Chapter 15 - Senja

"Kita tetap ke rumah Ibu saya. Barangkali Ibu tahu tentang semua ini lebih jelasnya termasuk dimana Mas Indra dirawat." ucapnya. Aku pun mengangguk dan segera menaiki jok belakang motornya.

Beberapa saat kemudian. Kami pun sampai didepan rumah mertuaku. Bu Asih kebetulan ada diluar sedang menyapu teras. Bu Asih tampak terkejut saat melihat kami berdua ada disana ketika itu.

Aku dan Mas Rian pun saling mencium tangan Bu Asih. "Assalamualaikum Bu." ucap kami bersamaan.

"Waalaikumsalam warah matullahiwabarakatuh." balas Bu Asih.

"Kalian kesini pasti ada hubungannya sama Mas Indra? Betul kan?" tebak Bu Asih. Aku dan Mas Rian saling menatap satu sama lain lalu mengangguk.

"Ayo masuk dulu. Enggak enak ngomong diluar." ucap Bu Asih mengajak kami masuk ke dalam rumahnya dan menawarkan kami untuk duduk di sofa.

Bu Asih menyuguhkan kami berdua dua gelas air mineral disertai sedotannya di atas meja. Beliau pun segera berkata.

"Indra sedang menderita sakit parah dan sisa umurnya diprediksi dokter hanya sampai satu bulan lagi." ucap Bu Asih. Aku yang mendengarnya langsung menjatuhkan air mineral yang baru kuambil dari atas meja. Aku terdiam miris dengan air mata yang berangsur mengembang.

Mas Rian juga sama halnya kaget mendengar hal itu. Ia bahkan langsung berkata.

"Kenapa baru sekarang... ya Allah. Kenapa enggak bilang kita sejak awal Bu?!" protes Mas Rian tidak menyangka.

"Ibu juga disuruh Masmu Yan.. bukan keinginan Ibu kayak gini. Masmu yang mau semua disembunyiin dari kalian berdua." ucap Bu Asih.

Kami berdua tampak sangat kecewa dengan ini dan merasa sedih pada saat bersamaan. Bahkan kulihat Mas Rian sampai meneteskan air mata karena tidak kuasa menahan kesedihan.

Meskipun mereka tidak pernah akur selama ini dan sering bertengkar. Tapi... entah kenapa untuk kali ini.. aku bisa merasakan kesedihan yang sangat amat dalam di diri Mas Rian.

Sama halnya denganku. Aku... ikut menangis bersamanya. Aku mengusap punggung Mas Rian sekaligus terisak bersamanya.

Meskipun Mas Indra sudah melakukan hal buruk padaku, berselingkuh dibelakangku.

Akan tetapi... aku masih... sangat.. amat merasa kehilangan jika tahu kalau Mas Indra sebentar lagi akan...

Semua kenangan selama ini bersamanya bahkan terus berpendar... menguasai seisi kepalaku, membuatku semakin teriris.

Saat tertawa bersamanya, dipeluk olehnya, dikecup kening olehnya, digandeng olehnya dan didekap olehnya.

Aku... masih menyimpan perasaan yang sangat dalam terhadapnya.. sangat amat dalam..

Di rumah sakit Medika rose.

Mas Indra terbaring lemah di kasur putihnya.

Tubuhnya sangat kurus, seakan penyakit yang sedang dideritanya saat itu benar-benar memakan seluruh tubuhnya.

Ya Allah, penyakit jenis apa yang sampai membuatnya tampak seperti ini?

Dari tiga bulan yang lalu, aku bisa melihat perubahan tubuh yang sangat signifikan.

Hatiku seperti teriris ketika melihatnya, bibirnya juga terlihat pucat pasi, pipinya menirus. Daging diseluruh tubuhnya bahkan seperti menyusut, seperti hanya tinggal tulang saja.

Mas Indra yang cukup kukenal sebagai pria tampan dan gagah, kini terlihat sangat... berbeda jauh.

Dadaku sesak, air mataku terus-terusan keluar berjatuhan menangisi keadaannya saat itu.

"Mas kenapa.. kenapa kamu enggak bilang sama aku? Kenapa nyembunyiin semua ini dari aku Mas?! Apa sebenarnya penyakit yang sedang kamu idap Mas?!" tanyaku seraya terisak dalam.

Mas Indra hanya terdiam saat itu, tersenyum lemah lalu mengusap kepalaku. Ia kemudian berkata.

"Padahal saya berniat ingin memberitahu kamu satu bulan lagi. Dan saat itu mungkin kamu sudah melihat saya didalam kuburan." ucap Mas Indra.

Aku semakin kesal, hingga memukul dirinya berkali-kali, terisak sangat dalam. Kenapa dia berbicara seperti itu ya Allah?!

"Mas kenapa kamu jahat banget sama aku?! Belum cukup kamu kasih hadiah perselingkuhan itu, lalu sekarang kamu niat nambah lagi kesedihan aku gitu Mas?!" tandasku masih terisak.

Mas Indra mengusap air mataku pelan.

"Kalo soal perselingkuhan itu jangan kamu hitung." ucap Mas Indra tersenyum lembut. Aku terkejut.

"Maksud kamu apa? Jangan-jangan maksud kamu itu--" tanyaku menghentikan sesaat tangisanku. Ia terkekeh.

"Iya, itu bohong." ucapnya.

Aku kembali memukul-mukul Mas Indra. "Ish! Tega! Resek banget sih! Aaaaahhh!" aku merajuk.

Mas Indra langsung mendekap kepalaku saat itu dan membuatku bersandar di bahunya, meski saat itu ia masih dalam posisi terbaring.

Aku melihat ke arah belakangku sekilas, kulihat Mas Rian disana sudah menghilang. Tunggu, sejak kapan dirinya pergi?!

Hari ke hari berlalu, Mas Indra terus melakukan terapi pengobatan. Aku selalu setia berada didekatnya, mendampinginya, mendorong kursi rodanya, menyuapinya makan, memberinya minum, serta... membantu dirinya lebih mendekatkan diri lagi kepada Tuhannya.

Aku tahu ini adalah cara terbaik. Meskipun menurut orang maupun dokter tidak ada harapan.

Akan tetapi ketika kita menyerahkan semua pada Allah, itu bisa jadi berbeda. Semua keajaiban bisa terjadi selama kita mempercayainya.

Aku... meskipun tahu kemungkinan paling besar atas ini. Akan tetapi, aku tidak ingin langsung menjudge akhir buruk dalam kisah cintaku ini.

Aku... setidaknya harus percaya.. harus... jika aku saja tidak percaya, bagaimana aku bisa membangun semangat hidup untuk Mas Indra?

Aku hanya ingin Mas Indra paham, kalau penyakit ini bukanlah akhir dari segalanya.

Setidaknya ia masih memiliki Allah, aku, Mas Rian dan keluarganya. Kami semua mendukungnya hingga akhir.

Berbagai cara terus kami upayakan agar terus membangun semangat Mas Indra, dukungan, motivasi maupun hiburan. Semua kami lakukan untuk membuatnya bahagia.

Kami semua mencintai Mas Indra, ingin Mas Indra tetap hidup, ingin terus tertawa bersamanya dan ingin terus menemaninya berbicara.

Kadang kami tertawa dan menangis bersama, mengingat masa-masa sehatnya dulu, kekonyolan yang pernah ia lakukan sewaktu kecil bersama Mas Rian, lalu menangis saat hubungan diantara mereka mulai merenggang.

Semua pertengkaran yang mereka lakukan dulu mereka ceritakan, mulai dari selisih pendapat dan kesalahpahaman.

Tapi setidaknya setelah bercerita seperti itu perasaan kami menjadi lebih lega, kami jadi lebih terbuka satu sama lain.

Tidak ada lagi permusuhan diantara kita, tidak ada lagi kedengkian maupun dendam diantara kita.

Semua.... menjadi lebih transparan sejak saat itu.

Mas Indra dinyatakan mengidap AIDS. Dari yang tadinya mengidap HIV jadi berubah ke tahap AIDS. Bisa dibilang tahap akhir dari jenis penyakit tersebut.

Satu fakta yang mencengangkan sekaligus menyakitkan yang harus kuterima dalam keadaan apapun, semenyesakkan apapun.

Aku harus menerimanya... meski sangat terpukul.

Dihadapan matahari terbenam, di atap rumah sakit. Aku dan Mas Indra yang terduduk di atas kursi rodanya sedangkan aku yang berada dibelakangnya, menikmati pemandangan dihadapan.

Bagaimana matahari senja diatas sana semakin akan tenggelam. Warna langit yang tadinya oranye kini semakin gelap.

Belakangan kita sering melihat pemandangan ini setiap sebelum adzan maghrib.

Aku senang melihat Mas Indra tampak begitu bahagia melihat ini. Disela itu juga kami saling mengobrol.

"Kenapa kamu suka senja Mas?" tanyaku.

"Entahlah, aku hanya berpikir kalau senja adalah hal yang menjadi motivasi hidupku belakangan ini." ucapnya.

"Maksudnya?" tanyaku heran.

"Senja akan menghilang, lalu besoknya akan muncul kembali. Kalau aku menghilang sekarang, apa ada kemungkinan aku akan muncul kembali besok? Aku hanya ingin seperti senja didalam hidup kamu.

Yang akan selalu muncul besoknya didalam hidupmu, meskipun awalnya pernah menghilang. " ucap Mas Indra, saat itu air mataku langsung mengembang dan jatuh secara bersamaan.

Aku langsung bersimpuh didepan Mas Indra, menyejajarkan tinggi tubuhku dengannya.

"Mas, kamu bisa menjadi seperti senja. Kapanpun kamu mau, kamu bisa menjadi seperti senja didalam hidupku. Aku yakin masih ada harapan. Kamu harus percaya sama dirimu, sama Rabbmu sendiri." ucapku tersenyum dengan air mata berlinang.

Mas Indra tersenyum lirih dan langsung memajukan wajahnya, mencium keningku dengan lembut, diiringi juga dengan air matanya yang keluar berlinang, jatuh menetes untuk pertama kalinya.

Aku pasrah. Tapi aku juga tahu jika aku tidak bisa membuat Mas Indra merasa putus asa karena penyakitnya.

Hari ke hari berlalu, keadaan Mas Indra semakin parah. Bodohnya aku sering mengajaknya keluar ruang rawat untuk sekedar jalan-jalan, sekaligus sarana untuknya mendapatkan hiburan, akan tetapi hal itu justru semakin membuat Mas Indra berkemungkinan terinfeksi banyak penyakit melalui udara atau semacamnya.

Itu terjadi dikarenakan sistem kekebalan tubuhnya yang sudah tidak ada. Bodoh... dasar bodoh!

Aku berakhir mengutuk diriku sendiri karena kebodohanku.