-POV Lisa-
Banyak hal yang kulakukan di rumah Mas Rian, mulai dari membantu Bi Inah, beberes kamar, menyapu dan mencuci piring. Sepanjang itu juga aku sering diajak mengobrol dengan Bi Inah.
"Mbak Lisa emang gimana ceritanya bisa kenal sama Mas Rian?" tanya Bi Inah.
"Hmm saya guru dia waktu SMA Bi." ucapku seraya membereskan kasur.
"Udah itu Bibi aja yang beresin." ucap Bi Inah.
"Enggak apa-apa Bi. Mumpung nganggur. Oh iya Bi Inah udah lama kerja disini?" tanyaku.
"Yah lumayan, dua tahunan kurang lebih." ucapnya.
"Betah Bi?" tanyaku.
"Beuh, bukannya betah lagi Mbak. Bahkan rasanya pengen buang air terus disini. Saking betahnya." ucapnya, aku tertawa.
"Kalo keseringan buang air mah namanya diare Bi." ucapku mengikik. Bi Inah ikut tertawa. "Hehe tahu aja Mbak, tapi emang disini tuh adem dan enggak banyak nyamuk. Beda sama dirumah Bibi. Udah panas, banyak nyamuk, ngelekep deh. Didalem rumah berasa jadi ayam ungkep." curhat Bi Inah, aku hanya terkekeh mendengarnya.
"Enggak sekalian nyamuknya diungkep Bi?" tanyaku semakin tertawa.
"Nah iya, nyamuknya jadi ikut diungkep. Tinggal dimakan dah nanti haha campur nasi. Eh tapi katanya tadi malam mati lampu ya Mbak?" tanyanya.
"Iya Bi. Berduaan sama Mas Rian diatas balkon kamar." ucapku.
"Oalah, kok tumben ya disini mati lampu? Biasanya enggak pernah loh. Ya maksud Bibi jarang gitu." ucapnya.
"Enggak tahu tuh. Bibi enggak kebangun ya? Kayaknya pules banget tidurnya hehe." ucapku.
"Iya Bibi tuh kalo udah tidur suka kepulesan. Tapi kalo bangun pasti pas jam lima pagi. Apalagi lagi mimpiin di taman bunga sama ayang-ayang pala lu peangnya bibi hehe. Sambil nari ala-ala oppa gangnamstyle." ucap Bi Inah.
"Nari india kali Bi? Masa oppa gangnamstyle sih haha." tawaku. Bi Inah ikut tertawa saat itu.
"Iya kali yak. Lupa hihi." balasnya.
Dua bulan berlalu.
Di minggu pagi.
Aku sedang lari pagi bersama Mas Rian. Ini adalah rutinitasku setiap minggunya bersama Mas Rian.
Mulai dari mengitari halaman komplek perumahan hingga keluar perumahan, berkeliling jalan raya dan berakhir makan nasi uduk di taman depan danau.
"Ini nasi uduknya lebih enak dari yang biasa ya Mas?" tanyaku seraya menyuap nasinya dengan sendok.
"Pasti karena ini pakai telor dan harganya lebih terjangkau kan? Haha. Dasar Buibu." ucapnya diselingi tawa. Aku menoyor bahunya.
"Tapi bener kok emang ini enak. Kamu bandingin aja sama yang biasa kita beli." ucapku.
"Iya si emang. Sambelnya juga lebih enak." ucap Mas Rian. "Betul." balasku.
Pandanganku mendadak teralihkan pada sudut bibir Mas Rian yang menempel sebuah nasi. Aku pun segera mengambilnya tanpa basa-basi. Mas Rian yang menyadari hal itu pun segera menghentikan aktivitas mengunyahnya dan beralih memandangku.
Kami saling memandang satu sama lain sebentar, seakan terhanyut oleh pandangan itu. Aku yang menyadarinya cepat segera menundukkan pandangan dan terkekeh. "Maaf hehe. Ada nasi." ucapku.
Mas Rian juga ikut melempar pandangannya dan meminum air mineralnya.
Canggung sekali suasana kami saat itu. Kami saling menyuap nasi uduk masing-masing dengan suasana seperti itu.
Tiba-tiba Mas Rian berbicara.
"Mbak.. tentang perceraian Mbak gimana jadinya? Mbak sudah menghubungi Mas Indra lagi?" tanyanya.
Aku segera menelan nasi yang baru saja kukunyah lalu minum sedikit air mineralku.
"Belum. Mbak masih trauma sama kejadian waktu itu. Masih agak kesal sama Mas Indra. Kamu merasa terbebani ya Mbak masih tinggal dirumah kamu?" tanyaku.
"Enggak Mbak, enggak gitu. Cuma--"
"Iya Mas Mbak ngerti kok. Mbak juga rencananya mau pindah ke villa teman Mbak lagi di puncak. Tapi kalo kamu mau Mbak cepet-cepet pindah dari sekarang juga enggak apa-apa." ucapku.
"Enggak Mbak. Enggak gitu. Saya mau semua cepat clear aja. Tentang kejelasan hubungan Mbak kayak gimana nantinya." ucap Mas Rian.
"Iya, Mbak bakal urus masalah ini secepatnya. Mbak bakal menghubungi Masmu nanti." ucapku tersenyum samar.
Mas Rian pasti merasa terganggu aku tinggal dirumahnya terus. Pasti dia sedang mengusirku secara halus sekarang. Aku pun tahu kalau Mas Rian satu bulan lagi akan melangsungkan pernikahan.
"Sekarang gimana?" tanyanya tiba-tiba.
"Eh?"
"Kalau sekarang hubungi Mas Indra gimana?" tanyanya lagi.
"S-sekarang? Gimana ya.. Mbak masih enggak tahu mau ngomong apa hehe." ucapku.
"Saya yang ngomong Mbak." ucapnya.
"Gimana?" tanyanya. Aku terkejut lalu terdiam sebentar kemudian berkata.
"Y-yaudah." ucapku.
Setelah menyelesaikan makan nasi uduknya, Mas Rian pun segera melipat bungkusan nasi itu ke dalam plastik, pun sama halnya denganku.
Dirinya lalu mengambil ponselnya dan telepon Mas Indra dengan mengaktifkan loudspeakernya.
Telepon diangkat. Namun anehnya yang mengangkat justru seorang perempuan. "Iya halo?" tanyanya.
Mas Rian melihat ke arahku tidak percaya.
"Kok perempuan?" tanyanya. Aku semakin curiga kalau itu adalah klien selingkuhannya waktu itu. Mas Rian masih mendiamkannya, tak menjawab apapun ia bertanya-tanya padaku.
"Halo? Halo Mas Rian? Halo?" tanya perempuan itu. Aku dan Mas Rian kembali tersentak, kenapa perempuan itu menyebut Mas Rian?!
Mas Rian pun seperti tahu sesuatu. Ia langsung jawab. "Halo assalamualaikum. Ini Hilya ya?" tanyanya.
"Iya Mas. Ada apa telepon Mas Indra?" tanyanya.
"Justru Mas mau tanya kenapa kamu pegang hape Mas Indra? Mas Indranya mana?" tanya Mas Rian.
"Mas Indra... lagi enggak pegang hape." ucapnya seakan sedang menyembunyikan sesuatu tentang keberadaan Mas Indra.
"Iya lagi kemana? Dan kamu lagi dimana sekarang? Kenapa hape Mas Indra ada di kamu?" tanyanya. Hilya terdiam.
"Halo? Halo Dek?" tanya Mas Rian didepan ponsel.
"Pokoknya Mas enggak boleh tahu dimana Mas Indra sekarang." ucap Hilya.
"Loh kenapa emang?!" tanya Mas Rian, kami semakin curiga. Akan tetapi di fase kecurigaan kami yang memuncak, Hilya justru mematikan teleponnya.
"Loh kok dimatiin sih?" tanya Mas Rian heran. Rian mencoba hubungi kontak itu lagi akan tetapi tidak qdiangkat. Bahkan berujung teleponnya tidak aktif. Mas Rian bingung, aku pun demikian. Kenapa seperti ada yang disembunyikan dari mereka ya?
Kemana sebenarnya Mas Indra saat ini?
Beberapa saat kemudian kami pun inisiatif pergi ke rumah lamaku. Akan tetapi yang kami lihat adalah pintu rumah yang terkunci rapat dengan keadaan teras yang berdebu dan banyak sampah dedaunan dari pohon didepan bertebaran.
Rumah yang seperti sudah ditinggalkan penghuninya cukup lama. Motor Mas Indra yang biasa terparkir di teras depan juga tidak ada. Aku mendekati Mas Rian.
"Kayaknya Mas Indra emang udah ninggalin rumah ini cukup lama deh." ucapku. Mas Rian terdiam berpikir. Sepertinya ia sedang memikirkan kemungkinan dimana Mas Indra saat ini.
"Apa mungkin ada di rumah Ibu saya ya?" tanya Mas Rian.
"Enggak tahu Mas, mungkin aja sih." ucapku.
"Yaudah sekarang kita kesana. Ayo Mbak." ajaknya segera mengajakku keluar pagar.
Akan tetapi tiba-tiba saja aku melihat tetangga sebelah rumahku sedang keluar.
Aku pun bersegera bertanya padanya. Kebetulan tetanggaku itu juga menyapaku.
"Bu liat Mas Indra enggak ya kemana? Kok rumahnya kayak kosong?" tanyaku penasaran.
"Suami Ibu ya? Sakit Bu, emang Ibu enggak tahu? Udah dari dua bulan yang lalu dirawat di rumah sakit. Saya kira Ibu tahu, makanya kirain rumah ini sengaja dikosongin karena Ibu ikut tinggal dirumah sakit." ucapnya. Aku terkekeh.
"Ngomong-ngomong dirawat dimana ya Bu suami saya." tanyaku.
"Enggak tahu Bu, kita semua tetangga juga enggak ada yang tahu dirawat dimana. Tapi kayaknya parah banget sakitnya. Sampai waktu itu dibawa pakai ambulan." ucap tetanggaku itu. Aku terkejut.
"Masa sih? Sampai pake ambulan?" tanyaku tidak percaya. "Iya Bu. Teman kerjanya nemuin Pak Indra waktu itu, tergeletak di dalam rumah." ucapnya.
"Teman kerjanya itu perempuan cantik bukan Bu?" tanyaku.
"Iya bener. Cantik banget kayak model, tinggi orangnya." ucapnya. Aku berasumsi itu pasti selingkuhan Mas Indra waktu itu. Bukan teman kerja, melainkan klien kerjanya yang kutemui di restoran waktu itu.
"Yaudah, makasih Bu." ucapku.
Aku segera mendekati motor kembali bersama Mas Rian.
"Gimana Mas, kita mau kemana sekarang?" tanyaku.