Chapter 6 - Mas, kamu kenapa sih?!

-Lisa POV-

Sepanjang Mas Indra mengendarai motornya, aku merasa khawatir. Bahkan beberapa kali aku merasa jika jalan motornya tidak stabil, kadang terlalu miring ke kiri dan kadang terlalu miring ke kanan.

Aku khawatir motornya jatuh. Aku rasa dia sedang menahan pusing kala itu.

"Mas, kamu pusing ya?" tanyaku cemas.

"Pusing... dikit." ucapnya, aku sayup-sayup mendengar suaranya samar.

Aku coba beranikan bicara tentang hal yang sejak tadi bertahan dipikiranku.

"Mas.. kenapa kita langsung pulang? Kamu juga enggak pamitan sama ibu dan adik kamu?" tanyaku. Mas Indra membalas.

"Memangnya kenapa? Respon orang yang diusir itu emang harusnya kayak gimana? Menetap atau pergi?" tanyanya. Aku cemberut dan mendiaminya.

Huft.. lagi-lagi mereka bertengkar. Kenapa ya mereka selalu tidak pernah akur? Siapa sebenarnya yang memulai pertengkaran itu lebih dulu?

Masa sih Mas Rian main ngusir gitu aja? Pasti ada sebabnya.

Tiba-tiba motor kembali miring ke kiri bahkan hampir masuk ke selokan. Aku berseru. "Mas, aku aja deh yang bawa motor. Kamu bawanya miring-miring gini aku takut ja--"

Belum selesai bicara motor oleng, kami pun saling berteriak saat motor yang kami kendarai jatuh terperosok ke dalam selokan besar disebelah kiri.

Banyak luka besutan yang aku dapatkan saat itu, bahkan kulihat kening Mas Indra mengeluarkan banyak darah. "M-mas, kepala kamu?!"

Ia langsung mengusap keningnya. Ia langsung gemetar saat itu, ketika darah terus mengucur dari kepalanya. Itu mungkin disebabkan oleh benturan keras dikepalanya barusan pada sebuah batu.

Aku panik dan merasa sangat khawatir, aku mendekatinya, tanganku tergerak untuk memegang lukanya. Ia pun menepis dengan kasar. "NGAPAIN SIH! AKU BILANG JANGAN PEGANG-PEGANG!"

Aku terpatung.

"KAMU TUH UDAH DIKASIH TAHU BERKALI-KALI JANGAN PEGANG LUKAKU KALO KAMU SENDIRI TERLUKA!"

"Heran deh, dibilang sekali dua kali enggak bisa. MAUNYA DIBILANGIN BERAPA KALI SIH? TIAP HARI HAH?! LALU GUNANYA TELINGA ITU BUAT APA? PAJANGAN?!" tandasnya.

Rasanya.. seperti... dihujam ribuan tombak berkali-kali.

Aku hanya tertunduk saat itu, dengan perasaan tertusuk.

Mas Indra kenapa ya Allah... seakan dia berubah jadi kasar semenjak dia sakit... ah tidak... ia seperti berubah jadi orang lain saat dia merasakan kesakitan atau terluka.

Kenapa tiba-tiba ada peraturan aku tidak boleh melakukan apapun pada lukanya ketika sedang terluka? Memangnya kenapa? Kenapa kalo saat itu aku memegang darah atau lukanya?

Apakah aku bisa mati karena hal itu?!

Malam harinya kami pun saling rebahan diatas kasur dengan jarak yang direnggangkan, kami masih dalam keadaan diam-diaman sejak tadi siang.

Bodoh sekali aku, padahal sejak tadi Mas Indra terus menanyakan banyak hal padaku, akan tetapi aku hanya menjawabnya dengan singkat, seolah terkesan tidak ikhlas.

Aku masih sebal dengan sikapnya tadi siang, tapi... aku juga tidak ingin terkesan marah karena hal itu.

Buktinya aku tidak benar-benar mendiamkannya sejak tadi. Apapun yang ia tanya, akan kujawab meskipun hanya singkat.

Oh iya.. jika kuhitung, ini sudah malam ketujuh diriku tidak disentuh sama sekali oleh Mas Indra.

Dia... masih mengeluhkan rasa sakit ditubuhnya dan bahkan waktu itu mngatakan padaku untuk tidak membahas lagi hal mengenai anak.

Ah baiklah... aku menyerah tentang itu.

Satu bulan kemudian. Aku kembali melepas kepergian Mas Indra berangkat kerja.

Mendadak Rhena meneleponku. Aku pun mengangkatnya. "Halo, assalamualaikum Rhena. Ada apa tumben telepon?" tanyaku.

"Bisa ketemuan sekarang gak?" tanyanya. Ketemuan? Mau apa ya dia?

Di taman, aku dan Rhena saling duduk berhadapan, ditemani oleh sebuah es cendol didepan meja. Aku menatapnya.

"Jadi? Kamu mau ngapain sekarang?" tanyaku

"Gitu banget sih! Emang enggak kangen apa? Peluk gue gitu atau cubit-cubit pipi gue gitu? Sayang-sayang kek kayak duit celengan." pintanya. Aku tersenyum sinis.

"Bukan kue cubit! Lagian celengan enggak ada yang segede kamu." dalihku.

"Beuh, bener-bener dah. Asal Mas Indra aja disayang, temen sendiri ditendang." ucapnya sambil memonyongkan bibir.

Aku terkekeh melihatnya.

"Dasar." sambil meraupnya.

"Rasanya seneeeng banget deh gue bisa ketemu lo lagi setelah sekian lama. Udah lima bulan belum sih ini semenjak lo ngelepas gue pergi ke Thailand? Pas lo nikahan itu?" tanyanya.

Aku kembali meraup wajahnya. "Lima bulan matamu! Satu bulan! Emang di Thailand jarang liat kalender apa? Atau enggak ngerti bahasanya jangan-jangan? Hahaha." tawaku.

"Ngetes doang haha, tapi pernyataan yang terakhir emang beneran sih." ucapnya tertawa geli. Aku menoyor tangannya.

"Yee, tanya suami lah." ucapku.

"Sekarang lagi di indonesia nih ceritanya? Apa bakal selamanya tinggal disini?' tanyaku

"Enggak lah, masih ada urusan bisnis disana buat satu tahun. Biasa, urusan laki-laki. Istri mah manut bae." ucapnya.

"Oh, tapi anak gimana? Yang udah usia 5 tahun itu?" tanyaku.

"Masih belum sekolah sih, sekarang kan sekolahnya usia minimal 6 tahun disini? Iya gak sih?" tanyanya.

"Hmm iya sih, kirain mau sekolah disana." ucapku.

"Disini lah, disana mana bisa bahasanya. Yang ada mabok genjer nanti." ucapnya.

"Enggak ada genjer disana." ralatku seraya tertawa.

"Ya diajarin lah, emang kamu enggak bisa?" tanyaku.

"Kagak.."

"Yaudah sama suami." ucapku.

"Hmm... iya sih." ucapnya. "Eh, kamu sendiri gimana?" tanyanya.

"Gimana apanya?" tanyaku.

"Itu loh, lingerie sakti mandraguna yang gue kasih?" tanyanya dengan pandangan penuh harap.

Aku tersenyum sinis. "Masih utuh di lemari, enggak lecet, lecek dan masih bersegel. Masih terpampang rapih." ucapku. Ia tertawa.

"Serius kamu? Kenapa kok bisa?" tanyanya heran

"Iya, Mas Indra masih sering sakit jadi kita enggak gitu-gituan untuk waktu yang tak ditentukan." ucapku.

"Sakit apa sih? Kok lama banget? Udah sebulan loh. Masa gak sembuh-sembuh?" tanyanya.

"Gak tahu aku, penyakitnya aneh gitu. Masa demamnya sering banget, udah gitu gatel-gatel, diarenya juga enggak berhenti-berhenti, muncul ruam gitu di tangannya, hidung sama mulutnya banyak lukanya bahkan gak jarang sering ngeluarin darah." ucapku. Ia merasa prihatin.

"Udah ke rumah sakit? Kok kayaknya parah banget ya." ucapnya.

"Udah waktu itu dan hasilnya ya emang bukan sakit parah. Cuma diare sama sariawan biasa." ucapku.

"Lama loh itu, sebulan. Enggak cek rapid test gitu? Barangkali ada penyakit beratnya." tanyanya.

"Enggak sih, enggak cek. Mas Indra juga pasti bakalan nolak, katanya dia enggak mau bolak-balik RS terus. Periksa ini itu buat ngeyakinin aku. Ya aku diharuskan percaya aja gitu kalo dia enggak sakit apa-apa cuma sakit biasa." ucapku.

"Hmm, aneh." ucapnya seraya menyelurup segelas es cendolnya.

Aku merasa ingin cerita sesuatu. Apa aku cerita saja ya? Tentang perubahan Mas Indra belakangan ini? Hal yang selalu membuatku down..

"Rhen... aku mau cerita." ucapku sedikit ragu.

"Cerita apa?" tanyanya.

"Belakangan... Mas Indra suka marah-marah gak jelas gitu. Aku bingung dia kenapa.

Dia jadi berubah kasar dan ketika ada hal salah yang kulakukan dia seakan berubah jadi orang lain. Padahal dulu dia enggak gitu.

Kamu tahu sendiri kan? Dia baik banget dulu sama aku? Kenapa pas menikah dia jadi kayak gitu?" tanyaku cemas.

Rhena prihatin melihatku tampak galau begini. Ia mengusap bahuku.

"Yang sabar ya.. tapi kamu udah tanya sendiri belum ke dia? Apa penyebab dia marah-marah dan bersikap kasar ke kamu?" tanyanya.

"Enggak lah, mana berani aku nanya. Tapi setelah marah-marah gitu dia selalu minta maaf ke aku. Menurut pendapat kamu, apa marah Mas Indra ini wajar Rhen?" tanyaku.

"Tunggu, dia marah ke kamu itu penyebabnya apa dulu?" tanya Rhena.