Chapter 13 - Debat

"Padahal sejak awal saya masuk kuliah pun enggak pernah sekalipun saya meminjam uang. Tapi kenapa kayak gitu responnya? Iya saya ngaku salah sampai-sampai enggak pulang ke rumah lagi setelah itu. Karena saya sangat kecewa, dan labilnya saya juga menganggap kalau semua orang rumah itu ada di pihak Mas Indra. Padahal nyatanya enggak gitu. Saya nyesal banget saat itu." ucapnya.

Aku mengusap punggungnya, prihatin.

"Kadang memang dalam keluarga ada hal kayak gitu. Mbak juga sering mengalami hal kayak gitu sama saudara Mbak." ucapku.

"Dan di hari pertunangan saya satu bulan lalu, Mas Indra kayak nyalahin saya Mbak. Menuntut saya harus meminta maaf sama bapak saya yang sudah meninggal. Karena Mas Indra menuduh saya penyebab bapak saya meninggal. Ya karena biaya operasi enggak saya bantu. Dia kayak kesel gitu sama saya. Yaudah saya usir kan dia... ya habis bikin kesel." ucapnya diselingi kekehan.

Aku masih mengusap punggungnya.

"Iya Mas.. kamu yang sabar ya." ucapku.

"Yah, kita punya masalah masing-masing Mas. Kamu masalahnya begini, saya masalahnya begitu." ucapku.

"Iya Mbak. Memang." balasnya.

"Mungkin ini ujian buat kita, untuk lebih bersabar lagi ke depannya." ucapku.

"Iya."

"Oh iya, kamu gimana bisa kenal sama Fika?" tanyaku kepo.

"Dia teman kuliah saya. Satu fakultas." ucapnya. Aku mengangguk. "Cantik ya dia?" tanyaku.

Ia tersenyum tipis. "Masih cantikan Mbak." ucapnya.

Aku menoyor bahunya sambil merasa geer.

"Apaan si. Lagi muji calon istrimu juga." ucapku.

"Biar adil, biar bukan Fika aja yang merasa geer." ucapnya. Aku hanya tertawa.

"Semoga aja kita sama-sama menemukan kebahagiaan kedepannya." ucapku. Mas Rian mengaminkan doaku.

"Tumben bilang amin." ucapku terkekeh.

"Orangnya udah pergi." balasnya cengengesan.

Aku menoyor bahunya dan ikut tertawa bersamanya.

Esok paginya selepas Mas Rian berangkat kerja, aku pun membantu Bi Inah memasak di dapur.

Aku tidak enak hanya diam saja di rumah orang, minimal aku harus bantu-bantu.

Aku bantu mencuci, memotong sayur dan cabai lalu Bi Inah bagian menggorengnya atau menumisnya. Tapi ditengah itu tiba-tiba aku mendengar suara ketukan pintu diluar.

Aku segera membukakan pintu itu dan menolak Bi Inah meninggalkan wajannya dengan kompor menyala.

Aku membuka pintu, kedua mataku terbelalak saat melihat wanita cantik berambut hitam lurus dengan panjang sebahu berdiri dihadapanku, terkejut.

Lebih ke arah tidak menyangka sepertinya.

Ia pasti terheran kenapa aku bisa ada disini.

"Mbak Lisa? Kok?" tanyanya. Aku langsung membalas. "Eh kamu Fik.. ayo masuk." ucapku seraya membuka lebar pintu dan mengajaknya duduk disofa.

Aku juga duduk mendampinginya di sofa.

Kami saling berpandangan saat itu dan melempar senyum. Ia langsung bersuara setelah menatapku.

"Oh iya Mbak kok bisa ada disini? Mas Indra lagi enggak ada dirumah atau gimana?" tanyanya penasaran.

"Lagi ada kayak gitu pokoknya hehe." ucapku terkekeh.

"Kayak gitu gimana Mbak?" tanyanya.

"Lagi biasalah masalah rumah tangga." ucapku sedikit menutupi hal ini. Dia mengohkan perkataanku dan mengangguk pelan.

"Udah lama tinggal disini?" tanyanya.

"Enggak, baru kemarin." ucapku.

"Oh bertengkarnya kemarin. Terus baru tinggal disini sekarang?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Mas Rian yang nawarin untuk tinggal disini apa gimana?" tanyanya.

"Mas Rian yang nawarin." ucapku merasa sedikit tidak enak. Ia mengohkan perkataanku dan tersenyum melihatku.

"Kayaknya perkataan saya yang kemarin enggak salah, kalau Mbak memang orang yang spesial di mata Mas Rian." ucapnya. Ia kembali meneruskan.

"Saya penasaran sebenarnya apa yang membuat Mbak dan Mas Rian bisa sedekat itu. Apa dulu kalian sempat... berpacaran?" tanyanya. Aku terkejut. Duh apa dia cemburu ya?

"E-enggak kok, enggak sampai begitu. Kita cuma sebatas guru dan murid aja. Memang kita sering ketemu karena dulu dia bandel, makanya sering keluar masuk ruang BK, dan kebetulan saya adalah guru BK disekolahnya. Jadi sering ketemu dan ngobrol juga, lebih ke ngarahin dia ke hal-hal baik." ucapku.

Ia mengangguk. "Pantes hehe." ucapnya.

"Tapi enggak sampai ke arah hubungan kayak gitu kok, tenang aja." ucapku. Ia tersenyum, seperti cukup memaklumi hal itu.

"Oh iya, kamu kesini mau ketemu Mas Rian atau gimana? Soalnya Mas Rian baru aja pergi ke kantor tadi." tanyaku.

"Enggak Mbak, saya kesini cuma mau ngembaliin ini, jaket Mas Rian. Baru aja saya cuci kemarin." ucapnya seraya menyodorkan paperbag berisi jaket hitam. Aku menerimanya.

"Iya nanti Mbak kasih ke Mas Rian." ucapku.

Kami saling berdiaman sebentar. Fika langsung berkata.

"Yaudah saya pulang dulu ya Mbak, itu aja maksud kedatangan saya." ucapnya seraya bangkit dari kursi akan tetapi aku teringat dengan kue bolu oleh-oleh kemarin.

"Tunggu dulu Fi, kamu bawa bolu oleh-oleh ya? Mas Rian beli banyak kemarin." ucapku.

Ia menatapku heran. "Oleh-oleh? Oh iya, kemarin Mas Rian habis dari bogor kan ya?" tanyanya.

"Iya bener. Mau ya? Ada dua box lagi." ucapku.

"Enggak Mbak, buat Mbak aja atau Bi Inah disini. Saya banyak kue di rumah. Saya pamit Mbak, assalamualaikum." ucapnya langsung pergi. Aku menjawab salamnya.

"Waalaikumsalam." meskipun sedikit menyayangkan dirinya tidak mau diberi oleh-oleh yang sengaja Mas Rian belikan kemarin.

-POV 3-

Di ruang kerja Rian. Pria itu sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Setidaknya ia harus menyelesaikan tugas yang tertunda kemarin hingga menjelang nanti, pukul 10 pagi. Karena akan ada meeting di jam tersebut.

Tapi tiba-tiba telepon kantor yang ada disampingnya berdering. Rian pun segera mengangkat teleponnya.

"Halo, selamat pagi?" tanyanya. Seketika matanya mengernyit. "Kamu?"

Tak lama setelahnya Rian dan Fika saling duduk berhadapan di kursi lobby.

"Kenapa?" tanya Rian yang sedari tadi terus dilihat oleh Fika dengan senyuman samar.

"Enggak, aku tadi habis dari rumah kamu. Ngembaliin jaket." ucapnya. Rian mengohkan perkataannya. "Dikasih ke Bi Inah kan?" tanyanya. Ia menggeleng.

"Dikasih ke Mbak Lisa." ucapnya dan sedikit mengejutkan Rian saat itu.

"O,oh."

"Ternyata memang benar ya dugaan aku. Kamu masih belum move on dari Mbak Lisa." ucap Fika.

Rian mengernyit. "Maksud kamu apa?" tanya Rian.

"Kamu itu tipe orang yang setiaaa banget sama cinta pertamanya." ucap Fika.

Rian tidak habis pikir, ia melempar tawa sinis.

"Maksudnya apa coba. Mbak Lisa itu kan cuma mengungsi di rumahku. Memang ada yang salah?! Dia itu baru aja mergokin Mas Indra yang ketahuan selingkuh!" tandas Rian.

Fika tetap tenang dan tersenyum.

"Mas, tahu gak sih. Aku udah kenal kamu sejak kapan? Tiga tahun. Selama itu juga kita pacaran. Tapi dalam waktu tiga tahun itu kok... aku kayak ngerasa enggak bisa memiliki hati kamu sepenuhnya ya? Bahkan hingga sekarang." ucap Fika.

Rian kembali mengernyit, masih tidak percaya dengan perkataan itu.

"Memiliki sepenuhnya? Kamu udah lupa kalau kita sebentar lagi mau menikah? Ya udah ketahuan kan kalau aku bersiap untuk menjadi suami kamu? Memang apalagi yang kurang? Kamu masih merasa kasih sayangku ke kamu kurang gitu? Heh, lucu banget. Hanya karena Mbak Lisa tinggal dirumahku aja kamu cemburu gak jelas kayak gini." ucap Rian.

"Mas, kamu pikir aku enggak tahu? Selama ini aku menemani kamu. Aku tahu apa aja hal yang membuat kamu tertawa, senang, sedih atau kesal dalam waktu bersamaan. Dan alasan utama yang membuat hubungan antara kamu sama Mas Indra enggak akur. Itu enggak lain karena Mbak Lisa kan? Mas Indra udah ngerebut Mbak Lisa yang sejak awal kamu incar?!" tandasnya. Rian tertawa meremehkan.

"Astaga apalagi ini. Kamu ngambil kesimpulan kayak gini dari mana sih Fik?" tanya Rian.

"Ya banyak buktinya. Dan ingat satu hal, perempuan itu punya perasaan yang peka dan perasa. Dia akan semudah itu tahu kalau pasangannya sedang menyembunyikan sesuatu." ucap Fika.

"Aku jelasin sekali lagi, Mbak Lisa itu lagi ada masalah sama Mas Indra. Dan membutuhkan tempat untuk mengasingkan diri, menghibur diri." tegas Rian.

Fika menyela. "Tapi enggak harus begitu! Kamu enggak mesti ikut campur masalah mereka! Biarin itu jadi urusan rumah tangga mereka! Ngapain kamu ikut-ikut campur?! Coba kalo nanti aku sama kamu punya masalah? Memang kamu bakal ngungsi ke rumah kakakmu gitu? Atau minta saran Mbak Lisa gitu?" tandas Fika.

Rian benar-benar tidak percaya dengan yang dikatakan Fika barusan.

Rian terdiam, ia menahan separuh kekesalannya dengan hanya berdiam diri meski pandangannya tampak dilempar ke arah lain.

"Kok kamu bersikap seolah kayak ngatur saya ya? Padahal nikah saja belum?" tanya Rian kesal, matanya kembali menatap lurus Fika.

"Bukan ngatur, tapi emang kamunya ngeselin. Kenapa kamu sampai ikut campur urusan rumah tangga mereka? Seakan kamu ngasih perhatian lebih ke Mbak Lisa." ucap Fika.

Rian menghela nafas.

"Oke, mungkin menurutmu begitu. Misal! Kalo di masa depan nanti kamu dan aku sudah menikah terus kita punya masalah. Apa kamu bakal menjamin apa yang kamu katakan tadi enggak kamu lakukan?!" tandas Rian.

Fika terdiam dan mematung. Ia merasa tidak yakin dengan jawabannya.

"Bisa gak?!" tandas Rian. Fika hanya terdiam melempar wajah. "Y-ya yang penting bukan...." ia tidak melanjutkan perkataannya. Rian merasa sudah berada di puncak kekesalannya.

Ia memilih bangkit dari duduknya lalu pergi meninggalkannya dengan ekspresi kesal dan tidak perduli.

"Mas!" pekik Fika tak rela ditinggalkan begitu saja.