Esok paginya di hari minggu. Kami pun sampai didepan rumah besar dan megah yang Rian miliki. Di halaman sana bahkan banyak mobil dan motor terparkir.
Kurasa dari pihak Fika pun merupakan keluarga terpandang juga, dominasi merupakan mobil mewah yang terpajang disana.
Setahuku Rian merupakan seorang direktur di perusahaan yang 2 tahun ini baru dirintisnya. Perusahaan yang bergerak di bidang alat-alat kesehatan.
Hebatnya dia membangun perusahaan itu seorang diri, tanpa meminta bantuan Mas Indra atau pihak kerabat lainnya.
Aku merasa sangat bangga dengannya, meskipun di awal aku pun tahu. Dirinya membangun perusahaan ini dengan menempuh jalan yang terseok-seok.
Aku menjadi saksi dari semua kegelisahannya kala itu dan menjadi satu-satunya yang paling memahami bagaimana perasaannya saat itu.
Aku sudah memakai gamis yang sangat cantik pemberian Mas Indra hadiah pernikahan kami, gamis yang memiliki kesan mewah berwarna merah muda dipadu-padankan dengan kerudung pasmina berwarna ungu muda dengan motif bunga.
"Assalamualaikum." ucap kami berdua, serentak semua pandangan orang-orang didepan sana jadi tertuju pada kami.
"Waalaikumsalam." ucap mereka semua.
Mas Rian langsung berjalan cepat menuju kami. Ia saling bergantian menatap kami dan mencium tangan kami.
"Ayo Mas Mbak duduk dulu." ucapnya.
Kami pun berjalan menuju sofa, tapi sayangnya sofa sudah penuh semua. Tersisa satu space saja untuk kami duduk. Mas Indra pun berbisik.
"Kamu aja yang duduk, saya nunggu diluar." ucapnya.
Aku terkejut dan lantas menolak. "Eh? Enggak Mas. Ini kan acara adik kamu!" bisikku seraya menarik tangannya.
"Udah biar aku aja yang duduk diluar." ucapku.
"Udah kamu aja." ucapnya kekeh dan langsung pergi. Aku berteriak pelan. "Mas!"
Ish, dia ini yaa main ngabur aja..
Mas Rian mendekatiku seraya memberikan dua gelas teh manis dingin. "Ini Mbak." ucapnya.
"Iya makasih." ucapku.
"Mas Indra kemana Mbak?" tanyanya.
"Ke depan, mau ngadem kayaknya hehe." ucapku. Mas Rian mengangguk.
"Panas ya disini? Maaf ya Mbak banyak orang soalnya. Mau saya arahin kipas anginnya kesini?" tanyanya.
"Eh? Enggak-enggak.. saya enggak gerah kok. Enggak usah repot-repot." ucapku. Mas Rian mengohkan hal itu.
Tiba-tiba seorang wanita cantik berambut sebahu mendekati Rian bahkan memegang tangannya.
"Kamu ngapain Yang?" tanyanya seraya tersenyum menyapaku.
Duh cantik sekali sih, sampai ngira dia boneka apa bukan... Mas Rian ini sesat sekali ya, diam-diam seleranya wanita seperti ini..
Pasti dia yang namanya Fika.
"Ah, kenalin Fik. Ini namanya Mbak Lisa. Guru saya waktu SMA, sekaligus istri dari Mas Indra." ucapnya.
Fika langsung terlihat senang melihatku. Seakan ia tahu diriku banyak dari Mas Rian.
"Wah ini toh yang namanya Mbak Lisa!" ia langsung menghambur dan memelukku yang berangsur bangkit dari duduk.
"Halo Mbak, apa kabar? Mas Rian cerita banyak loh tentang Mbak." ucapnya dan segera melepas pelukanku.
Aku terkekeh. Kurasa Mas Rian benar-benar menceritakan banyak hal tentangku, dasar dia ini.
Awas saja kalau dia sampai mengatakan hal aneh tentangku.
"Kayaknya selain kakak ipar, Mas Rian juga menganggap Mbak sebagai sosok yang sangat penting dalam hidupnya." ucap Fika.
Aku jadi geer mendengarnya.
"Bisa aja kamu." ucapku, yang setelahnya langsung berbisik pada Mas Rian.
"Kamu gak bicara yang aneh-aneh kan?" tanyaku.
"Sedikit." ucapnya tertawa, aku langsung mencubit pinggangnya gemas.
"Loh, Mbak kesini enggak sama Mas Indra?" tanya Fika.
"Kesini sama dia kok, cuma lagi ngadem didepan." ucapku.
"Oh gitu, kepanasan ya?"
Tiba-tiba dua orang lagi masuk ke dalam rumahnya dengan mengucap salam terlebih dahulu. "Assalamualaikum." ucap mereka serentak.
Kami terkejut dengan kedatangan mereka dan segera mengucap salam balik. Tidak lain itu adalah ibu mertuaku yaitu Bu Asih dan anak terakhirnya yaitu Hilya. Sekaligus Ibu kandung Mas Indra dan Mas Rian.
Kami saling mencium tangan Bu Asih, sebagaimana kami menganggapnya sebagai seorang ibu bagi kami.
Mereka tampak sangat cantik ketika itu dengan balutan baju gamis dan kasualnya.
"Naik apa kesini Bu?" tanyaku.
"Naik motor berdua sama Hilya." ucap Bu Asih.
"Oalah, tadinya Mas Indra mau ngajak biar naik grabcar bareng. Tapi Hilya hapenya enggak aktif." ucapku.
"Iya Tan, hapeku lagi rusak hehe." ucapnya. "Keseringan dipake, hapenya jadi error." ucap Bu Asih. Aku tertawa.
"Ibu ngerti error hehe."
"Ngerti orang sering disebut sama Hilya, apa-apa error. Oh iya Indra enggak disuruh masuk? Acaranya udah dimulai kan?" tanya Bu Asih.
"Aku ke depan dulu deh Bu, manggil Mas Indra." ucapku. Mas Rian tiba-tiba menahan tanganku.
"Jangan.. saya aja." ucapnya. Aku terkejut, apa mungkin Mas Rian berniat ingin baikan dengan Mas Indra.
"I-iya Mas." ucapnya.
Ia segera pergi keluar meninggalkan kami.
Tapi aku tidak enak juga membiarkan ibu mertuaku berdiri, aku pun inisiatif menawarkan duduk padanya.
"Bu, duduk disini aja. Saya keluar dulu." ucapku seraya pergi keluar, ikut menyusul Mas Rian.
-POV 3-
Rian mendekati Indra. "Enggak ke dalam Mas?" tanyanya yang cukup mengagetkan Indra saat sedang sibuk bermain ponsel sambil berdiri.
"Ah, enggak. Ini lagi cari angin aja sambil main hape." ucapnya tersenyum sekilas.
Mereka saling terdiam canggung saat itu, melempar pandangan.
Tapi Rian mengambil inisiatif untuk berbicara duluan, sepertinya tidak enak juga, jika terus berdiaman seperti itu.
"Soal kejadian waktu itu.. Rian mau minta maaf." ucap Rian hati-hati.
Indra menatapnya. "Iya, enggak apa-apa." ucapnya dijeda sebentar hingga Rian sendiri merasa lega ketika mendengarnya.
Akan tetapi Indra kembali meneruskan perkataannya.
"Tapi bagaimana sama Bapak? Kamu sudah minta maaf sama Bapak? Kalau bisa kamu minta maaf didepan makam Bapak. Karena khawatirnya Bapak masih memendam kesal sama kamu, oh iya dan juga termasuk ibu dan Hilya juga. Soalnya mereka juga sama-sama terluka karena kamu." ucap Indra.
Rian yang tadinya cukup hormat dan menghargainya kini justru berbalik kesal. Ia melempar pandangannya sesaat lalu tertawa sinis.
"Heh, mending enggak ngundang kalo akhirnya begini." ucap Rian setengah gumaman.
Indra berbalik kesal dengannya.
"Oh yaudah, memang dari awal Mas juga males datang kesini. Buang-buang waktu juga, mending rebahan di kasur." ucap Indra segera beranjak pergi.
Tapi, tiba-tiba kepalanya merasa pusing, hingga akhirnya ia berjalan gontai dan hampir jatuh.
Akan tetapi Rian segera memegang tangannya, menipang tubuhnya. Indra segera menepis tangannya dan segera pergi menuju Lisa yang kebetulan memang sedang memperhatikan mereka sejak tadi, didepan pintu.
"Mas? K-kamu kenapa jalannya? Kamu masih sakit?" tanyanya panik.
"Ayo pulang." ucapnya seraya menggandeng tangan Lisa kasar dan membawanya pergi dari sana.
Meskipun Lisa merasa tidak enak langsung pergi pulang begitu saja. Tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Rian, atau ibu mertuanya.