Beberapa saat kemudian, aku pun ijin pulang duluan. Disana Mas Rian sudah menungguku, kami saling jalan berdampingan melewati perkebunan teh sambil mengobrol.
"Oalah, jadi Mas toh direktur yang katanya mau bekerja sama dengan pabrik teh tempat kerjaku?" tanyaku.
"Iya, bisa kebetulan gitu ya? Saya bisa langsung jatuh nabrak kamu lagi. Dunia berasa sempit jadinya." selorohnya.
"Berasa ditimpa durian montong haha. Kok bisa jatuh gitu sih? Ada alat yang lepas atau gimana?" tanyaku.
"Iya tali yang menopang tubuh saya lepas jadi plek langsung mendarat di Mbak." ucapnya. Aku tertawa.
"Mungkin memang ini sinyal, kalo memang aku harus kembali lagi ke Mas Indra. Mungkin dia memang jodohku hehe." ucapku terkekeh, ia tersenyum mendengarnya.
"Tapi Mas kok tumben naik flying fox itu? Memang itu bagian dari acara pertemuan atau gimana?" tanyaku
"Enggak sih, mereka hanya nawarin mau atau enggak naik outbond itu. Ya saya bilang mau." ucapnya.
"Terus sekarang Mas mau kesana lagi?" tanyaku.
"Iya. Kamu juga ikut ya?" tanyanya.
"Iya Mas." ucapku.
Kami pun sampai didepan pabrik, aku beralih menaruh bakul di gudang sedangkan Mas Rian bergabung dengan kumpulan orang dan pemilik pabrik yang kebetulan sedang mencarinya saat itu.
Disana kulihat juga ada Linda sedang menonton, selesai menaruh bakul aku pun segera mendekati Linda bergabung dengan kumpulan orang-orang yang sedang menonton.
"Loh? Teteh disini? Katanya enggak mau kesini? Pasti kepincut ya sama direktur kasep?" tanyanya.
Aku mencubitnya. "Enggak, saya memang ijin pulang cepet sekarang." ucapku.
"Kok bisa Teh? Teteh sakit, enggak enak badan gitu Teh?" tanyanya khawatir. "Enggak, ada tamu adik ipar datang." ucapku tidak memberitahu kalau tamuku itu adalah direktur yang sekarang berdiri didepan sana.
Mas Rian dan beberapa orang pabrik termasuk pemilik pabrik saling berjalan ke arah kami.
Di detik-detik itu kami pun saling berpapasan, ia tampak tersenyum melihatku dan anehnya justru Linda yang klepek-klepek seperti ikan merespon senyuman itu.
"MasyaAllah Teh, lihat gak Teh? Direktur kasep senyum kesini barusan! OEMJII! OMO OMO!" ucapnya meniru gaya orang korea. Aku hanya menggeleng tertawa melihatnya.
Ia langsung menarikku saat itu, mengikuti kemana Mas Rian dan beberapa orang itu pergi.
Bukan hanya diriku dan Linda, akan tetapi orang-orang lainnya yang kepo juga ikut pergi dari sana.
Sepanjang berjalan di belakang mereka, Linda terus menggandeng tanganku dan bercerita banyak hal. "Pokokna mah Teh, Linda harus bikin cara kayak di tipi-tipi. Terus nanti kita pandang-pandangan Teh, terus abis kita lope-lopean deh kyaaa~" ucap Linda antusias.
Aku tertawa. "Percuma dia udah punya tunangan." ucapku. Linda langsung berhenti, ia menatapku heran. "Tunangan? Maksudna Teteh kenal direktur kasep itu?" tanyanya.
Aku merasa sedikit menyesal, sial sekali diriku keceplosan. Aku segera meralat.
"E-enggak... ya dia kan direktur terus usianya masih muda, dia juga keliatannya mapan. Kayaknya cowok kayak dia enggak mungkin kalo belum punya calon istri." ucapku agak gugup.
Linda mengohkan perkataanku dan mengangguk, untunglah dia tidak menganggap perkataanku mencurigakan.
Kami berkeliling kebun teh saat itu, mereka yang didepan termasuk Mas Rian tampak saling mengobrol kini.
Kami yang dibelakang mereka pun ikutan mengobrol.
"Pokoknya mah Teh, nanti pas direktur kasep berhenti Linda mau tiba-tiba jatuh didepannya. Pasti direktur eta langsung nangkep Linda, terus habis itu kita bakal tatap-tatapan kayak pilem india Teh, terus ada lagu-lagu backsound nanti ceritana teh, terus ada angin-angin ngegelebuk gitu Teh nerbangin rambut. Euhh, pasti uwu-uwu deh nanti." ucapnya sambil mengkhayal, aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya yang sudah berbicara sejauh itu.
Kami sampai diatas bukit, tempat spot tertinggi yang biasa digunakan untuk beberapa orang menerbangkan paralayang.
Pemandangan disana begitu indah, ada deretan bukit dan pegunungan disekitar, lalu dikelilingi juga dengan perkebunan teh yang luas.
Pemandangan hijau begitu mendominasi mata, terlebih udara sejuk terasa begitu menenangkan. Aku merasa seperti ingin terbang saja ketika diriku diterpa angin yang cukup kencang.
Tapi kenapa ya tujuan kita kesini? Apa mungkin Mas Rian ingin menaiki paralayang?
Setelah aku berpikir demikian, ternyata benar.
Mas Rian berniat menaiki paralayang kini. Ia tampak ditemani oleh beberapa orang pabrik dan berbicara banyak hal pada penyewa paralayang.
Aku hanya memandangnya dari kejauhan, disela Linda yang terus berbicara banyak hal tentang Mas Rian, tiba-tiba saja Mas Rian langsung menoleh ke arahnya ah tidak.. dia melihat ke arahku.
Ia tampak ceria disana memanggil hingga melambai tangan ke arahku. "Mbak! Sini!" pekiknya.
Linda terheran saat menyadari senyuman Mas Rian barusan diperuntukkan untuk siapa. Linda berbisik.
"Teh... itu direktur kasep manggil Teteh barusan?" tanyanya.
Aku hanya terdiam tidak menjawabnya, cukup terkekeh saja.
Mas Rian terus memanggilku dan melambai tangan ke arahku. Aku yang tidak enak juga terus dilihati banyak orang pun segera mendekatinya.
"Kenapa Mas?" tanyaku.
"Ayo kita naik ini berdua." ucapnya.
"E-eh? B-berdua? Memangnya Mas bisa main ini?" tanyaku.
"Bisa dong, saya kan dulu tukang ngayap sama Mas Indra." ucapnya.
Aku memang agak percaya kalau dia tukang ngayap dulu, tapi aku benar-benar tidak bisa memastikan apakah aku akan selamat jika Mas Rian menjadi pilotku.
Apakah dia bisa menerbangkan paralayang itu dengan baik? Atau mendaratkannya dengan baik? Aku khawatir kalau nanti hanya tinggal nama, nyangsang entah kemana.
"Yuk Mbak." ucapnya. Aku ragu. "Gimana ya.. kamu sama temanku aja deh ya?" tawarku.
"Enggak pokoknya harus sama Mbak. Jangan takut Mbak pasti bakal aman kok. Saya sudah sering mencoba ini." ucapnya sedikit memberiku keyakinan, ia segera memberiku baju paralayang dan menyerahkan diriku pada penyewa paralayang, untuk nantinya dibantu diikat oleh sabuk-sabuk itu.
Tak berselang waktu lama, aku dan Mas Rian sudah siap dengan banyak perlengkapan seperti helm, sepatu boot, sarung tangan, vario meter, gps dan lainnya.
Beberapa sabuk mengikat kami yang menghantarkan kami pada satu paralayang lumayan besar dibelakang.
Kami menunggu kecepatan angin sesuai yang ditentukan, baru ketika angin cukup kencang. Aku mulai berlari menuju ujung bukit bersama Mas Rian dan saat itu juga parasut mulai terangkat ke atas dan berkibar diterpa angin.
Kami terbang melayang disana, diantara ketinggian yang lumayan disertai pemandangan hijau termasuk perkebunan teh dibawah sana.
Aku tertawa antusias, dibarengi juga Mas Rian yang sibuk mengatur laju paralayang. Rasanya sangat bebas.
Semua bebanku selama ini bahkan seperti melayang terbawa angin.
Pemandangan sangat indah kulihat dari atas, tapi didalam hati ada perasaan khawatir kalau paralayang ini tidak bisa mendarat dengan baik, diam-diam aku berdoa tentang keselamatanku sekarang.
Ada beberapa hal yang kupahami dari ini, ada banyak hal yang bisa membuat kita bahagia, seperti sampai bisa menerbangkan kita keatas.
Akan tetapi kita diharuskan ingat satu hal... bahwa pada akhirnya kita akan mendarat, setinggi apapun kita terbang pasti pada akhirnya akan turun juga ke bumi.
Sepertinya Mas Rian sudah cukup mengenalkanku pada satu sisi yang tidak pernah aku rasakan seumur hidup.
Bermain paralayang, menjadi satu hal menarik diantara semua hal yang belum pernah kutemukan di usia tiga puluhan ini.