Aku tidak tahu, aku benar-benar tidak tahu cara merawat orang yang menderita penyakit seperti ini, karena aku tidak pernah pengalaman tentang hal ini.
Setelah itu aku pun hanya bisa meratapi kesedihanku melihat Mas Indra terbaring lemah dengan begitu banyak penyakit yang menginfeksi dirinya.
Seminggu sebelum hari pernikahan Mas Rian, Mas Indra masih terbaring lemah di kasurnya bahkan kini hidungnya dipasang selang oksigen dikarenakan dirinya kesulitan bernafas sebab penyakit Tuberkulosis parah yang memicu penyakit pernafasan kronis.
Aku sering melaksanakan shalat dhuha di musholla yang ada di lantai yang sama dengan ruang rawat Mas Indra.
Diriku juga tidak hentinya memanjatkan doa agar Mas Indra bisa kembali sehat atau minimal bisa bertahan hidup dalam waktu lama. Hingga bahkan aku sering menangis diatas sajadahku.
Aku... sangat berharap Mas Indra bisa kembali seperti dulu.
Bagiku, Mas Indra adalah sosok pria sempurna yang sejak dulu selalu kukagumi segala hal tentangnya. Dia... meskipun juga masihlah seorang manusia, akan tetapi aku menerima segala kekurangannya.
Ketika dulu aku mengasingkan diri di villa. Aku seperti kehilangan sosok yang begitu berharga dalam hidupku.
Mengetahui dirinya berselingkuh dibelakangku... aku seperti tidak menyangka semua asumsi yang belakangan kutolak, ternyata memanglah sebuah fakta yang harus kuterima.
Disitu aku tidak menyangka... disitu aku tidak terima.
Meskipun dalam hati aku sangat kecewa... akan tetapi jauh didalam lubuk hati aku mempertanyakan kenapa ia bisa berbuat hal semacam itu.
Padahal.. aku masih sangat mencintainya... aku mempercayainya.
Lalu kini kepercayaanku itu ternyata terjawab sudah, jika apa yang kuyakini tentangnya memang nyata adanya.
Dia... sosok yang sangat setia lebih dari yang aku sangka. Sebuah plotwist yang tidak pernah aku kira.
Setelah balik dari musholla. Aku kembali memakai baju pelindung warna hijau. Diriku memandang wajah suamiku yang kini sedang terlelap tidur itu, sangat lemah.
Aku tersenyum memandangnya. Lalu berniat membetulkan infusan di tangannya yang sedikit terlilit.
Tiba-tiba saja seseorang menepuk bahuku hingga membuat diriku kemudian menoleh ke belakang. Ternyata dia adalah Mas Rian. Aku tersenyum.
"Eh kamu." ucapku merasa tidak kaget lagi. Dia memang sering kesini, menengok masnya ini. Entahlah aku yakin saja jika hubungan Mas Rian belakangan ini terhadap Mas Indra semakin membaik.
Ia membawakan dua bubur. Lalu sodorkan satu untukku. "Nih Mbak, belum makan kan?" tanyanya.
"Segala dibeliin lagi. Kamu enggak ke kantor sekarang?" tanyaku.
"Lagi libur." ucapnya nyengir.
"Libur sendiri. Bisa aja deh kalo udah jadi pak bos. Libur sendiri juga enggak ada yang ngomelin." ucapku terkekeh.
Kami pun berniat akan pergi dari sana. Akan tetapi Mas Indra mendadak terbangun, tangannya memegang tanganku saat itu. Seolah menahanku untuk pergi.
Aku memalingkan diri langsung ke arahnya. "Mas Indra?" tanyaku.
"Sin-ni." ucapnya. Kami berdua segera mendekati Mas Indra. Kami menatap Mas Indra penuh tanya.
Akan tetapi tiba-tiba saja Mas Indra memegang tangan kami berdua lalu menyatukannya.
"Rian... meni--kahlah dengan Lisa." ucapnya. Aku dan Mas Rian yang mendengarnya langsung kaget bukan kepalang.
"Mas.. kenapa... kenapa kamu ngomong kayak gitu?" tanyaku tidak percaya.
"Ri--an... ka-mu suka kan sa-ma Lisa?" tanya Mas Indra, aku langsung menoleh ke arah Mas Rian yang tampak diam terpaku.
Kenapa... dia diam saja?
Kenapa seolah dia setuju dengan yang dikatakan oleh Mas Indra?!
Tidak... tidak... itu tidak mungkin. Mas Rian pasti hanya terkejut soal ini.. dia tidak mungkin setuju dengan perkataan barusan.
"Maksud kamu apa Mas? Kamu kan suami aku Mas." ucapku semakin cemas.
Tangan Mas Indra semakin memegang erat tangan kami. "Saya moh-on. Kalian men-ikahlah. Itu wasiat terakhir saya." ucap Mas Indra. Air mataku perlahan menetes, menitik deras dan memunculkan tetesan lainnya berjatuhan.
Aku merajuk. "Maass, kamu kenapa sih. Kenapa kamu ngomong kayak gitu? Kamu enggak boleh ngomong kayak gitu." ucapku terisak.
"Ri--an... ma--af se--lama ini bel--um ja--di ka-kak y-ang ba-ik.. Mas sera-hin Li--sa ke ka--mu.. bahagia--kan dia.. jadi--lah sua--mi yang ba--ik. Jangan ti-ru Mas. Jang-an buat Lisa.. se-dih" ucap Mas Indra terbata.
Yang kutahu Mas Rian ikut menangis saat itu.
Aku tidak pernah tahu sehari setelah Mas Indra mengatakan hal itu dan mengacaukan suasana hati kami yang semula kondusif, di malam harinya Mas Indra mengalami kritis.
Aku terus didampingi oleh Mas Rian dan Hilya. Menangis bersama dan berdoa bersama, kami terus mengharapkan kabar baik mengenai kondisi Mas Indra.
Akan tetapi, di jumat pagi... kami semua mendapatkan sebuah kabar yang sangat menyedihkan. Sebuah kabar yang begitu cepat memicu tangis kami keluar. Mas Indra... meninggal dunia.
Mas Rian saling memeluk kami yang tampak kacau, aku dan Hilya saling menangis di pundaknya saat itu. Padahal sang pemilik pundak pun turut menangis pilu.
Kami saling menegarkan diri masing-masing dan menopang diri masing-masing supaya tetap bisa berdiri tegak. Meski... rasa kehilangan itu hampir membuat sistem peredaran tubuh kami lumpuh.
Satu hal yang sudah kuduga itu benar terjadi. Tapi bukan berarti semua doaku itu tidak diijabah, akan tetapi karena Allah sangat menyayangi Mas Indra. Dia tahu apa yang terbaik untuk Mas Indra.
Dia tahu jika ini adalah satu-satunya jalan bagi Mas Indra untuk menyudahi segala macam rasa sakit itu dengan cara yang singkat.
Dengan demikian kesudahan yang baik adalah hasil dari segala hal yang sulit.
Ya Allah.. semoga saja Mas Indra diterima disisiMu termasuk segala amal dan ibadah yang ia perbuat selama ini...
Saat aku membereskan ranjang tidur Mas Indra.
Aku menemukan selembar kertas dibawah bantalnya. Seperti sebuah surat, dan saat kubuka lipatannya dan melihat apa isi didalam surat tersebut... air mataku kembali mengembang.
"Membina rumah tangga denganmu adalah hal yang aku impikan sejak lama. Menjadi suami yang selalu ada disampingmu, menggandeng tanganmu, berjalan didepanmu, dan mengecup keningmu adalah suatu kebanggaan.
Meskipun hanya sebentar, meskipun terkesan sesaat, meskipun 5 bulan adalah waktu yang seperti kerjapan mata. Bagiku... kamu tidak lain adalah kado terindah yang diberikan Allah untukku.
Kado yang hanya kumiliki dalam beberapa saat dan yang tak bisa benar-benar kugenggam selamanya.
Aku... mungkin memang masih.. belum bisa memberikan yang terbaik sebagai suamimu.
Masih perlu belajar dari orang-orang yang lebih terlatih dalam urusan berumah tangga, penyelesaian masalah dan mengatur emosi...
Aku... terlalu banyak hal yang kusembunyikan padamu hingga... membuatku... kacau sendiri.
Ya, aku melakukan itu bagaimanapun juga untuk menjaga hatimu... agar tidak rentan terluka.
Maafkan aku Lisa yang sering membuatmu kecewa dan sakit hati atas semua perubahan sikapku belakangan ini.
Sejujurnya... aku sangat mencintaimu sejak saat ini maupun nanti...
Tapi sayangnya aku berpenyakit seperti ini, kamu juga pasti akan ilfeel denganku, bahkan usiaku juga mungkin tidak akan lama lagi, jadi buat apa aku menunjukkan semua rasa cintaku itu?
Hari ke hari hidupku penuh tekanan, aku depresi Lis... kepergianmu membuatku semakin menderita asal kamu tahu.
Bahkan hingga diriku dengan sangat bodohnya mencoba untuk berhenti minum obat saja.. tapi ternyata... kebodohanku itu membuat penyakit ini justru semakin membuat sisa umurku makin pendek.
Ya bodohnya aku...
Tapi aku tahu sekarang, ternyata... banyak hal sudah kulalui sia-sia. Banyak kesalahan yang telah kuperbuat, mulai dari Rian, kamu dan penyakit ini...
Lisa... jika kamu menemukan surat ini ketika aku sudah tidak ada, tolong terimalah permintaan maafku...
Selamat tinggal... istri tercintaku...
Semoga kamu berbahagia dengan Rian... "
Aku menangis parah saat itu, mencium dan memeluk surat itu hingga akhirnya kedua kakiku tak sanggup menopang lagi tubuhku yang mengakibatkan diriku ambruk detik itu juga.
Seminggu berselang selepas kepergian Mas Indra. Pernikahan antara Mas Rian dan Fika pun dilangsungkan. Aku menolak wasiat terakhir Mas Indra, aku tidak ingin menjadi perusak pernikahan diantara Mas Rian dan Fika.
Saat ini bahkan kulihat Fika sudah bergaun pengantin sangat cantik, ia seperti tuan putri yang kini sedang menunggu sang pangeran untuk datang mendampinginya.
Akan tetapi sampai jam 9 pagi, Mas Rian masih belum muncul juga. Padahal akad nikah sebentar lagi akan dilaksanakan.
Aku pun merasa tidak enak dengan para tamu undangan termasuk keluarga Fika maupun Fika sendiri.
Ternyata saat dihubungi, Mas Rian mengatakan sedang terjebak macet. Aku pun semakin cemas, tapi ini memang sebuah kewajaran sih. Mengingat hari ini merupakan hari libur.
Tiba-tiba saja pundakku ditepuk oleh seseorang. Ternyata itu adalah Fika yang kini beralih memegang tanganku.
"Ayo Mbak kita kesana." ucapnya seraya menuntunku pergi ke suatu tempat.
Ini aneh, kenapa sang mempelai pengantin justru mengajakku entah kemana?!
Kini sampailah kedua kakiku didepan sebuah ruang rias. Bahkan tiba-tiba Fika menutup kedua mataku dan mengikatnya dengan tali hingga aku tisak bisa melihat apapun saat itu.
"Maaf ya Mbak. Aku terpaksa melakukan ini." ucapnya ketika aku merasa kebingungan atas hal ini. "Loh, Fik. Ini apa toh? Mbak enggak ngerti. Kok mata Mbak sampai ditutup begini?" tanyaku tidak percaya.
"Pokoknya ikutin Fika aja ya Mbak. Pokoknya apapun hal yang kami lakukan Mbak harus lakukan. Soalnya ini sangat amat wajib Mbak patuhi." ucap Fika.
Aku merasa heran. Ini maksudnya apa sih? Memangnya dia mau ngapain?!
Fika kemudian mengajakku berjalan ke depan lalu berkata pada beberapa orang didepannya.
"Kalian, tolong lakukan perubahan sama Mbak ini sesuai perintahku tadi ya?" pintanya, beberapa dari mereka pun saling menuntunku menuju entah kemana itu.
Aku bingung, mereka mau ngapain sih sebenarnya?!
Beberapa saat kemudian, dalam keadaan kedua mataku masih tertutup penutup mata. Diriku pun dituntun oleh Fika saat itu keluar dari ruang rias.
"Fika, Mbak disuruh buka baju barusan maksudnya lagi diapain sih? Kamu pakaikan Mbak baju aneh ya? Jangan-jangan mau dijadiin foto model majalah sexy lagi?!" tanyaku curiga. Fika tertawa.
"Enggak Mbak, udah tenang aja. Mbak pokoknya ikutin aku aja jalan." ucap Fika. Aku merasa heran, sebenarnya apa sih yang ia rencanakan?!
Tapi yang kupakai saat ini kok kayak lebih berat dan menyeret ya? Memang ini baju yang tadi kupakai?! Wajahku juga sampai dibubuhi make up segala tadi. Aku penasaran, apa sih rencana dia?
Tak lama aku dan fika sampai didepan keramaian para tamu. Aku masih dalam keadaan tertutup kedua matanya. Akan tetapi mendadak aku tidak merasakan kehadiran Fika disana.
Aku meraba-raba yang ada disekelilingku. Mencari Fika. "Fik? Fika? Kamu kemana? Kok enggak ada sih? Fika." ucapku seraya terus mencari, layaknya seorang tunanetra dadakan.
Aku terus melangkah maju dalam keadaan meraba seperti itu, hingga diriku tak sengaja tersandung hingga menyebabkan diriku hampir terjatuh. Akan tetapi ketika akan terjatuh, seseorang keburu menangkap tubuhku.
Aku merasakan wangi parfum yang begitu enak tercium oleh hidungku. Parfum lelaki yang sangat familiar dan sering kucium. Seperti parfum siapa ya?
Ah tapi intinya orang yang menangkapku saat itu adalah seorang pria. Aku harus menjauhkan diriku darinya reflek. "M-maaf... saya enggak sengaja." ucapku.
Tiba-tiba saja pria itu segera membuka penutup mataku hingga membuatku langsung terlonjak ketika melihat dengan jelas siapa pria bersetelan jas rapih yang ada dihadapanku. Dia adalah... Mas Rian.
"Mas, Rian?" tanyaku. Ternyata dia sudah sampai. Syukurlah, Fika pasti sudah lumutan menunggunya sejak tadi.
"Yaudah Mas sekarang kamu temuin pengantinmu gih. Dia udah nungguin dari tadi." pintaku. Mas Rian tersenyum melihatku.
"Pengantinnya ada disini." ucap Mas Rian menunjukku dengan dagunya. Aku terheran. "M-maksud--"
Aku langsung tersadar saat melihat pakaian sangat indah yang kupakai. Ini... bukankah yang kupakai ini terlihat seperti gaun pengantin? Bahkan wajahku terasa sangat lengket saat itu ditambah pernak-pernik diatas kerudungku yang kini terasa begitu berat.
Tidak mungkin... mungkinkah yang dikatakan Mas Rian barusan... sungguhan?! Kalau aku adalah pengantinnya?! Tapi bagaimana dengan Fik--
Di seberang sana Fika tampak melambai seraya menyunggingkan senyuman manis padaku.
Apakah dia yang merencanakan ini semua?!
Aku kembali melihat ke arah Mas Rian yang tak bosannya tersenyum padaku.
"Mbak Lisa, udah siap kan?" tanya Mas Rian. Aku terheran menatapnya penuh tanya. "Apa?"
"Yuk nikah." ucap Mas Rian lagi, tersenyum lebar. Aku balik tersenyum malu.
"Y-yaudah." ucapku gugup. Hilya, Rhena maupun banyak orang yang menonton kami saat itu pun saling menggoda bahkan melempar kami dengan satu per satu bunga.
Setelahnya acara akad nikah pun dilaksanakan, diriku dan Mas Rian resmi menikah hari itu, seusai akad itu diikrarkan. Aku pun mencium tangan Mas Rian lalu setelahnya giliran Mas Rian mencium keningku.
Kebahagiaan hari ini... sejatinya adalah penutup dari kesedihan yang sudah kita lalui bersama dan pembuka bagi kisah kami selanjutnya ke depannya.