"Gimana? Lumayan kan buat biaya kawin?" tanyanya balik menyindirku. Aku mencubit pinggangnya. Ia merintih.
"Yaudah deh, saya mau. Tapi nanti diajarin dulu kan ya? Masa langsung metik-metik sembarangan." tanyaku.
"Iya lah... tenang aja. Pokoknya mah Linda bakal jadi guru Teteh nanti." ucapnya bangga. Aku menjepit hidungnya, ia pun merintih.
"Ish, Teteh nanti panjang!"
Dua hari berlalu, aku pun sudah resmi bekerja jadi pemetik daun teh. Kami bekerja dibawah naungan perusahaan milik pemerintah.
Perusahaan berbentuk pabrik tersebut letaknya persis berada di tengah perkebunan teh yang mereka tanam. Terdapat ratusan karyawan yang dipekerjakan disana.
Mereka semua tergabung atas beberapa bagian dan tugas. Sebagai contoh diriku dan Linda yang bertugas di bagian pemetik daun teh, berbeda dengan orang yang ada di dalam pabrik itu sendiri, yang cenderung ke bagian pemrosesan dan pengolahan daun teh itu.
Ditengah hamparan perkebunan pohon teh. Aku melakukan tugasku sesuai yang diarahkan dan diajarkan oleh Linda kemarin.
Aku juga sudah lengkap memakai topi cekung, memakai sarung tangan dan juga membawa semacam bakul yang kugendong dibelakang. Itu adalah tempat menaruh daun teh yang sudah kupetik.
Sepanjang memetik, Linda terus mengajakku mengobrol. "Teh, masa aku tadi denger kata orang-orang mau ada direktur diundang ke acara ulang tahun tempat wisata perkebunan ini." ucapnya.
"Masa sih? Oh. Kapan?" tanyaku.
"Katanya sih sekarang jam 12 siang. Teteh bawa jam gak?" tanyanya.
Aku menunjukkan jam dipergelangan tanganku padanya. Sudah pukul 12 siang sekarang.
"Wah sekarang Teh, acaranya dimulai. Itu pasti si direktur-direktur nu kasep eta udah nyampe kesini. Duh aku harus dandan ini. Aku mau liat eta direktur Teh. Coba liat Teh, aku dah cakep belum?" ucapnya seraya mengerdip-ngerdipkan matanya menghadapku, narsis.
Aku menatapnya heran.
"Tunggu, emang kamu tahu darimana direktur itu ganteng dan masih muda? Ya barangkali kan? Yang namanya direktur kan kebanyakan sudah berumur. Kamu nih kebanyakan baca novel sama nonton drama. Jadi anggapannya direktur itu sesuai yang ada di fantasi kamu." ucapku.
"Bener kok Teh, aku denger sendiri dari teman-teman di pabrik. Katanya beberapa hari lalu kan si direktur eta kemari, nah mereka liat tuh gimana sosok direktur eta. Nah semua yang liat teh langsung gegelepekan kayak ikan Teh." ucapnya, aku tertawa saja melihatnya berkata seperti itu.
"Kalo boleh tahu dia ngapain ke pabrik ini?" tanyaku.
"Katanya sih kerja sama gitu, nanti tuh bakal lebih bersih lagi katanya pabrik kita teh. Mau ditambahin sarung tangan, antiseptik, semprotan kutu, serangga, kuman dan obat-obatan lainnya. Lebih higienis lagi pokokna mah, hasil olahan tehnya." jelas Linda. Aku mengangguk saja memahami perkataannya.
"Teteh udah belum? Ayo kita udahin dulu, lanjut nanti. Kita liat direktur kasep eta yuk." ajak Linda.
Aku ragu, malas juga. Paling, tidak ada yang menarik. Semakin lama aku mengumpulkan daun teh, maka akan semakin lama pula aku pulangnya.
Aku mau cepat-cepat pulang, aku ingin memberanikan diriku untuk membuka ponsel nanti. Semoga saja tidak ada kabar yang mengguncang atau menyakitkan hatiku lebih dari kemarin.
"Kamu aja deh Lin, aku masih pengen petik daun teh." ucapku.
"Bener nih? Nanti nyesel loh Teh." tanya Linda.
"Iyaa.. enggak bakal rugi enggak liat juga. Cuma liat orang ganteng banyak di google, tinggal dicari." ucapku.
"Tapi kan ini real Teh! Nyata. Kalo di foto doang mah enggak kerasa nyatanya, kalo ini kan bisa disentuh sama dicubit-cubit." ucapnya, aku tertawa.
"Direktur mana yang mau dicubit-cubit sama kamu? Nanti justru kamu ditangkap satpam keamanan nantinya. Dianggap gak sopan." ucapku.
"Yang penting enggak nyakar-nyakar Teh hehe. Cubit dikit mah boleh kali." tawanya. Aku terkekeh.
"Coba aja geura. Mau gak dia dicubit sama kamu." ucapku
"Yaudah Teh, aku pergi dulu ya? Awas sendirian jangan bengong. Nanti diculik nenek gayung loh." ucapnya seraya kabur.
"Nenek gayungnya udah bosen nyulik!" balasku.
Diriku kembali melakukan tugas seperti biasa, memetik daun teh. Aku agak menggeser ke sebelah kiri, memetik daun teh itu dengan tangan. Berjam-jam aku terus berjalan mengitari perkebunan itu memetik daun teh.
Hingga pada akhirnya, sampailah aku didekat tempat wisata perkebunan teh tersebut, tepat di wahana flying fox.
Bisa kulihat kabel flying fox melintang diatas kepalaku. Beberapa pewisata pun banyak yang menuruni kabel itu dengan alat pengaman.
Aku sesekali menonton mereka dan tak jarang tertawa melihat mereka begitu berisik, berteriak histeris ketika meluncur dari ketinggian itu.
Aku tidak fokus lagi menontonnya, aku kembali memetik teh. Akan tetapi, tiba-tiba saja aku mendengar suara sesuatu seperti terlepas diatas sana, diiringi juga dengan suara teriakan. "AWAS!"
Aku terbelalak saat mendongak ke atas, seorang lelaki beralat pengaman dan helm langsung jatuh menubruk tubuhku hingga menyebabkanku jatuh ke tanah. Tidak, lebih tepatnya kita berdua jatuh ke tanah.
Beberapa anggota tubuhku lecet dan terluka, bahkan sampai mengeluarkan darah. Aku merintih kesakitan saat menggerakkan tangan dan kakiku.
"Mbak Lisa?" ucap pria didepanku yang memandangku tidak percaya.
Aku tersontak saat melihat pria yang membuatku jatuh barusan adalah...
Mas Rian?!
K-kenapa bisa ada dia?!
"M-mas.. kok bisa ada disini?" tanyaku heran.
"Iya.. saya ada disini. Ceritanya panjang. Tapi yang jelas ada banyak pertanyaan yang mau saya ajukan ke Mbak." ucapnya.
"A-apa?" tanyaku setengah takut.
"Kenapa Mbak kabur dari rumah? Nomor Mbak juga enggak aktif. Apa yang menyebabkan Mbak pergi meninggalkan kami? Bahkan Mas Indra kebingungan nyariin Mbak." ucapnya.
Aku tertunduk. Rasanya aku masih malas untuk membahas hal ini. Apalagi harus membagi masalah ini pada... adik dari suami yang sedang kuhindari.
Beberapa saat setelahnya. Kami pun saling duduk bersebelahan di bawah pohon, masih didalam sekitaran perkebunan teh.
"Jadi Mbak sedang coba menghindari Mas Indra? Mbak marahan sama Mas Indra karena hal itu? tanyanya. Aku mengangguk.
"Menurut kamu alasan aku marah wajar nggak? Atau menurut kamu itu nggak wajar?" aku balik tanya.
"Hmm, wajar-wajar aja sih Mbak. Soalnya memang saya pribadi agak sebal juga sama sikap Mas Indra. Saya kira Mas Indra cuma seperti itu ke saya, tapi ternyata ke Mbak juga." ucapnya. Aku terdiam mendengarnya.
"Ah tapi saya bilang begini, Mbak jangan langsung kesal dan benci sama Mas Indra. Gimanapun, setiap orang pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Mas Indra akan menjadi marah atau kasar sesuai kitanya juga. Sifatnya memang begitu dan Mbak sebagai istrinya pasti lebih memahami gimana sebulan ini menghadapi Mas Indra." ucapnya. Aku menyimaknya.
"Dan soal perselingkuhan itu. Saya rasa ada kesalahpahaman disini. Mas Indra itu bukan tipe orang yang suka selingkuh, apalagi berpaling dengan cepat ke orang lain. Dia tipe orang yang setia sama pasangannya." ucapnya.
Entah kenapa aku jadi merasa bersalah mendengarnya.
"Mbak mungkin enggak tahu, tapi saya tahu seberapa dalam Mas Indra mencintai Mbak." ucapnya. Air mataku mulai mengembang. Aku menatapnya berkaca-kaca.
"Mbak cepat atau lambat mungkin akan memahami bagaimana sifat asli Mas Indra sebenarnya. Asalkan Mbak mau terus bertahan di sisinya dalam jangka waktu yang lama." ucapnya. Air mataku menetesi pipi.
"Tapi belakangan, saya sering ngeliat Mas Indra bolak-balik ke rumah sakit. Bahkan saya melihat perubahan siginifikan sama tubuhnya, dia jadi makin kurus dan wajahnya keliatan pucat. Seperti menderita sakit berat. Makanya saya khawatir Mas Indra kenapa-napa, saya juga kepikiran apakah karena menghilangnya Mbak dari hidup Mas Indra, membuatnya jadi seperti itu." ucap Mas Rian. Air mataku terus menetesi pipi lalu kuusap dengan cepat.
"Mas Indra masih sakit Mas?" tanyaku.
"Iya, dan lebih sering ada dirumah sekarang. Saya tahu dari Hilya. Saya enggak tahu pasti. Kayaknya sakitnya makin parah, saya sebenarnya ingin menjenguk. Tapi... kejadian di hari pertunangan waktu itu, benar-benar membuat saya bimbang. Saya khawatir Mas Indra justru mengusir saya." ucapnya. Aku masih mengusap air mataku.
Bodoh sekali sih aku, egois. Kenapa aku malah meninggalkan Mas Indra seperti ini? Padahal Mas Indra sedang kesusahan disana.
Dia sedang sakit, harusnya ada aku yang merawatnya. Dia membutuhkan aku sebagai istrinya.
Aku juga baru sadar sekarang, sejak dulu aku memahami banyak hal tentang Mas Indra. Dia tipe orang yang setia. Dirinya tidak mungkin berselingkuh dibelakangku.
Bahkan aku menuduhnya hanya dengan bukti dirinya janjian makan di restoran saja, aku tidak meminta pernyataan dari klien perempuan itu sendiri. Apakah dia selingkuhannya atau bukan.
Aku malah keburu pergi.
Bodohnya aku...
Bodoh...