengan bantal, memaksa diri memejamkan kedua mata. Akan tetapi tiba-tiba semua gelap.
Aku terkejut dan kaget bukan kepalang. Awalnya kukira ada yang salah dengan penglihatanku atau mendadak kedua mataku buta.
Akan tetapi, ternyata ini karena mati lampu makanya gelap. Apakah disini sering mati lampu seperti ini?
Duh, bagaimana ini.
Aku pun segera menyalakan senter di ponselku, yah lumayan cukup untuk menerangi kamarku itu meskipun tidak seluruhnya.
Jujur aku tidak pernah mengalami hal seperti ini di villa. Makanya aku berani tinggal sendirian disana.
Tiba-tiba saja aku mendengar suara mencurigakan di bawah tangga. Aku merasa cemas, suara apa itu barusan? Kok mendadak aku merasakan perasaan tidak enak ya?
Mungkinkah itu suara hantu? Ah tidak... jangan aneh deh.
Atau mungkin itu... maling?!
Masalahnya kan memang ini sudah tengah malam, mana mungkin Mas Rian dan Bi Inah bangun?
Di dalam kepalaku juga terlintas pemikiran tidak baik, aku khawatir jika mati lampu di rumah ini adalah ulah dari maling itu.
Aku pun beranikan diri untuk turun ke bawah. Menuruni anak tangga satu persatu dan ambil sapu disana.
Aku acungkan gagang sapu itu ke depan, berjaga-jaga supaya kapanpun maling itu muncul aku bisa memukulnya dengan sapu itu.
Aku berjalan dengan mata berkeliling, melihat sekitar apakah ada orang mencurigakan masuk ke dalam rumah ini.
Langkah demi langkah dengan perasaan waspada, takut dan khawatir si maling melakukan perlawanan.
Pokoknya setelah maling itu kudapatkan, aku harus segera berteriak maling dan memukulnya. Mengeluarkan jurus pamungkasku saat itu juga.
Aku terus berjalan, akan tetapi tiba-tiba saja seorang pria menabrakku saat itu, aku yang panik langsung mengiranya sebagai maling.
Aku pukul pria itu berkali-kali dengan ujung sapu hingga pria itu merintih kesakitan.
Ia coba menghalau diriku dan menghentikan tanganku itu.
"Stop, stop Mbak!" serunya.
Aku terkejut saat melihat ternyata itu adalah Mas Rian. "M-mas? Kok Mas Rian... bukan maling?" tanyaku heran.
"Sejak kapan saya ganti profesi jadi maling?" tanyanya balik.
"Sejak malam ini hehe." ucapku terkekeh.
Ia menggeleng dengan tangan di pinggang.
"Kalo jadi maling hati Mbak gimana?" tanyanya menggodaku. Aku mencubitnya gemas. Ia merintih.
Tapi saat kulihat dengan baik bagaimana postur Mas Rian, dia terlihat bertambah tinggi beberapa senti dibanding SMA dulu.
Aku mengukurnya dengan tangan yang berada diatas kepalanya.
"Kayaknya Mas Rian nambah tinggi nih. Rajin tidur atau rajin minum susu nih? Atau makanin galah?" tanyaku terkekeh.
"Memang saya rayap apa? Tapi masa sih? Pantes aja Mbak kok kayak berasa makin pendek ya?" tanyanya. Aku kembali mencubitnya.
"Secara enggak langsung kamu bilang Mbak menyusut gitu? Hmm? Memangnya Mbak plastik yang dibakar gitu? Makin mengkerut gitu?!" tandasku berkali-kali mencubitnya di berbagai area tubuhnya.
Kami saling tertawa saat itu, Mas Rian juga ikut mencubitku balik ternyata, aku merasa geli.
Hingga tak terasa semua rasa takutku tadi pun menghilang.
Aku tidak pernah menyangka kalau hari-hariku belakangan ini akan terus berhubungan dengan Mas Rian.
Dia... seperti orang yang memang diciptakan oleh tuhan. Untuk membuatku tetap berdiri tegak, diantara konflik yang mendera.
Setelahnya kami pun saling duduk didepan balkon kamarku lantai dua. Melihat langit malam berbintang. Takjub.
"Mas, kalo liat bintang gini inget waktu kita kemah dulu ya?" tanyaku.
"Iya Mbak, saya juga lagi mikirin itu. Tapi bedanya sekarang bintangnya cuma sedikit, enggak sebanyak dulu." ucapnya.
"Soalnya ini kan daerah kota, beda sama daerah pegunungan. Banyak polusi udara sama cahaya." ucapku.
"Sayang banget kemarin pas di puncak kita enggak sempat liat bintang bareng." ucapnya.
"Pengen banget?" tanyaku terkekeh.
"Pengen aja." ucapnya tersenyum.
"Oh iya, tentang pernikahan kamu sama Fika gimana? Jatuh di bulan apa?" tanyaku.
"Bulan Juni Mbak, tanggal 12." ucapnya. Aku mengangguk.
"Oh tiga bulan lagi ya. Selamat menempuh hidup baru ya? Sama Mbak Fika. Mbak doain semoga sakinah mawaddah warahmah ya. Semoga itu merupakan pilihan kamu yang terbaik. Aamin." ucapku. Mas Rian hanya terdiam.
Aku terheran kenapa dia tidak mengaminkan doaku. Aku pun menyikut tangannya. "Kenapa enggak amin?" tanyaku.
"Takut orangnya nengok." ucapnya nyengir.
Aku langsung memukul bahunya. "Dasar kamu nih." ucapku seraya mengikik.
"Amin gitu." ucapku lagi.
"Iya Aamin." ucapnya.
"Tapi Mbak." ucapnya.
Aku menoleh kembali melihatnya. "Iya?" tanyaku.
Sebuah pesawat tiba-tiba melintas diatas sana. Hingga membuat yang akan dikatakan oleh Mas Rian seakan tertimpa.
"Mbak sendiri apa enggak ce---- saya akan men---- Fi--?"
Aku masih melihatnya bingung. Aku tidak mendengar jelas perkataan Mas Rian.
Apa sebenarnya yang ia katakan barusan? Apakah itu penting? Kenapa dia terlihat seserius itu ketika mengatakannya?
"Kenapa Mas? Bisa tolong diulangi pertanyaannya? Ada suara pesawat soalnya." tanyaku.
Dirinya lantas tersenyum.
"Enggak Mbak... enggak jadi. Lupain aja." ucapnya seraya memandang ke atas langit kembali.
Aku terheran. Dia ngomong apa sih barusan? Jadi kepo.
Tiba-tiba saja suara perutku terdengar sangat nyaring ketika itu, hingga Mas Rian pun menahan tawa sesaat mendengarnya.
"Kayaknya udah mulai paduan suaranya." ucapnya tertawa geli, aku memukul bahunya.
"Apaan si, kupingnya juga peka banget lagi." gerutuku ikut tertawa.
"Eh Mbak, mau gak makan bolu tadi?" tanyanya. Aku langsung menolak. "Enggak, gak usah. Itu kan buat calon istrimu." ucapku.
"Enggak lah Mbak. Fika juga enggak tahu bakal kesini apa enggak. Kalo nunggu dia ya keburu basi kuenya. Mending dimakan sama Mbak. Lagian banyak kok belinya. Bentar ya, saya kebawah dulu." ucapnya seraya ngeloyor pergi. Aku berniat mencegahnya.
"Mas! Jangan Mas." tapi sayangnya Mas Rian tetap pergi dan tidak kembali.
Tak lama Mas Rian pun kembali lagi mendekatiku dengan membawa dua box kue bolu talas disertai pisau pemotongnya dan piringnya.
Ia segera memotong kuenya dan taruh diatas piring kecil. "Ini Mbak." ucapnya seraya memberikan piring kecil berisi dua potong kue itu padaku.
"Makasih ya." ucapku seraya memakannya.
"Iya, Mbak ambil lagi aja kalo kurang." ucapnya. "Iya, Mas."
Bukan hanya diriku saja yang memakan, tetapi Mas Rian juga. Sepertinya dia juga kelaparan sepertiku.
"Gimana Mbak? Enak? Manis kan kayak saya?" tanya Mas Rian cengar-cengir. Aku mencebik.
"Sepet. Kayak asem." ucapku nyengir. Mas Rian ikut tertawa.
"Makannya pasti sambil nyium ketiak sendiri." tawanya, pun demikian denganku.
"Mas, Mbak mau nanya sesuatu sama kamu." ucapku yang tiba-tiba ingin bertanya tentang hal yang kupikirkan sekarang.
"Nanya aja, sebelum dilarang." ucapnya.
"Apa sebenarnya masalah antara kamu dan Mas Indra sampai bisa berantem kayak gitu? Enggak akur sampai sekarang?" tanyaku
Mas Rian yang semula tampangnya ceria jadi datar. Ia berhenti mengunyah untuk beberapa saat. Wajahnya melihat ke depan, tak lagi melihatku.
"Semua terjadi karena uang." ucapnya kembali melihatku seraya tersenyum samar. Aku terdiam.
"Dulu kami bukan orang yang cukup mampu. Ayah saya tidak bekerja begitupun dengan ibu saya. Kami hanya mengandalkan Mas Indra. Sejak kecil memang saya jujur... selalu cekcok dengan Mas Indra. Mulai dari selisih pendapat, mau menang sendiri, suka salah-salahan, sampai merebut hal kecil hingga ke bagian terpenting dalam hidup saya." ucapnya.
Ternyata... pertengkaran itu sudah ada sejak dulu.
Aku hanya menyimak apa yang ia katakan dengan tanpa mengindahkan kedua mataku kearah manapun.
"Mbak mungkin memang sudah tahu tentang cerita ini. Cerita yang mungkin sudah pernah diceritakan sama Mas Indra. Tapi ini dari sisi saya. Saat saya masih SMA, saya pernah meminta uang pinjaman dari Mas Indra. Lalu dikasih, tapi besoknya Mas Indra sudah menagih uang itu lalu jadilah kami ribut. Ditambah lagi Mas Indra tahu kalau saya meminjam uang itu buat minum-minum. Setelahnya saat saya kuliah, saya membiayai kuliah hasil jerih payah saya sendiri, dengan hasil saya putar uang dari hasil penjualan tanah dan usaha lainnya. Tapi saat itu saya kembali meminjam uang karena uang modal saya habis. Tapi Mas Indra justru menolak itu mentah-mentah, dan bilang kembalikan dulu uang yang saya pinjam waktu itu. Coba Mbak gimana perasaan Mbak waktu tahu digituin sama kakak Mbak sendiri? Disaat lagi perlu uang, malah justru direspon seperti itu?" tanyanya.
Aku terdiam prihatin, coba memahami perasaannya.